China Panaskan Perang Dagang, Tarif Baru Bakal Hantam 5.000 Produk AS
A
A
A
BEIJING - China kembali memanaskan tensi perang dagang dengan Amerika Serikat (AS), usai mempersiapkan tarif baru sebesar 10% atau senilai USD75 miliar terhadap produk-produk impor asal Negeri Paman Sam -julukan AS-. Hasil pertanian, minyak mentah, dan pesawat kecil merupakan beberapa produk yang akan jadi target terbaru Beijing kepada Washington.
Kebijakan tersebut merupakan balasan atas kebijakan Presiden Donald Trump yang berencana menerapkan bea 10% pada produk China senilai USD300 miliar. Langkah AS itu direspons China dengan mempersiapkan tarif baru berkisar antara 5% dan 10% yang bakal diberlakukan pada lebih dari 5.000 produk yang berasal dari AS
Beijing juga akan menghidupkan kembali tarif 25% untuk impor mobil AS yang dicabut sebelumnya pada 2019, lalu sebagai isyarat niat baik ketika kedua negara berusaha menegosiasikan perjanjian perdagangan. Produsen mobil memperingatkan bahwa bea tinggi akan menempatkan pekerjaan AS dalam risiko.
"Awal tarif ini diberlakukan oleh China pada tahun 2017, dampaknya ekspor kendaraan jadi Amerika turun 50%. Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi lagi pada pekerja Amerika," kata John Bozzella, yang mewakili produsen mobil.
Babak baru perang tarif antara kedua ekonomi terbesar dunia diyakini bakal menghantam saham di AS dan Eropa. Pada 1 Agustus, Presiden Donald Trump meluncurkan tarif 10% untuk produk-produk China senilai USD300 miliar usai menyalahkan Beijing karena tidak menepati janji untuk membeli lebih banyak produk pertanian dari Amerika.
Tarif itu diperkirakan baru akan diberlakukan secara resmi pada 1 September, tetapi kurang dari dua minggu kemudian, Trump menunda kebijakan tersebut hingga 15 Desember. Sebagian besar alasannya karena kekhawatiran bakal berdampak kepada konsumen di hari Natal. China sendiri mengatakan, pihaknya berencana untuk memberlakukan tarif baru dalam dua tahap yakni pada 1 September dan 15 Desember.
Di sisi lain AS telah berusaha meredam kekhawatiran resesi keuangan dengan kebijakan pengurangan pajak penghasilan. Penasihat perdagangan Presiden Trump, Peter Navarro, mengatakan kepada CNN bahwa tarif China hanya sebuah sinyal, dimana Ia menambahkan: "Ini bukan berita baru."
Dia menerangkan, bahwa pembicaraan negosiasi perang dagang antara kedua negara sejauh ini masih sesuai jadwal dan berpendapat bahwa tarif itu tidak merugikan warga Amerika. "Konsumen tidak merasakan sakitnya (perang dagang) dan kami fokus untuk memastikan mereka (China) yang merasakan sakitnya bukan kami," tegas Navarro.
Sambung dia menambahkan, bahwa perlambatan ekonomi merupakan kesalahan Federal Reserve alias Bank Sentral AS, yang telah menuai kritik dari Trump karena tidak melakukan pemotongan suku bunga yang lebih besar. Navarro mengungkapkan, bank harus menurunkan suku bunga acuan lebih lanjut untuk merangsang pertumbuhan.
Berita tentang tarif baru pecah sesaat sebelum ketua Fed Powell menyampaikan pidato yang sangat dinanti pada pertemuan para gubernur bank sentral di Jackson Hole, Wyoming. Pidato itu dibayangi ekonomi yang kompleks di AS saat pasar obligasi telah mengirim sinyal peringatan dari resesi.
Powell memperingatkan bahwa ketegangan perdagangan memperburuk perlambatan ekonomi global, serta menambahkan bahwa The Fed tidak memiliki "buku peraturan" untuk menangani dampak tersebut. Namun, Trump menulis di Twitter pada Jumat pagi untuk mengklaim bahwa ekonomi AS "kuat dan baik".
Kebijakan tersebut merupakan balasan atas kebijakan Presiden Donald Trump yang berencana menerapkan bea 10% pada produk China senilai USD300 miliar. Langkah AS itu direspons China dengan mempersiapkan tarif baru berkisar antara 5% dan 10% yang bakal diberlakukan pada lebih dari 5.000 produk yang berasal dari AS
Beijing juga akan menghidupkan kembali tarif 25% untuk impor mobil AS yang dicabut sebelumnya pada 2019, lalu sebagai isyarat niat baik ketika kedua negara berusaha menegosiasikan perjanjian perdagangan. Produsen mobil memperingatkan bahwa bea tinggi akan menempatkan pekerjaan AS dalam risiko.
"Awal tarif ini diberlakukan oleh China pada tahun 2017, dampaknya ekspor kendaraan jadi Amerika turun 50%. Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi lagi pada pekerja Amerika," kata John Bozzella, yang mewakili produsen mobil.
Babak baru perang tarif antara kedua ekonomi terbesar dunia diyakini bakal menghantam saham di AS dan Eropa. Pada 1 Agustus, Presiden Donald Trump meluncurkan tarif 10% untuk produk-produk China senilai USD300 miliar usai menyalahkan Beijing karena tidak menepati janji untuk membeli lebih banyak produk pertanian dari Amerika.
Tarif itu diperkirakan baru akan diberlakukan secara resmi pada 1 September, tetapi kurang dari dua minggu kemudian, Trump menunda kebijakan tersebut hingga 15 Desember. Sebagian besar alasannya karena kekhawatiran bakal berdampak kepada konsumen di hari Natal. China sendiri mengatakan, pihaknya berencana untuk memberlakukan tarif baru dalam dua tahap yakni pada 1 September dan 15 Desember.
Di sisi lain AS telah berusaha meredam kekhawatiran resesi keuangan dengan kebijakan pengurangan pajak penghasilan. Penasihat perdagangan Presiden Trump, Peter Navarro, mengatakan kepada CNN bahwa tarif China hanya sebuah sinyal, dimana Ia menambahkan: "Ini bukan berita baru."
Dia menerangkan, bahwa pembicaraan negosiasi perang dagang antara kedua negara sejauh ini masih sesuai jadwal dan berpendapat bahwa tarif itu tidak merugikan warga Amerika. "Konsumen tidak merasakan sakitnya (perang dagang) dan kami fokus untuk memastikan mereka (China) yang merasakan sakitnya bukan kami," tegas Navarro.
Sambung dia menambahkan, bahwa perlambatan ekonomi merupakan kesalahan Federal Reserve alias Bank Sentral AS, yang telah menuai kritik dari Trump karena tidak melakukan pemotongan suku bunga yang lebih besar. Navarro mengungkapkan, bank harus menurunkan suku bunga acuan lebih lanjut untuk merangsang pertumbuhan.
Berita tentang tarif baru pecah sesaat sebelum ketua Fed Powell menyampaikan pidato yang sangat dinanti pada pertemuan para gubernur bank sentral di Jackson Hole, Wyoming. Pidato itu dibayangi ekonomi yang kompleks di AS saat pasar obligasi telah mengirim sinyal peringatan dari resesi.
Powell memperingatkan bahwa ketegangan perdagangan memperburuk perlambatan ekonomi global, serta menambahkan bahwa The Fed tidak memiliki "buku peraturan" untuk menangani dampak tersebut. Namun, Trump menulis di Twitter pada Jumat pagi untuk mengklaim bahwa ekonomi AS "kuat dan baik".
(akr)