Musim Produksi Jagung, Indonesia Tidak Perlu Impor

Senin, 26 Agustus 2019 - 11:00 WIB
Musim Produksi Jagung,...
Musim Produksi Jagung, Indonesia Tidak Perlu Impor
A A A
JAKARTA - Musim kemarau adalah saat di mana penanaman jagung meluas di Indonesia. Apalagi telah didukung melalui embung dan infrastruktur pengairan lainnya.

Saat ini musim kemarau di tiap daerah mampu diatasi dengan baik. Kondisi inilah yang berdampak langsung pada laju produksi jagung secara nasional. Bahkan, Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman memastikan bahwa produksi dan pasokan jagung nasional tahun ini aman serta terkendali. Maka itu, kata Amran, Indonesia tidak perlu impor karena persediaan jagung di Bulog melimpah.

“Produksi jagung melimpah di tengah musim kering di lahan pertanian di Indonesia. Saya juga sudah bilang ke Bulog, bagi petani dan peternak yang membutuhkan jagung bisa meminta ke gudang Bulog,” katanya, Sabtu (24/8).

Mengenai hal ini, pengamat ketahanan pangan, Prof Tjipta Lesmana, mengapresiasi gebrak an Mentan yang terus mengendalikan impor dan menggenjot ekspor komoditas pangan. Tak heran, dia menilai sektor pertanian memiliki kontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi di perdesaan.

“Hasil riset Bappenas menunjukkan bahwa penerapan teknologi pertanian dengan belanja alat mesin, perbaikan saluran irigasi tersier, penyediaan benih tanaman, bibit ternak dan pupuk, mempunyai dampak positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, khususnya di perdesaan,” katanya.

Studi kasus yang dilakukan Bappenas, kata Tjipta, sangat erat kaitannya dengan alokasi anggaran belanja 2016-2017 yang menunjukkan belanja modal mengalami peningkatan paling tinggi sebesar Rp39,1 triliun, belanja barang sebesar Rp31,8 triliun, dan belanja pegawai Rp7,5 triliun. Namun, belanja barang pada periode itu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 0,08%.

Sementara belanja modal hanya mendorong 0,03%. Anggaran yang sudah dikeluarkan Kementan memiliki peran terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi. Setiap peningkatan 1% belanja alsintan terjadi peningkatan subsektor pertanian, peternakan, dan jasa pertanian di daerah sebesar 0,13%.

“Indikator keberhasilan bisa kita lihat pada peningkatan ekspor komoditas pertanian menurut data BPS. Tahun 2018, ekspor komoditas pertanian melonjak tajam menjadi 42,5 juta ton,” katanya.

Dia menjelaskan, rata-rata kenaikan ekspor pertanian per tahun sebesar 2,4 juta ton. Pada tahun 2019 besar kemungkinan angka ekspor itu akan meningkat lagi karena fokus pada ekspor komoditas pertanian yang dilakukan Kementerian Pertanian.

“Yang tidak kalah hebat, terjadinya penurunan inflasi bahan makanan sangat signifikan menjadi 1,26% pada 2017 dari sebelumnya 11,71% pada 2013. Apalagi peringkat ketahanan pangan Indonesia berdasarkan Global Food Security Index juga terus membaik ke peringkat 65 dari 113 negara,” ujar Tjipta.Sementara itu, pengamat ekonomi politik pertanian dari Universitas Trilogi, Muhamad Karim menilai, harga jagung lokal lebih bagus dibandingkan dengan harga jagung impor. Pasalnya, saat ini jagung lokal memiliki kualitas kandungan protein lebih banyak. “Lebih dari itu, saat musim kemarau ini kualitas jagung lokal jauh lebih tinggi lagi dan lebih segar karena tidak ada GMO, tidak kopos-kopos, dan lebih diminati peternak. Saya pastikan harganya juga bagus.

Dalam ekonomi, kondisi ini wajar, di mana barang yang berkualitas dan tinggi peminatnya akan diikuti kenaikan harga,” katanya. Namun, Karim menekankan agar pemerintah tidak gegabah dalam mengambil kebijakan impor. Sebab kebijakan itu hanya akan merugikan petani karena kondisi harga yang ada bukan stok atau produksi yang tidak mencukupi.

“Lihat saja data Kementerian Pertanian, target produksi jagung hing ga akhir tahun 2019 ini sebanyak 33 juta ton. Angka ini naik dari realisasi 2018 sebesar 28,92 juta ton, dipastikan surplus melebihi kebutuhan. Artinya, dari produksi jagung lokal bisa digunakan untuk kebutuhan konsumsi maupun kebutuhan lainnya. Lagian kalau impor akan rugi karena dalam transaksi kurs asing. Jadi, jika impor pasti itu kebijakan keliru,” ujarnya.

Senada dengan Karim, Sekretaris Dewan Jagung Nasional Maxydul Sola juga meminta pemerintah tidak melakukan impor. Terlebih bantuan dan upaya peningkatan produksi dengan alat panen dan pascapanen sudah berhasil menjaga pasokan serta stabilitas harga di dalam negeri.

“Saat ini saja harganya bagus, yakni di atas Rp3.150 per kilogram. Kondisi saat ini ada pertanaman dan produksi jagung cukup sesuai kebutuhan bulanan. Ini kita lakukan bersama semua pihak, kita juga bekerja sama membangun kemitraan petani dengan pelaku usaha,” katanya.

Sola menyebutkan rata-rata pro duktivitas jagung lokal sekitar 6 ton per hektare. Karena itu, pihaknya mendukung menaikkan produksi menjadi 10 ton per hektare. Peningkatan ini bahkan sudah terjadi di sentra produksi, seperti di Sumbawa, Dompu, Sulawesi Selatan, Lampung, dan Gorontalo.

“Tercukupinya kebutuhan jagung akan semakin menjauhkan Indonesia dari keran impor jagung yang merugikan petani. Sekarang kita sudah membuat sentra-sentra jagung setiap wilayah dan penanaman terus dilakukan. Selain di lahan sawah, juga di lahan kering dan per kebunan,” katanya.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan P Roslani mengatakan, ancaman impor sudah bisa diatasi jika melihat hasil kerja sektor pertanian selama empat setengah tahun terakhir. Rosan menilai tren sektor pertanian mampu memiliki nilai tambah.

“Misalnya, ekspor pangan Indonesia selama empat tahun terakhir mengalami lonjakan dahsyat seperti tahun 2018, volume ekspor produk pa ngan menembus angka 42 juta ton.Beras nasional kita juga terbukti surplus sampai 2 juta ton lebih. Nah, bila memang surpluskan tidak perlu impor. Mengartikan juga Indonesia tak selamanya impor,” ujarnya.Ketua Umum Dewan Jagung Nasional (DJN) Fadel Muhammad juga mengatakan produksi jagung Indonesia cukup untuk menutupi kebutuhan nasional. Kualitas jagung nasional juga mampu bersaing di pasar regional. “Indonesia sudah bisa ekspor (jagung) ke ASEAN, seperti pernah ke Filipina dan Malaysia. Produksi jagung juga dipacu agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat,” kata Fadel.

Fadel mengungkapkan, terkait produktivitas jagung, Indonesia sebenarnya tidak perlu khawatir. Pasalnya, ada sekitar 22 daerah yang digolongkan sentra jagung di Tanah Air.

“Seperti di antaranya ada wilayah di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Lampung, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat,” ujarnya.

Menurut Fadel, produksi jagung yang cukup di Indonesia juga menyangkut dengan kehidupan dan kepentingan ketahanan pangan nasional. Termasuk mendukung kemajuan subsektor peternakan. Fadel mencontohkan, bisa saja menjadi awal pengembangan subsektor industri unggas di wilayah sentra jagung sehingga tidak lagi mengandalkan jagung impor sebagai pakan ternak.

Hal lainnya dengan mendorong produktivitas jagung nasional akan menyentuh kesejahteraan taraf hidup petani. Mengandalkan jagung impor untuk domestik bakal membuat ekonomi dan pendapatan petani lokal menurun.

“Impor jagung juga memalukan produksi dalam negeri. Jagung Indonesia itu punya banyak varietas unggulan. Wilayah penghasilnya juga banyak,” ucap Fadel. Mengenai jagung, Presiden Jokowi pernah mengungkapkan pada 2018 Indonesia sudah mampu ekspor 380.000 ton. Kemudian selama 2014-2018, Indonesia juga sudah mampu menekan impor jagung sebesar 3,3 juta ton. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan produksi jagung nasional pada 2014 sebanyak 19,0 juta ton.

Sementara pada 2015 menjadi 19,6 juta ton, 2016 tercatat 23,6 juta ton, dan 2017 mencapai 28,9 juta ton. Produksi jagung Indonesia pa da 2018 kembali melonjak mencapai 30 juta ton. Sementara kebutuhan pasokan jagung untuk pakan ternak dan industri saat ini di Indonesia mencapai 7,8-11,1 juta ton. (Sudarsono)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7652 seconds (0.1#10.140)