Audit Investigatif, Auditor BPK Harus Melakukan Konfirmasi ke Auditee
Jum'at, 30 Agustus 2019 - 02:32 WIB

Audit Investigatif, Auditor BPK Harus Melakukan Konfirmasi ke Auditee
A
A
A
JAKARTA - Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus melakukan konfirmasi kepada auditee saat melaksanakan tugas audit investigatif. Hal ini diungkapkan mantan Anggota Majelis Kehormatan BPK, I Gde Pantja Astawa, menanggapi pernyataan I Nyoman Wara yang pernah melakukan audit Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bahwa dirinya tak perlu melakukan konfirmasi terhadap auditee.
"Berdasarkan asas asersi pemeriksaan, auditor BPK harus mengkonfirmasi pihak yang diperiksa (auditee) dalam pemeriksaan, baik pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang antara lain dalam bentuk pemeriksaan investigatif," tegas Pantja Astawa di Jakarta, Kamis (29/8/2019).
Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Padjajaran itu mengatakan, dalam suatu pemeriksaan sekurang-kurangnya harus ada tiga unsur. Pertama, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) harus diterbitkan oleh lembaga berwenang, dalam hal ini BPK.
Kedua, harus memperhatikan dan menjadikan SPKN sebagai pegangan atau dasar pemeriksaan. Ketiga, harus memperhatikan satu prinsip, yaitu asas asersi.
"Asas asersi yaitu mewajibkan auditor memeriksa pihak yang diperiksa, karena yang diperiksa harus dikonfirmasi apapun jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK," katanya.
Maksudnya, lanjut dia, agar pihak yang diperiksa memiliki kesempatan untuk mengkaji, menelaah, dan membela diri. Asas ini mutlak alias tidak bisa ditawar lagi dalam suatu pemeriksaan jenis apapun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang BPK.
Sebelumnya, I Nyoman Wara yang juga salah satu Capim KPK menyatakan bahwa audit BPK 2017 terkait BLBI dalam perkara Syafruddin Arsyad Temenggung sudah sesuai standar dan memang ada kerugian negara. Dari hasil audit Nyoman dalam kasus BLBI, terdapat kerugian negara sejumlah Rp4,58 triliun.
Padahal audit BPK sebelumnya, yakni pada 2002 dan 2006, tidak menyatakan adanya kerugian negara. Bahkan dalam audit BPK tahun 2006, dikatakan Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan kepada Sjamsul Nursalim.
Padahal berdasarkan SPKN, audit BPK harus memperhatikan hasil audit BPK sebelumnya. Namun faktanya, dalam audit BPK 2017, I Nyoman Wara sama sekali tidak memperhatikan laporan audit BPK sebelumnya.
Nyoman menjelaskan, perbedaan hasil itu didapat lantaran pada 2002 dan 2006, BPK melakukan audit kinerja. Sementara itu, pada 2017, audit yang dilakukan merupakan audit investigasi.
Nyoman juga mengakui dalam audit BPK 2017, ia tidak melakukan konfirmasi terhadap pihak terperiksa karena dalam audit investigasi tidak perlu meminta tanggapan pihak terperiksa. Alasannya karena audit investigatif sifatnya rahasia sehingga berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), tidak perlu dimintakan tanggapan.
"Berdasarkan asas asersi pemeriksaan, auditor BPK harus mengkonfirmasi pihak yang diperiksa (auditee) dalam pemeriksaan, baik pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang antara lain dalam bentuk pemeriksaan investigatif," tegas Pantja Astawa di Jakarta, Kamis (29/8/2019).
Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Padjajaran itu mengatakan, dalam suatu pemeriksaan sekurang-kurangnya harus ada tiga unsur. Pertama, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) harus diterbitkan oleh lembaga berwenang, dalam hal ini BPK.
Kedua, harus memperhatikan dan menjadikan SPKN sebagai pegangan atau dasar pemeriksaan. Ketiga, harus memperhatikan satu prinsip, yaitu asas asersi.
"Asas asersi yaitu mewajibkan auditor memeriksa pihak yang diperiksa, karena yang diperiksa harus dikonfirmasi apapun jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK," katanya.
Maksudnya, lanjut dia, agar pihak yang diperiksa memiliki kesempatan untuk mengkaji, menelaah, dan membela diri. Asas ini mutlak alias tidak bisa ditawar lagi dalam suatu pemeriksaan jenis apapun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang BPK.
Sebelumnya, I Nyoman Wara yang juga salah satu Capim KPK menyatakan bahwa audit BPK 2017 terkait BLBI dalam perkara Syafruddin Arsyad Temenggung sudah sesuai standar dan memang ada kerugian negara. Dari hasil audit Nyoman dalam kasus BLBI, terdapat kerugian negara sejumlah Rp4,58 triliun.
Padahal audit BPK sebelumnya, yakni pada 2002 dan 2006, tidak menyatakan adanya kerugian negara. Bahkan dalam audit BPK tahun 2006, dikatakan Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan kepada Sjamsul Nursalim.
Padahal berdasarkan SPKN, audit BPK harus memperhatikan hasil audit BPK sebelumnya. Namun faktanya, dalam audit BPK 2017, I Nyoman Wara sama sekali tidak memperhatikan laporan audit BPK sebelumnya.
Nyoman menjelaskan, perbedaan hasil itu didapat lantaran pada 2002 dan 2006, BPK melakukan audit kinerja. Sementara itu, pada 2017, audit yang dilakukan merupakan audit investigasi.
Nyoman juga mengakui dalam audit BPK 2017, ia tidak melakukan konfirmasi terhadap pihak terperiksa karena dalam audit investigasi tidak perlu meminta tanggapan pihak terperiksa. Alasannya karena audit investigatif sifatnya rahasia sehingga berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), tidak perlu dimintakan tanggapan.
(ven)