Bamsoet: Kementerian ESDM Tak Perlu Percepat Larangan Ekspor Nikel

Senin, 02 September 2019 - 18:55 WIB
Bamsoet: Kementerian ESDM Tak Perlu Percepat Larangan Ekspor Nikel
Bamsoet: Kementerian ESDM Tak Perlu Percepat Larangan Ekspor Nikel
A A A
JAKARTA - Ketua DPR Bambang Soesatyo menilai Peraturan Pemerintah (PP) No 1 Tahun 2017 yang memuat ketentuan pelarangan ekspor bijih nikel kadar rendah dilakukan mulai tahun 2022 masih relevan diberlakukan. Dengan demikian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tak perlu mengeluarkan peraturan menteri untuk mempercepat pelarangan ekspor tersebut menjadi akhir Desember 2019.

"Sebagaimana hari ini disampaikan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), bahwa dari sisi pengusaha tambang nasional, mereka masih membutuhkan kuota ekspor sampai 2022, sebagaimana PP No 1/2017. Menyambut aspirasi mereka, DPR akan segera mengirim surat kepada Kementerian ESDM sebagai respons atas penjelasan Dirjen Mineral dan Batu Bara yang siang ini mengumumkan bahwa Kementerian ESDM akan mengeluarkan Peraturan Menteri yang intinya menghentikan insentif ekspor nikel bagi pembangun smelter per tanggal 1 Januari 2020," ujar Bamsoet seusai menerima pengurus APNI, di ruang kerja Ketua DPR, Jakarta, Senin (2/9/2019).

Pengurus APNI yang hadir antara lain, Ketua Umum Komjen Pol (purn) Insmerda Lebang, Wakil Ketua Umum I Wiratno, Sekretaris Umum Meidy Katrin Lengkey, Bidang Humas Tri Firdaus, Bidang Perizinan Al Maodudi, Bidang Lingkungan Maria Chandra dan Bidang SDM ID Susantyo. Sedangkan Ketua DPR ditemani anggota Komisi IV DPR Robert Kardinal, anggota Komisi VII DPR Fadel Muhammad, anggota Komisi XI DPR Maruarar Sirait dan Mukhammad Misbakhun.

Bendahara Umum DPP Partai Golkar 2014-2016 ini meminta Kementerian ESDM lebih sensitif lagi dalam mendukung kelangsungan pengusaha tambang nasional. Jangan sampai karena kebijakan yang terburu-buru, malah menyebabkan kerugian besar bagi pengusaha nasional. Karena itu, Kementerian ESDM perlu membangun dialog dan kesepahaman dengan para pelaku tambang nasional.

"Dari perhitungan APNI, apabila pelarangan ekspor tersebut dipercepat, akan ada potensi kehilangan penerimaan negara dari ekspor sebesar USD191 juta. DPR melalui Komisi XI akan mendalami hal ini, karena menyangkut potensi penerimaan negara," tutur Bamsoet.

Selain menghilangkan potensi penerimaan negara dari ekspor, Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey menambahkan akan ada potensi kerugian terhadap pengusaha tambang nasional yang sedang progres membangun 16 smelter. Kerugian yang ditaksir mencapai Rp50 triliun.

"Progress pembangunan 16 smelter sudah 30%. Target kami selesai pada tahun 2022 sesuai PP No 1 Tahun 2017. Modal pembangunan tersebut salah satunya didapat dari keuntungan mengekspor nikel. Jika pelarangan ekspor dipercepat, pembangunan smelter tidak bisa dilanjutkan. Akibatnya sekitar 15.000 tenaga kerja lokal yang berada di 16 smelter bisa jadi dirumahkan. Tidak beroperasinya 16 smelter di tahun 2022 juga membuat negara kehilangan potensi penerimaan mencapai USD261,273 juta per tahun dari output produk smelter berupa NPI/FeNi," jelas Meidy Katrin Lengkey.

Lebih jauh APNI menuturkan, saat ini mereka juga tak bisa menjual bijih nikel ke investor asing yang membangun smelter di dalam negeri, lantaran selisih harga yang sangat rendah dibanding ekspor. Sebagai gambaran, harga wet metric ton (WMT) free on board Tongkang (lokal) bijih nikel kadar Ni 1,7% sebesar USD15, sedangkan harga free on board vessel (expor) sebesar USD35. Jika dijual di pasar domestik, APNI mengaku rugi karena biaya produksinya saja mencapai USD16,57 WMT, diluar biaya perizinan, pembangunan sarana, PPN dan lainnya.

"Selain itu para investor asing yang memiliki smelter di Indonesia menggunakan surveyor yang tidak ditetapkan oleh pemerintah, yaitu Intertek. Padahal dalam Permen ESDM No 26/2018, pemerintah tegas mengatur surveyor yang bisa digunakan antara lain Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Services, Anindya, dan SCC," terang Meidy.

Menanggapi lebih lanjut aduan APNI, Legislator Dapil VII Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen ini menjelaskan bahwa tugas pemerintah bersama DPR adalah mendistribusikan keadilan, baik itu keadilan sosial maupun ekonomi. Termasuk melindungi pengusaha nasional agar tetap bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

"Kita tidak anti terhadap investor asing. Namun, jangan karena kondisi tata kelola niaga yang tidak bagus, justru membuat pengusaha nasional gulung tikar. Karena itu perlu regulasi dan aturan main yang jelas dari pemerintah untuk memastikan hadirnya keadilan ekonomi. Agar investor dan pengusaha nasional bisa sama-sama diuntungkan. Jangan sampai kita memberi karpet merah terhadap investor asing dengan cara menyingkirkan pengusaha nasional," pungkas Bamsoet.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3420 seconds (0.1#10.140)