Atasi Karhutla, Upaya Pencegahan Dinilai Lebih Efektif

Minggu, 22 September 2019 - 19:25 WIB
Atasi Karhutla, Upaya...
Atasi Karhutla, Upaya Pencegahan Dinilai Lebih Efektif
A A A
JAKARTA - Upaya memperkuat pencegahan dinilai lebih efektif untuk menyelesaikan persoalan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) daripada upaya penanganan seperti yang dilakukan selama ini. Terlebih permasalahan karhutla cukup kompleks, yang melibatkan perilaku dan kepentingan banyak pihak, juga dipengaruhi faktor iklim di Indonesia.

"Salah satu solusi yang paling efektif adalah mewajibkan upaya pencegahan kebakaran secara komprehensif. Ini harus dilaksanakan oleh masyarakat, korporasi, dan pemerintah sebagai pengawas," kata Guru Besar Ilmu Tanah dan Lingkungan Universitas Tanjungpura Gusti Z Anshari, Minggu (22/9/2019).

Menurut dia, selama ini pendekatan penanganan karhutla masih ad hoc dan program pencegahannya belum masif. Termasuk di lahan gambut yang kerap menjadi sorotan ketika terjadi karhutla.

Anshori berpendapat upaya restorasi gambut yang telah dilakukan dalam kurun sekitar tiga tahun terakhir merupakan langkah tepat. Sudah ada upaya manajemen air yang memastikan air tersedia sepanjang tahun dan saat musim kering kelembaban gambut tetap terjaga.

"Hanya, wewenang supervisinya belum seluas lahan gambut yang ada di Indonesia. Sebab, restorasi lahan gambut harus terus didukung dengan kegiatan pencegahan terfokus dan terkoordinasi dengan baik," tuturnya.

Selain itu, imbuh dia, termasuk perlu adanya upaya lain seperti pengembalian fungsi lahan yang lebih terfokus. Program pencegahan kebakaran yang termasuk upaya restorasi dan pengelolaan lingkungan pun harusnya dipisahkan dari program pemanfaatan gambut untuk produksi. Saat ini, kata dia, belum ada upaya tersebut dan fokusnya masih sebatas pembagian wewenang berdasarkan peruntukkan lahan saja.

"Restorasi dan pengelolaan lingkungan pada lahan gambut harusnya ditangani oleh satu lembaga seperti Badan Restorasi Gambut (BRG) yang bisa diperkuat peranannya," kata Anshari.

Saat ini BRG hanya memiliki wewenang pengawasan gambut di wilayah non-konsesi dan konsesi perkebunan saja. Adapun pengawasan wilayah konsesi perhutanan yang luasnya mencapai 1,2 juta hektare masih di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Berdasarkan pantauan satelit, 85% karhutla tahun ini justru terjadi di luar lahan gambut konsesi perkebunan. Wilayah konsesi perhutanan dan hutan lain jadi area yang paling banyak terbakar. "Saat ini belum ada akses bagi BRG untuk masuk dan membantu supervisi pada konsesi perhutanan," tambahnya.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga mencatat luas kebakaran di lahan gambut mengalami penurunan sebesar 2%. Pada 2015, lahan gambut terbakar mencapai 29% dari total luasan karhutla. Hingga Agustus 2019, lahan gambut terbakar berada di angka 27% dari total luasan karhutla.

Meski hasilnya belum terlihat besar, upaya restorasi gambut yang mulai intens dilakukan sejak pembentukkan BRG pada 2016 bisa dibilang mulai membuahkan hasil. Sebab, hasil riil dari upaya restorasi gambut baru akan bisa nampak di atas 10 tahun. "Mungkin bisa sampai 15 tahun baru akan terlihat hasilnya. Namun, sebagai salah satu upaya pencegahan karhutla, restorasi gambut harus tetap dilakukan berkesinambungan," kata Anshari.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0812 seconds (0.1#10.140)