OJK Minta Industi Asuransi Jiwa Hati-hati Gunakan Teknologi Digital
A
A
A
DENPASAR - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta industri asuransi jiwa berhati-hati memanfaatkan teknologi digital dalam rangka mengembangkan bisnisnya. Jangan sampai hal itu malah menimbulkan risiko baru.
"Ini yang saya bilang ke teman-teman (asuransi). Jangan asal ikut-ikutan. Bikin aplikasi entah ngembangin sendiri atau beli yang sudah ada. Itu bahaya nanti," kata Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank Ahmad Nasrullah dalam seminar Digital & Risk Management in Insurance (DRiM) 2019 di Nusa Dua, Bali, Kamis (26/9/2019).
Menurutnya, ada risiko operasional yang makin tinggi ketika perusahaan asuransi menerapkan teknologi digital. Salah satunya yang bakal dihadapi yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Nasrulllah mencontohkan jika ada data nasabah bocor baik karena tanpa sengaja akibat kurang amannya sistem teknologi yang dimiliki ataupun karena kena hack. Jika itu terjadi, maka perusahaan asuransi harus bertanggungjawab. "Mungkin kita merasa secure dengan UU asuransi, tapi berdasarkan UU ITE kita kena di situ," ungkap Nasrullah.
OJK sendiri, kata dia, belum mengatur secara detail mengenai hal ini, sehingga aturan main yang ada masih konvensional. "Kita melihat perkembangan dan dikaji. Kita tidak boleh terburu-buru juga," ujar Nasrullah.
Sementara Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon mengatakan, sekitar 10 dari 65 perusahaan asuransi yang berada di bawah asosiasi mulai memanfaatkan teknologi digital dalam menjual produk dan layanan asuransi jiwa.
Dia menjelaskan, penjualan produk melalui jalur digital baru menyumbang sekitar 0.01% dari total premi sebesar Rp54,57 triliun (data Q2 2019-AAJI). "Lebih dari 77% dari total premi baru dihasilkan dari jalur distribusi keagenan dan bancassurance," kata Budi.
Budi mengatakan sebagian perusahaan masih mempelajari investasi dalam teknologi digital. "Jadi jangan kaget jika dalam tempo tiga lima tahun ke depan tiba-tiba pendapatan premi porsinya disumbangkan oleh digital dibanding yang ada saat ini," pungkasnya.
"Ini yang saya bilang ke teman-teman (asuransi). Jangan asal ikut-ikutan. Bikin aplikasi entah ngembangin sendiri atau beli yang sudah ada. Itu bahaya nanti," kata Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank Ahmad Nasrullah dalam seminar Digital & Risk Management in Insurance (DRiM) 2019 di Nusa Dua, Bali, Kamis (26/9/2019).
Menurutnya, ada risiko operasional yang makin tinggi ketika perusahaan asuransi menerapkan teknologi digital. Salah satunya yang bakal dihadapi yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Nasrulllah mencontohkan jika ada data nasabah bocor baik karena tanpa sengaja akibat kurang amannya sistem teknologi yang dimiliki ataupun karena kena hack. Jika itu terjadi, maka perusahaan asuransi harus bertanggungjawab. "Mungkin kita merasa secure dengan UU asuransi, tapi berdasarkan UU ITE kita kena di situ," ungkap Nasrullah.
OJK sendiri, kata dia, belum mengatur secara detail mengenai hal ini, sehingga aturan main yang ada masih konvensional. "Kita melihat perkembangan dan dikaji. Kita tidak boleh terburu-buru juga," ujar Nasrullah.
Sementara Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon mengatakan, sekitar 10 dari 65 perusahaan asuransi yang berada di bawah asosiasi mulai memanfaatkan teknologi digital dalam menjual produk dan layanan asuransi jiwa.
Dia menjelaskan, penjualan produk melalui jalur digital baru menyumbang sekitar 0.01% dari total premi sebesar Rp54,57 triliun (data Q2 2019-AAJI). "Lebih dari 77% dari total premi baru dihasilkan dari jalur distribusi keagenan dan bancassurance," kata Budi.
Budi mengatakan sebagian perusahaan masih mempelajari investasi dalam teknologi digital. "Jadi jangan kaget jika dalam tempo tiga lima tahun ke depan tiba-tiba pendapatan premi porsinya disumbangkan oleh digital dibanding yang ada saat ini," pungkasnya.
(akr)