Kemendag-Kemenlu Bakal Dilebur, Berpotensi Munculkan Masalah Baru
A
A
A
JAKARTA - Rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bakal melebur Kementerian Perdagangan (Kemendag) dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk meningkatkan investasi dan ekspor kini mengemuka. Namun, penggabungan dua kementerian beda karakteristik itu, antara diplomasi yang dilakukan Kemenlu dengan negosiasi dagang dilakukan Kemendag pasti tidaklah mudah.
Sejumlah pihak menilai hal itu bakal sulit diwujudkan, lebih banyak tak berfaedahnya ketimbang manfaatnya. Diyakini, penggabungan malah bisa bikin banyak masalah serta membuat pusing menteri dan presiden. Politisi Golkar Bobby Adhityo Rizaldi menilai akan sangat sulit melebur dua kementerian itu. Apalagi, tidak semua orientasi Kemendag berurusan dengan luar negari.
"Bila meleburkan kementerian luar negeri dengan seluruh fungsi kementerian perdagangan, saya rasa sulit karena tidak semua fungsi kementrian perdagangan itu berorientasi luar negeri. Banyak yang berorientasi dalam negeri seperti penguatan perdagangan dalam negeri, standardisasi, pemberdayaan konsumen dalam negeri dan lainnya," kata mantan anggota Komisi I DPR lalu yang kini terpilih kembali itu kepada wartawan, Senin (10/7/2019).
Dia menjelaskan, Kementerian Luar negeri adalah salah satu yang nomenklaturnya jelas ada di UUD 45 dan tidak bisa diubah sembarangan. Kiranya jika ada penggabungan fungsi seperti yang disebutkan dalam UU Kementerian 39/2008 dan Perpres Nomor 7 tahun 2015 mengenai Organisasi Kementerian Negara 2015, ini bisa dilakukan beberapa opsi.
"Kiranya memang Presiden ingin menyederhanakan koordinasi dalam hal Perdagangan Luar Negeri (DAGLU) ke dalam organisasi Kementrian Luar Negeri, perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama tentu jenis perdagangan nya, apakah ekspor atau impor atau dua-dua nya? Karena kompleksitas nya misal koordinasi hulu hilir importasi barang mentah industri. Atau meningkatkan ekspor nya saja. Atau memang seluruh fungsi DAGLU," katanya.
Di kesempatan lain, Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana meminta wacana penggabungan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri harus dikaji secara mendalam. Ia menduga wacana tersebut muncul karena pemerintah meniru Australia yang menjadikan Departemen Luar Negeri dan Departemen Perdagangan mereka menjadi satu.
"Kemungkinan ini mau meniru di Australia, di sana ada Department Curent Afair and Trade, dugaan saya seperti itu. Namun perlu diketahui, bahwa ide Australia itu adalah sebagai negara yang bertumpu pada diplomasi ekonomi, maka penggabungan dua departemen itu jadi relevan," ujarnya.
Hikmahanto mengingatkan, urusan kebijakan luar negeri, tidak hanya soal ekonomi namun juga politik, pertahanan dan lainnya. Jika Indonesia ingin menjadikan semua kebijakan luar negeri termasuk eskpor impor menjadi satu tangan, kata dia, maka penggabungan bisa saja dilakukan.
"Namun yang pasti agak repot kalau pemerintah kita lakukan itu. Saya belum tahu bagaimana strukturnya nanti, tetapi tidak semua Direktorat Jenderal di Kemendag bisa masuk ke Kemenlu. Ini akan menjadi beban bagi siapapun yang memimpin (Menterinya)," ujarnya.
Hikmahanto berpendapat, ada beberapa masalah teknis di Perdagangan yang di luar kemampuan Kemenlu sehingga perlu kajian mendalam. Terlebih jika menteri luar negerinya, misalnya seorang diplomat yang kurang paham kebijakan perdagangan.
"Kalau benar nanti disatukan, pasti ada Dirjen yang harus dipindah dari Kemendag ke kementerian lain, misalnya, Koperasi dan UMKM. Lalu bicara ekspor impor juga, produk impor seperti ayam, daging, hingga sayur dan buah itu kan juga melibatkan Kementerian Pertanian, bagaimana produk impor tidak mengganggu petani dan peternak lokal. Jadi ada fungsi-fungsi teknis yang tidak bisa masuk ke Kemenlu," tuturnya.
Ia juga memprediksi implementasi penggabungan harus diantisipasi bukan hanya 1-2 tahun masa transisi, tetapi bisa berefek jangka panjang.
"Kita bicara perubahan mindset dan kultur, resistensi di internal, dan lainnya. Misalnya sekarang pejabat eselon 1 (Dirjen) di kemenlu ada 7, nanti bisa menciut. Lalu apakah orang-orang yang dulu di Kemendag bisa menjabat Dirjen nantinya, ini akan memunculkan kecemburuan. Hal-hal seperti itu harus dilihat dan diantisipasi," tuturnya.
Di hubungi terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai bahwa wacana penggabungan Kemenlu dengan Kemendag bukan sebagai solusi untuk memperbaiki perekonomian.
"Masalah perdagangan ini kan masalah lintas sektoral, belum tentu jika digabungkan akan berdampak kepada kerja perkonomian, ekspor khususnya. Belum akan terlihat dalam jangka waktu pendek. Apalagi tahun depan diprediksi akan terjadi resesi ekonomi global," ungkap Bhima.
Justru sebaliknya, jika hal itu dilakukan, diprediksi akan menimbulkan permasalahan baru, yakni pada kinerja para ASN. Pasalnya, dua kementerian tersebut memiliki tupoksi yang berbeda. Dimana Kemenlu lebih kepada urusan diplomasi, sementara Kemedag terkait dengan perekonomian ekspor impor.
"Dari situ SDM-nya perlu persiapan, karena penggabungam fungsi itu bisa menurunkan motivasi dari para ASN atau pejabat di dua kementerian itu, karena core-nya berbeda. Akan ada ego sektoral yang tidak selesai, yang akan menimbulkan masalah koordinasi," ungkapnya.
Oleh karena itu, dia berpendapat tidak sepakat dengan wacana tersebut, jika harus dilakukan dalam jangka waktu dekat ini. Hal itu dinilai bukan sebagai sebuah solusi.
"Hasilnya tidak akan optimal, dan momentum penggabungannya tidak pas. Kalau dipaksakan, kenapa tidak pada saat surplus negara perdagangan masih terjadi, tahun 2017 kalau tidak salah. Jadi momentumnya tidak pas, akan menambah beban kerja di Kemenlu," jelasnya.
Sementara itu, Pengamat Politik Internasional Arya Sandhiyudha melihat, esensinya penggabungan itu bukan pada nomenklatur, tetapi penguatan fungsi struktural di dalam Kemenlu dan peningkatan capaian kinerja Kemenlu. Menurutnya, wacana ini juga sinyal untuk DPR RI, Komisi I utamanya perlu mengawasi dan mendukung agenda Kemlu.
"Saya kira bukan peleburan dua Kementrian itu maksudnya, tetapi penguatan fungsi diplomasi ekonomi di Kemenlu. Jadi untuk agenda perdagangan luar negeri nanti leading sector nya Kemenlu untuk memudahkan garis koordinasi," katanya.
Diketahui, sejauh ini ada perbedaan karakteristik antara diplomasi yang dilakukan Kemenlu dengan negosiasi dagang yang dilakukan Kemendag. Selama ini, Kemenlu lebih menangani tugas diplomasi ekonomi. Namun, diplomasi tersebut tidak secara spesifik mencakup negosiasi perdagangan.
Sehingga apabila nanti digabungkan dengan Kemendag, bakal ada tantangan tersendiri. Selain itu, negosiasi dagang menghadapi permintaan masing-masing negara. Karena itu, Kemendag telah memiliki Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI), yang khusus menangani negosiasi perdagangan berbasiskan data.
Sejumlah pihak menilai hal itu bakal sulit diwujudkan, lebih banyak tak berfaedahnya ketimbang manfaatnya. Diyakini, penggabungan malah bisa bikin banyak masalah serta membuat pusing menteri dan presiden. Politisi Golkar Bobby Adhityo Rizaldi menilai akan sangat sulit melebur dua kementerian itu. Apalagi, tidak semua orientasi Kemendag berurusan dengan luar negari.
"Bila meleburkan kementerian luar negeri dengan seluruh fungsi kementerian perdagangan, saya rasa sulit karena tidak semua fungsi kementrian perdagangan itu berorientasi luar negeri. Banyak yang berorientasi dalam negeri seperti penguatan perdagangan dalam negeri, standardisasi, pemberdayaan konsumen dalam negeri dan lainnya," kata mantan anggota Komisi I DPR lalu yang kini terpilih kembali itu kepada wartawan, Senin (10/7/2019).
Dia menjelaskan, Kementerian Luar negeri adalah salah satu yang nomenklaturnya jelas ada di UUD 45 dan tidak bisa diubah sembarangan. Kiranya jika ada penggabungan fungsi seperti yang disebutkan dalam UU Kementerian 39/2008 dan Perpres Nomor 7 tahun 2015 mengenai Organisasi Kementerian Negara 2015, ini bisa dilakukan beberapa opsi.
"Kiranya memang Presiden ingin menyederhanakan koordinasi dalam hal Perdagangan Luar Negeri (DAGLU) ke dalam organisasi Kementrian Luar Negeri, perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama tentu jenis perdagangan nya, apakah ekspor atau impor atau dua-dua nya? Karena kompleksitas nya misal koordinasi hulu hilir importasi barang mentah industri. Atau meningkatkan ekspor nya saja. Atau memang seluruh fungsi DAGLU," katanya.
Di kesempatan lain, Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana meminta wacana penggabungan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri harus dikaji secara mendalam. Ia menduga wacana tersebut muncul karena pemerintah meniru Australia yang menjadikan Departemen Luar Negeri dan Departemen Perdagangan mereka menjadi satu.
"Kemungkinan ini mau meniru di Australia, di sana ada Department Curent Afair and Trade, dugaan saya seperti itu. Namun perlu diketahui, bahwa ide Australia itu adalah sebagai negara yang bertumpu pada diplomasi ekonomi, maka penggabungan dua departemen itu jadi relevan," ujarnya.
Hikmahanto mengingatkan, urusan kebijakan luar negeri, tidak hanya soal ekonomi namun juga politik, pertahanan dan lainnya. Jika Indonesia ingin menjadikan semua kebijakan luar negeri termasuk eskpor impor menjadi satu tangan, kata dia, maka penggabungan bisa saja dilakukan.
"Namun yang pasti agak repot kalau pemerintah kita lakukan itu. Saya belum tahu bagaimana strukturnya nanti, tetapi tidak semua Direktorat Jenderal di Kemendag bisa masuk ke Kemenlu. Ini akan menjadi beban bagi siapapun yang memimpin (Menterinya)," ujarnya.
Hikmahanto berpendapat, ada beberapa masalah teknis di Perdagangan yang di luar kemampuan Kemenlu sehingga perlu kajian mendalam. Terlebih jika menteri luar negerinya, misalnya seorang diplomat yang kurang paham kebijakan perdagangan.
"Kalau benar nanti disatukan, pasti ada Dirjen yang harus dipindah dari Kemendag ke kementerian lain, misalnya, Koperasi dan UMKM. Lalu bicara ekspor impor juga, produk impor seperti ayam, daging, hingga sayur dan buah itu kan juga melibatkan Kementerian Pertanian, bagaimana produk impor tidak mengganggu petani dan peternak lokal. Jadi ada fungsi-fungsi teknis yang tidak bisa masuk ke Kemenlu," tuturnya.
Ia juga memprediksi implementasi penggabungan harus diantisipasi bukan hanya 1-2 tahun masa transisi, tetapi bisa berefek jangka panjang.
"Kita bicara perubahan mindset dan kultur, resistensi di internal, dan lainnya. Misalnya sekarang pejabat eselon 1 (Dirjen) di kemenlu ada 7, nanti bisa menciut. Lalu apakah orang-orang yang dulu di Kemendag bisa menjabat Dirjen nantinya, ini akan memunculkan kecemburuan. Hal-hal seperti itu harus dilihat dan diantisipasi," tuturnya.
Di hubungi terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai bahwa wacana penggabungan Kemenlu dengan Kemendag bukan sebagai solusi untuk memperbaiki perekonomian.
"Masalah perdagangan ini kan masalah lintas sektoral, belum tentu jika digabungkan akan berdampak kepada kerja perkonomian, ekspor khususnya. Belum akan terlihat dalam jangka waktu pendek. Apalagi tahun depan diprediksi akan terjadi resesi ekonomi global," ungkap Bhima.
Justru sebaliknya, jika hal itu dilakukan, diprediksi akan menimbulkan permasalahan baru, yakni pada kinerja para ASN. Pasalnya, dua kementerian tersebut memiliki tupoksi yang berbeda. Dimana Kemenlu lebih kepada urusan diplomasi, sementara Kemedag terkait dengan perekonomian ekspor impor.
"Dari situ SDM-nya perlu persiapan, karena penggabungam fungsi itu bisa menurunkan motivasi dari para ASN atau pejabat di dua kementerian itu, karena core-nya berbeda. Akan ada ego sektoral yang tidak selesai, yang akan menimbulkan masalah koordinasi," ungkapnya.
Oleh karena itu, dia berpendapat tidak sepakat dengan wacana tersebut, jika harus dilakukan dalam jangka waktu dekat ini. Hal itu dinilai bukan sebagai sebuah solusi.
"Hasilnya tidak akan optimal, dan momentum penggabungannya tidak pas. Kalau dipaksakan, kenapa tidak pada saat surplus negara perdagangan masih terjadi, tahun 2017 kalau tidak salah. Jadi momentumnya tidak pas, akan menambah beban kerja di Kemenlu," jelasnya.
Sementara itu, Pengamat Politik Internasional Arya Sandhiyudha melihat, esensinya penggabungan itu bukan pada nomenklatur, tetapi penguatan fungsi struktural di dalam Kemenlu dan peningkatan capaian kinerja Kemenlu. Menurutnya, wacana ini juga sinyal untuk DPR RI, Komisi I utamanya perlu mengawasi dan mendukung agenda Kemlu.
"Saya kira bukan peleburan dua Kementrian itu maksudnya, tetapi penguatan fungsi diplomasi ekonomi di Kemenlu. Jadi untuk agenda perdagangan luar negeri nanti leading sector nya Kemenlu untuk memudahkan garis koordinasi," katanya.
Diketahui, sejauh ini ada perbedaan karakteristik antara diplomasi yang dilakukan Kemenlu dengan negosiasi dagang yang dilakukan Kemendag. Selama ini, Kemenlu lebih menangani tugas diplomasi ekonomi. Namun, diplomasi tersebut tidak secara spesifik mencakup negosiasi perdagangan.
Sehingga apabila nanti digabungkan dengan Kemendag, bakal ada tantangan tersendiri. Selain itu, negosiasi dagang menghadapi permintaan masing-masing negara. Karena itu, Kemendag telah memiliki Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI), yang khusus menangani negosiasi perdagangan berbasiskan data.
(akr)