Iklim Investasi Kondusif Kunci Menuju Kemandirian Energi

Senin, 14 Oktober 2019 - 20:33 WIB
Iklim Investasi Kondusif Kunci Menuju Kemandirian Energi
Iklim Investasi Kondusif Kunci Menuju Kemandirian Energi
A A A
JAKARTA - Industri minyak dan gas sebagai salah satu tulang punggung ekonomi nasional, kini tengah menghadapi tantangan berat. Salah satunya penurunan produksi, dimana setidaknya dalam lima tahun terakhir, produksi migas indonesia selalu menurun.

Penyebabnya adalah rendahnya tingkat temuan cadangan baru. Dalam 10 tahun terakhir, memang tidak ada cadangan migas berkapasitas raksasa yang ditemukan. Tanpa adanya cadangan migas baru yang besar, maka produksi migas indonesia akan terus berada dalam tren penurunan, bahkan hingga tahun 2050.

Kondisi ini ditambah dengan konsumsi migas di masyarakat, baik sebagai sebagai bahan bakar kendaraan maupun industri, cukup tinggi. Konsumsi bisa mencapai 1,4 juta hingga 1,6 juta barel per hari. Sedangkan produksi hanya di kisaran 750.000 barel per hari. Dengan demikian, ada ratusan ribu barel yang harus diimpor oleh pemerintah untuk penuhi kebutuhan nasional.

Disisi lain, perjalanan menuju ke kemandirian energi nasional erat kaitannya dengan kondusifitas iklim investasi, dan penggunaan secara optimal sumber-sumber energi baru terbarukan yang melimpah dan tersebar di wilayah Indonesia.

Pemerintah tidak tinggal diam, dan terus berupaya meningkatkan produksi migas nasional, diantaranya dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi industri migas.

Salah satunya memberikan kemudahan kepada para pelaku usaha migas atau kontraktor kerja sama (KKS) melalui fasilitas akses data migas gratis, yang dapat dibuka melalui internet. Kemudian, mendorong penerapan skema gross split, menggantikan skema cost recovery yang dinilai lebih menguntungkan, baik bagi kontraktor maupun untuk pemasukan negara. Saat ini, 43 wilayah kerja migas telah menggunakan skema gross split.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, mengatakan peluang dan tantangan di sektor migas dari hulu sampai hilir sangat besar.

Untuk iu, pemerintah membuka pintu, menerima masukan supaya industri ini bisa tumbuh dengan baik, tetapi yang lebih penting fairness itu ada untuk seluruh sektor yang terkait dengan industri migas.

"Secara makro, fairnessnya itu semua kegiatan itu yang paling fairness adalah efisiensi, yang menentukan adalah kostumer. Peluang dan tantangan bukan hanya regulasi tetapi kultur atau kegiatan minyak dan gas bumi harus di adjust yaitu mengikuti perkembangan yang terjadi," ucap Jonan dalam acara IDX Channel Economic Outlook yang mengangkat tema "Menuju Kemandirian Energi Nasional", di Hotel JS Luwansa Jakarta, Senin (14/10/2019).

Jonan menambahkan, terkait kontrak kerja sama dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), saat ini pemerintah tidak akan mengintroduksi atau merubah perjanjian yang sudah ada. Namun untuk Kontrak Kerja Sama yang terlah berakhir akan lakukan perubahan. Selama dua tahun terakhir terdapat 43 KKKS baru.

Jonan menambahkan perkembangan industri migas jauh lebih lambat bila dibandingkan dengan industri lain, telekomunikasi. Menurut Jonan, 27 tahun lalu, harga satu unit telepon genggam seharga satu unit kijang kotak. Namun seiring perkembangan jaman dan kemajuan teknologi perangkat ini menjadi terjangkau, sehingga penetrasi industri telko bisa lebih pesat.

"Peluang dan tantangan bukan hanya regulasi tetapi kultur atau kegiatan minyak dan gas bumi harus di adjust yaitu mengikuti perkembangan yang terjadi," sambungnya.

Direktur Operasional IDX Channel, Apreyvita Wulansari, mengatakan industri migas merupakan tulang punggung ekonomi nasional. Seiring dengan permintaan tinggi namun produksi rendah, jika tidak diintisipasi bisa berbahaya bagi Indonesia.

"Kita berharap pemerintah kedepan bisa menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi industri migas. Semoga ini menjadi masukan komprehensif dan menjadi masukan untuk produksi minyak nasional menuju kemandirian energi," ucap Apreyvita.

Pada kesempatan yang sama, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Djoko Siswanto, menyebutkan pemerintah mendorong penerapan skema gross split, menggantikan skema cost recovery yang dinilai lebih menguntungkan, baik bagi kontraktor maupun untuk pemasukan negara. Saat ini, 43 wilayah kerja migas telah menggunakan skema gross split.

Pemerintah juga telah melakukan perbaikan iklim investasi di sektor migas, dimana sebelum penyederhanaan terdapat 373 perijinan, sedangkan di Kementerian ESDM sebanyak 74 perijinan. Setelah penyederhanaan, total perijinan menjadi 247 perijinan, di Kementerian ESDM menjadi 22 perijinan.

Sementara itu, John Karamoy, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas), menyoroti berkurangnya minat investasi di hulu migas, antara lain disebabkan kontrak kerjasama jangka panjang antara investor, pemerintah dan regulasinya yang dinilai tidak memberikan kepastian hukum, inkonsisten, dan tumpang tindih.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6351 seconds (0.1#10.140)