Kembali Jadi Menkeu, Indef Minta Sri Mulyani Ngerem Utang
A
A
A
JAKARTA - Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo, kembali memintanya untuk menjabat Menteri Keuangan di Kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan terpilihnya lagi Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan harus disertai perbaikan dan evaluasi atas kinerja di periode lalu.
"Evaluasi untuk Sri Mulyani adalah harus memperbaiki pengelolaan utang agar semakin produktif. Kekhawatiran soal utang bukan soal rasio utang yang masih dibawah 60%, tapi pertumbuhan utang tiap tahunnya tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi," ujar Bhima kepada SINDOnews, Selasa (22/10/2019).
Indef mengatakan rata-rata pertumbuhan utang pemerintah di periode pertama Jokowi adalah 11,7% setiap tahunnya. Sementara rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia antara 5%-5,1%. Jadi ada yang putus korelasi utang dan pertumbuhan ekonomi.
"Ini berasal dari penggunaan belanja K/L paling besar untuk belanja barang 40,3%, kemudian belanja pegawai 27,6%, baru belanja modal diurutan ketiga yakni 22,1% (APBN 2018). Kalau habisnya untuk belanja konsumtif, wajar utangnya kurang produktif," lanjutnya.
Bhima mengatakan bahwa indikator rasio utang terhadap PDB bukan satu-satunya penentu risiko utang. Ada debt to services ratio (DSR) misalnya, dimana membandingkan total utang terhadap penerimaan valas dan ada interest ratio.
Tahun 2014, DSR tier pertama, angkanya 23,9%, pada kuartal II-2019 angkanya menjadi 34,3%. DSR naik signifikan yang menjadi kerawanan apabila terjadi depresiasi kurs rupiah, beban kewajiban utang akan membenani negara.
"Ini berpengaruh terhadap kemampuan membayar utang. Jadi Menteri Keuangan harus berani ngerem utang," tuturnya.
Terkait ekonomi nasional yang sedang melambat, Bhima meminta agar Sri Mulyani mengevaluasi kenaikan iuran BPJS Kesehatan, kemudian mengurangi subsidi listrik 900 VA.
"APBN yang harusnya counter cylical diperlukan sebagai bantalan agar daya beli tidak terjun bebas. Kalau pencabutan aneka subsidi tetap dipaksakan sangat mungkin ekonomi tumbuh dibawah 5%."
Bhima menjelaskan bahwa reformasi perpajakan harus terus berjalan, mulai dari upgrading sistem IT perpajakannya, kualitas SDM hingga arah penegakan aturan perpajakan yang lebih ketat ke para konglomerat.
"Setelah tax amnesty tahun 2017, kan harusnya sekarang menegakkan aturan perpajakan. Ini yang masih kurang," tukas Bhima.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan terpilihnya lagi Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan harus disertai perbaikan dan evaluasi atas kinerja di periode lalu.
"Evaluasi untuk Sri Mulyani adalah harus memperbaiki pengelolaan utang agar semakin produktif. Kekhawatiran soal utang bukan soal rasio utang yang masih dibawah 60%, tapi pertumbuhan utang tiap tahunnya tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi," ujar Bhima kepada SINDOnews, Selasa (22/10/2019).
Indef mengatakan rata-rata pertumbuhan utang pemerintah di periode pertama Jokowi adalah 11,7% setiap tahunnya. Sementara rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia antara 5%-5,1%. Jadi ada yang putus korelasi utang dan pertumbuhan ekonomi.
"Ini berasal dari penggunaan belanja K/L paling besar untuk belanja barang 40,3%, kemudian belanja pegawai 27,6%, baru belanja modal diurutan ketiga yakni 22,1% (APBN 2018). Kalau habisnya untuk belanja konsumtif, wajar utangnya kurang produktif," lanjutnya.
Bhima mengatakan bahwa indikator rasio utang terhadap PDB bukan satu-satunya penentu risiko utang. Ada debt to services ratio (DSR) misalnya, dimana membandingkan total utang terhadap penerimaan valas dan ada interest ratio.
Tahun 2014, DSR tier pertama, angkanya 23,9%, pada kuartal II-2019 angkanya menjadi 34,3%. DSR naik signifikan yang menjadi kerawanan apabila terjadi depresiasi kurs rupiah, beban kewajiban utang akan membenani negara.
"Ini berpengaruh terhadap kemampuan membayar utang. Jadi Menteri Keuangan harus berani ngerem utang," tuturnya.
Terkait ekonomi nasional yang sedang melambat, Bhima meminta agar Sri Mulyani mengevaluasi kenaikan iuran BPJS Kesehatan, kemudian mengurangi subsidi listrik 900 VA.
"APBN yang harusnya counter cylical diperlukan sebagai bantalan agar daya beli tidak terjun bebas. Kalau pencabutan aneka subsidi tetap dipaksakan sangat mungkin ekonomi tumbuh dibawah 5%."
Bhima menjelaskan bahwa reformasi perpajakan harus terus berjalan, mulai dari upgrading sistem IT perpajakannya, kualitas SDM hingga arah penegakan aturan perpajakan yang lebih ketat ke para konglomerat.
"Setelah tax amnesty tahun 2017, kan harusnya sekarang menegakkan aturan perpajakan. Ini yang masih kurang," tukas Bhima.
(ven)