OJK Pastikan Stabilitas Sektor Jasa Keuangan Terkendali
A
A
A
JAKARTA - Rapat Dewan Komisioner (RDK) Otoritas Jasa Keuangan, menilai stabilitas sektor jasa keuangan hingga pekan keempat Oktober dalam kondisi terjaga di tengah perlambatan pertumbuhan perekonomian global. Intermediasi sektor jasa keuangan tercatat membukukan perkembangan yang stabil dengan profil risiko yang terkendali.
Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Manajemen Strategis Anto Prabowo mengatakan, melemahnya indikator ekonomi utama yaitu indeks keyakinan konsumen, tingkat inflasi, purchasing manager index dan industrial production di negara ekonomi maju yang berdampak pada penurunan permintaan di negara berkembang menjadi pertimbangan International Monetary Fund (IMF).
Seperti diketahui sebelumnya IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun 2019 dari 3,3% (April 2019) menjadi 3,0% (Oktober 2019). Bank Sentral negara ekonomi maju menyikapi hal tersebut dengan cenderung semakin dovish dan akan diikuti kebijakan yang ekspansif.
Dari kondisi itu, serta perkembangan terakhir trade war dan brexit yang cukup positif telah mendorong aliran dana investor global masuk ke pasar keuangan emerging markets, termasuk Indonesia. "Pada bulan September 2019, investor nonresiden mencatatkan net buy sebesar Rp12,5 triliun di pasar keuangan domestik," kata Anto di Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Pasar SBN mencatatkan, penguatan yield sebesar 8,0 bps mtd dengan net buy investor nonresiden sebesar Rp19,8 triliun. Sementara itu, sejalan dengan pergerakan mayoritas pasar saham emerging markets di kawasan, IHSG mencatatkan pelemahan sebesar 2,5% mtm menjadi 6.169,1 dengan net sell investor nonresiden sebesar Rp7,23 triliun.
Sampai dengan 18 Oktober 2019, pasar SBN mencatatkan perkembangan yang positif dengan penurunan yield sebesar 83,0 bps ytd dengan net buy investor nonresiden sebesar Rp145,4 triliun. Sedangkan IHSG mencatatkan pelemahan tipis sebesar 0,04% ytd meskipun investor nonresiden mencatatkan net buy sebesar Rp49,3 triliun.
Dia melanjutkan, kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan masih tumbuh positif di bulan September 2019. Kredit perbankan mencatat pertumbuhan sebesar 7,89% yoy, didorong oleh kredit investasi yang tetap tumbuh double digit di level 12,84% yoy.
Sementara itu, pertumbuhan piutang pembiayaan masih mengalami moderasi pertumbuhan di level 3,5% yoy. Dari sisi penghimpunan dana, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan berada dalam tren meningkat sebesar 7,47% yoy, ditopang oleh pertumbuhan deposito sebesar 7,60% yoy.
Sepanjang Januari sampai September 2019, asuransi jiwa dan asuransi umum/reasuransi berhasil menghimpun premi masing-masing sebesar Rp136,80 triliun dan Rp75,40 triliun. Sampai dengan 22 Oktober 2019, penghimpunan dana melalui pasar modal mencapai Rp133,43 triliun.
Adapun jumlah emiten baru pada periode tersebut sebanyak 39 perusahaan dengan pipeline penawaran sebanyak 60 emiten dengan total indikasi penawaran sebesar Rp48,14 triliun. Berdasarkan data September 2019, kata Anto, lembaga jasa keuangan mampu menjaga profil risiko pada level yang manageable.
Risiko kredit perbankan berada pada level yang rendah, tercermin dari rasio Non-Performing Loan (NPL) gross perbankan sebesar 2,66% (NPL net sebesar 1,15%), walaupun mengalami peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya.
Risiko nilai tukar perbankan berada pada level yang rendah, dengan rasio Posisi Devisa Neto (PDN) sebesar 1,94%, jauh di bawah ambang batas ketentuan. "Rasio Non-Performing Financing (NPF) perusahaan pembiayaan tercatat relatif stabil di level 2,66%," ungkapnya.
Likuiditas dan permodalan perbankan berada pada level yang memadai. Liquidity coverage ratio dan rasio alat likuid/non-core deposit masing-masing sebesar 198,57% dan 92,20%, jauh di atas threshold.
Permodalan lembaga jasa keuangan terjaga stabil pada level yang tinggi. Capital Adequacy Ratio perbankan perbankan sebesar 23,38%. Sejalan dengan itu, Risk-Based Capital industri asuransi umum dan asuransi jiwa masing-masing sebesar 321% dan 667%, jauh diatas ambang batas ketentuan.
Anto melanjutkan, OJK senantiasa memantau dinamika perkembangan ekonomi global dan berupaya memitigasi dampak kondisi yang tidak mendukung ini terhadap kinerja sektor jasa keuangan domestik terutama terkait dengan profil risiko likuiditas dan risiko kredit. "OJK juga terus memperkuat koordinasi dengan para stakeholder untuk memitigasi ketidakpastian eksternal yang cukup tinggi, menjaga kontribusi sektor jasa keuangan dalam pembangunan, dan menjaga stabilitas sistem keuangan," paparnya.
Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Manajemen Strategis Anto Prabowo mengatakan, melemahnya indikator ekonomi utama yaitu indeks keyakinan konsumen, tingkat inflasi, purchasing manager index dan industrial production di negara ekonomi maju yang berdampak pada penurunan permintaan di negara berkembang menjadi pertimbangan International Monetary Fund (IMF).
Seperti diketahui sebelumnya IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun 2019 dari 3,3% (April 2019) menjadi 3,0% (Oktober 2019). Bank Sentral negara ekonomi maju menyikapi hal tersebut dengan cenderung semakin dovish dan akan diikuti kebijakan yang ekspansif.
Dari kondisi itu, serta perkembangan terakhir trade war dan brexit yang cukup positif telah mendorong aliran dana investor global masuk ke pasar keuangan emerging markets, termasuk Indonesia. "Pada bulan September 2019, investor nonresiden mencatatkan net buy sebesar Rp12,5 triliun di pasar keuangan domestik," kata Anto di Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Pasar SBN mencatatkan, penguatan yield sebesar 8,0 bps mtd dengan net buy investor nonresiden sebesar Rp19,8 triliun. Sementara itu, sejalan dengan pergerakan mayoritas pasar saham emerging markets di kawasan, IHSG mencatatkan pelemahan sebesar 2,5% mtm menjadi 6.169,1 dengan net sell investor nonresiden sebesar Rp7,23 triliun.
Sampai dengan 18 Oktober 2019, pasar SBN mencatatkan perkembangan yang positif dengan penurunan yield sebesar 83,0 bps ytd dengan net buy investor nonresiden sebesar Rp145,4 triliun. Sedangkan IHSG mencatatkan pelemahan tipis sebesar 0,04% ytd meskipun investor nonresiden mencatatkan net buy sebesar Rp49,3 triliun.
Dia melanjutkan, kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan masih tumbuh positif di bulan September 2019. Kredit perbankan mencatat pertumbuhan sebesar 7,89% yoy, didorong oleh kredit investasi yang tetap tumbuh double digit di level 12,84% yoy.
Sementara itu, pertumbuhan piutang pembiayaan masih mengalami moderasi pertumbuhan di level 3,5% yoy. Dari sisi penghimpunan dana, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan berada dalam tren meningkat sebesar 7,47% yoy, ditopang oleh pertumbuhan deposito sebesar 7,60% yoy.
Sepanjang Januari sampai September 2019, asuransi jiwa dan asuransi umum/reasuransi berhasil menghimpun premi masing-masing sebesar Rp136,80 triliun dan Rp75,40 triliun. Sampai dengan 22 Oktober 2019, penghimpunan dana melalui pasar modal mencapai Rp133,43 triliun.
Adapun jumlah emiten baru pada periode tersebut sebanyak 39 perusahaan dengan pipeline penawaran sebanyak 60 emiten dengan total indikasi penawaran sebesar Rp48,14 triliun. Berdasarkan data September 2019, kata Anto, lembaga jasa keuangan mampu menjaga profil risiko pada level yang manageable.
Risiko kredit perbankan berada pada level yang rendah, tercermin dari rasio Non-Performing Loan (NPL) gross perbankan sebesar 2,66% (NPL net sebesar 1,15%), walaupun mengalami peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya.
Risiko nilai tukar perbankan berada pada level yang rendah, dengan rasio Posisi Devisa Neto (PDN) sebesar 1,94%, jauh di bawah ambang batas ketentuan. "Rasio Non-Performing Financing (NPF) perusahaan pembiayaan tercatat relatif stabil di level 2,66%," ungkapnya.
Likuiditas dan permodalan perbankan berada pada level yang memadai. Liquidity coverage ratio dan rasio alat likuid/non-core deposit masing-masing sebesar 198,57% dan 92,20%, jauh di atas threshold.
Permodalan lembaga jasa keuangan terjaga stabil pada level yang tinggi. Capital Adequacy Ratio perbankan perbankan sebesar 23,38%. Sejalan dengan itu, Risk-Based Capital industri asuransi umum dan asuransi jiwa masing-masing sebesar 321% dan 667%, jauh diatas ambang batas ketentuan.
Anto melanjutkan, OJK senantiasa memantau dinamika perkembangan ekonomi global dan berupaya memitigasi dampak kondisi yang tidak mendukung ini terhadap kinerja sektor jasa keuangan domestik terutama terkait dengan profil risiko likuiditas dan risiko kredit. "OJK juga terus memperkuat koordinasi dengan para stakeholder untuk memitigasi ketidakpastian eksternal yang cukup tinggi, menjaga kontribusi sektor jasa keuangan dalam pembangunan, dan menjaga stabilitas sistem keuangan," paparnya.
(akr)