Penurunan Suku Bunga Belum Beri Stimulus ke Pertumbuhan
A
A
A
JAKARTA - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menuturkan penurunan suku bunga acuan penting, tapi disaat kondisi likuiditas bank mengetat maka transmisinya akan sangat lambat.
Loan to Deposito Ratio (LDR bank secara rata-rata mencapai 94,6%, yang artinya bank mati-matian harus berebut dana murah. Jika bank terlalu cepat mengikuti penurunan suku bunga BI, khawatir dana akan pindah ke bank yang mempertahankan bunga tinggi.
"Kondisi ini ditambah struktur perbankan yang tidak sehat. Persaingan antar 115 bank dinilai membuat bank-bank kecil paling menderita ditengah perang likuiditas," ujar Bhima saat dihubungi, Kamis (24/10/2019).
Merger dan akuisisi berjalan sangat lambat. Idealnya OJK juga harus mendorong konsolidasi perbankan agar transmisi penurunan bunga acuan lebih cepat. Jadi masalah yang harus dipecahkan adalah pelonggaran likuiditas.
"Bank Indonesia bisa turunkan lagi giro wajib minimumnya (GWM) atau melakukan operasi moneter lain," cetus dia.
Untuk bank yang likuiditasnya ketat, pilihan menawarkan obligasi bisa menjadi alternatif pendanaan. Namun, ditengah risiko pasar yang naik, tidak semua bank bisa terbitkan obligasi dan laku.
Bank kecil misalnya, cenderung konservatif. Mau terbitkan obligasi khawatir bunganya juga mahal, dan segmentasi pembelinya terbatas. Jadi tidak semua bank bisa dengan cara terbitkan obligasi. Buat bank BUKU 3 dan 4 relatif mudah.
Sinyal bank yang berlomba mencari pendanaan alternatif jelas menunjukkan DPK sedang melambat. Beberapa bank khawatir repatriasi dana tax amnesty kembali keluar dari bank paska kontrak wajib pajak dengan pemerintah berakhir.
Menurut Bhima, ini juga perlu diantisipasi pemerintah agar likuiditas bank tetap aman.
"Artinya penurunan bunga acuan kali ini efektivitasnya relatif kecil bagi stimulus pertumbuhan kredit maupun pertumbuhan ekonomi," tandas Bhima.
Loan to Deposito Ratio (LDR bank secara rata-rata mencapai 94,6%, yang artinya bank mati-matian harus berebut dana murah. Jika bank terlalu cepat mengikuti penurunan suku bunga BI, khawatir dana akan pindah ke bank yang mempertahankan bunga tinggi.
"Kondisi ini ditambah struktur perbankan yang tidak sehat. Persaingan antar 115 bank dinilai membuat bank-bank kecil paling menderita ditengah perang likuiditas," ujar Bhima saat dihubungi, Kamis (24/10/2019).
Merger dan akuisisi berjalan sangat lambat. Idealnya OJK juga harus mendorong konsolidasi perbankan agar transmisi penurunan bunga acuan lebih cepat. Jadi masalah yang harus dipecahkan adalah pelonggaran likuiditas.
"Bank Indonesia bisa turunkan lagi giro wajib minimumnya (GWM) atau melakukan operasi moneter lain," cetus dia.
Untuk bank yang likuiditasnya ketat, pilihan menawarkan obligasi bisa menjadi alternatif pendanaan. Namun, ditengah risiko pasar yang naik, tidak semua bank bisa terbitkan obligasi dan laku.
Bank kecil misalnya, cenderung konservatif. Mau terbitkan obligasi khawatir bunganya juga mahal, dan segmentasi pembelinya terbatas. Jadi tidak semua bank bisa dengan cara terbitkan obligasi. Buat bank BUKU 3 dan 4 relatif mudah.
Sinyal bank yang berlomba mencari pendanaan alternatif jelas menunjukkan DPK sedang melambat. Beberapa bank khawatir repatriasi dana tax amnesty kembali keluar dari bank paska kontrak wajib pajak dengan pemerintah berakhir.
Menurut Bhima, ini juga perlu diantisipasi pemerintah agar likuiditas bank tetap aman.
"Artinya penurunan bunga acuan kali ini efektivitasnya relatif kecil bagi stimulus pertumbuhan kredit maupun pertumbuhan ekonomi," tandas Bhima.
(ven)