Perkuat Pembiayaan EBTKE, Pemerintah Luncurkan Program CEFIM
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) bekerja sama dengan The Organisation For Economic Co-Operation and Development (OECD) membentuk Program ‘Clean Energy Finance and Investment Mobilisation’ (CEFIM).
Program ini bertujuan memperkuat kondisi pemberdayaan domestik untuk mendorong investasi dan pembiayaan di bidang Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Selain itu juga mendukung upaya nasional dalam pembangunan rendah karbon, serta menguatkan kerja sama bilateral dan multilateral.
Adapun pelaksanaan program ini dilaksanakan di lima negara yang tersebar di Amerika Selatan, Asia Selatan dan Asia Tenggara, dan akan berjalan dalam periode lima tahun yang dimulai pada Januari 2019. Program ini juga didukung secara finansial oleh Pemerintah Denmark.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kemenko Perekonomian, Montty Girianna, mengatakan pemerintah terus berupaya mengembangkan EBTKE. Hal ini termaktub dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 yang menyebutkan bahwa pemerintah menargetkan capaian energi terbarukan sebesar 20% pada 2024.
"Untuk mencapai target tersebut tentunya membutuhkan dukungan pembiayaan, investasi dan perbaikan regulasi untuk mendukung pengembangan EBT," ujarnya di Jakarta, Jumat (8/11/2019).
Montty menuturkan, investasi infrastruktur ketenagalistrikan membutuhkan pembiayaan sekitar Rp400 triliun per tahun. Sementara pada 2018, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) hanya mampu memenuhi sebesar Rp115 triliun. Untuk itu, diperlukan partisipasi sektor swasta dalam mengembangkan sektor energi.
"Indonesia telah mendapatkan peringkat Triple B (BBB) dan masuk dalam rating investment grade country dari lima lembaga pemeringkat internasional. Artinya bahwa investor seharusnya tidak perlu khawatir untuk berinvestasi di Indonesia," jelasnya.
Menurut Montty, prospek pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia juga sangat memungkinkan, mengingat Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar.
Tercatat potensi energi terbarukan mulai dari tenaga air, panas bumi, bionergi, surya, angin, dan arus laut mencapai 442 Gigawatt (GW). Namun, berdasarkan data yang bersumber dari booklet Energi Berkeadilan Semester I-Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Juli 2019), terlihat bahwa penggunaan energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan masih sebesar 9,32 GW atau sekitar 2% dari total potensi yang ada. Sedangkan, porsi energi terbarukan dalam bauran energi saat ini mencapai 12,8%.
"Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi pada 2030 nanti, menjadi sebesar 29%, atau 41% dengan bantuan internasional. Sektor lahan dan energi diharapkan menjadi kontributor utama penurunan emisi tersebut," tegasnya.
Adapun tiga aktivitas utama dalam program ini, yaitu tinjauan pembiayaan energi bersih dan investasi, kegiatan pendukung implementasi, dan pembelajaran dari negara lain yang setara. Program ini juga akan berkontribusi terhadap implementasi Sustainable Development Goals (SDGs), Paris Agreement, dan upaya-upaya lainnya dalam mendorong investasi dan pembiayaan energi bersih.
Montty menambahkan, program CEFIM akan menjembatani pembuat kebijakan dengan sektor finansial dan swasta. Program ini memanfaatkan jejaring OECD yang luas, mencakup entitas pemerintahan dan negara maju, serta hubungan dengan pengembang proyek, industri energi bersih, perbankan, institusi finansial internasional, dan organisasi internasional.
"Keterlibatan stakeholders merupakan hal fundamental dalam mengidentifikasi ketidaksesuaian kebijakan, tantangan dan solusi untuk mendorong investasi swasta di bidang energi bersih," imbuhnya.
Program ini akan dilaksanakan melalui konsultasi yang dilakukan pada level nasional maupun internasional untuk menghubungkan investor internasional, pembuat kebijakan, dan pemangku kepentingan lainnya.
Dengan menerapkan pendekatan kebijakan, regulasi, dan mobilisasi investasi secara terintegrasi, program CEFIM ini didesain untuk berorientasi terhadap hasil. Selain itu, melalui program ini akan dilakukan penguatan dan sinergi kerangka kebijakan, penyusunan pipeline project yang menguntungkan semua pihak, dan mobilisasi investasi di bidang energi bersih dan infrastruktur berkelanjutan.
Program ini bertujuan memperkuat kondisi pemberdayaan domestik untuk mendorong investasi dan pembiayaan di bidang Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Selain itu juga mendukung upaya nasional dalam pembangunan rendah karbon, serta menguatkan kerja sama bilateral dan multilateral.
Adapun pelaksanaan program ini dilaksanakan di lima negara yang tersebar di Amerika Selatan, Asia Selatan dan Asia Tenggara, dan akan berjalan dalam periode lima tahun yang dimulai pada Januari 2019. Program ini juga didukung secara finansial oleh Pemerintah Denmark.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kemenko Perekonomian, Montty Girianna, mengatakan pemerintah terus berupaya mengembangkan EBTKE. Hal ini termaktub dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 yang menyebutkan bahwa pemerintah menargetkan capaian energi terbarukan sebesar 20% pada 2024.
"Untuk mencapai target tersebut tentunya membutuhkan dukungan pembiayaan, investasi dan perbaikan regulasi untuk mendukung pengembangan EBT," ujarnya di Jakarta, Jumat (8/11/2019).
Montty menuturkan, investasi infrastruktur ketenagalistrikan membutuhkan pembiayaan sekitar Rp400 triliun per tahun. Sementara pada 2018, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) hanya mampu memenuhi sebesar Rp115 triliun. Untuk itu, diperlukan partisipasi sektor swasta dalam mengembangkan sektor energi.
"Indonesia telah mendapatkan peringkat Triple B (BBB) dan masuk dalam rating investment grade country dari lima lembaga pemeringkat internasional. Artinya bahwa investor seharusnya tidak perlu khawatir untuk berinvestasi di Indonesia," jelasnya.
Menurut Montty, prospek pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia juga sangat memungkinkan, mengingat Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar.
Tercatat potensi energi terbarukan mulai dari tenaga air, panas bumi, bionergi, surya, angin, dan arus laut mencapai 442 Gigawatt (GW). Namun, berdasarkan data yang bersumber dari booklet Energi Berkeadilan Semester I-Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Juli 2019), terlihat bahwa penggunaan energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan masih sebesar 9,32 GW atau sekitar 2% dari total potensi yang ada. Sedangkan, porsi energi terbarukan dalam bauran energi saat ini mencapai 12,8%.
"Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi pada 2030 nanti, menjadi sebesar 29%, atau 41% dengan bantuan internasional. Sektor lahan dan energi diharapkan menjadi kontributor utama penurunan emisi tersebut," tegasnya.
Adapun tiga aktivitas utama dalam program ini, yaitu tinjauan pembiayaan energi bersih dan investasi, kegiatan pendukung implementasi, dan pembelajaran dari negara lain yang setara. Program ini juga akan berkontribusi terhadap implementasi Sustainable Development Goals (SDGs), Paris Agreement, dan upaya-upaya lainnya dalam mendorong investasi dan pembiayaan energi bersih.
Montty menambahkan, program CEFIM akan menjembatani pembuat kebijakan dengan sektor finansial dan swasta. Program ini memanfaatkan jejaring OECD yang luas, mencakup entitas pemerintahan dan negara maju, serta hubungan dengan pengembang proyek, industri energi bersih, perbankan, institusi finansial internasional, dan organisasi internasional.
"Keterlibatan stakeholders merupakan hal fundamental dalam mengidentifikasi ketidaksesuaian kebijakan, tantangan dan solusi untuk mendorong investasi swasta di bidang energi bersih," imbuhnya.
Program ini akan dilaksanakan melalui konsultasi yang dilakukan pada level nasional maupun internasional untuk menghubungkan investor internasional, pembuat kebijakan, dan pemangku kepentingan lainnya.
Dengan menerapkan pendekatan kebijakan, regulasi, dan mobilisasi investasi secara terintegrasi, program CEFIM ini didesain untuk berorientasi terhadap hasil. Selain itu, melalui program ini akan dilakukan penguatan dan sinergi kerangka kebijakan, penyusunan pipeline project yang menguntungkan semua pihak, dan mobilisasi investasi di bidang energi bersih dan infrastruktur berkelanjutan.
(ven)