Investasi Hulu Migas Butuh Kepastian Hukum
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemerintah memberikan keleluasaan bagi investor hulu minyak dan gas bumi (migas) untuk memilih skema bagi hasil baik itu Production Sharing Contract (PSC) ataupun skema gross split dianggap bukan akar masalah redupnya investasi. Masalah utama kurang bergairahnya investasi hulu migas adalah karena tidak adanya kepastian hukum dalam penanaman modal di Indonesia.
"Mereka tidak terlalu peduli skema bagi hasil, karena bagi penanam modal yang penting mendapatkan untung. Namun yang mereka khawatirkan ialah terkait kepastian hukum dalam kontrak kerja sama," ujar praktisi migas Yusak Setiawan saat dihubungi, di Jakarta, Selasa (3/12/2019).
Menurut dia, permasalahan investasi hulu migas selalu berkaitan dengan tiga hal yakni, ketidakpastian hukum, ketidakpastian fiskal dan proses birokrasi yang rumit. Padahal sejumlah faktor tersebut sangat penting, karena industri hulu migas memiliki risiko yang sangat besar, bukan sekadar skema cost recovery ataupun gross split.
Sebagai gambaran, pada 2009-2012 kurang lebih Rp20 triliun dihabiskan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) hanya untuk mencari cadangan migas. Nilai tersebut tercatat sebagai kerugian yang tidak bisa dikembalikan oleh negara walaupun kontrak bagi hasil kala itu menggunakan cost recovery karena tidak menemukan cadangan migas.
"Biaya yang dikeluarkan KKKS baru dapat dikembalikan ketika migas sudah berproduksi secara komersial. Artinya skema apapun apabila menguntungkan tidak masalah bagi kontraktor," jelasnya.
Begitupun dengan mekanisme gross split. Menurut dia skema ini juga memiliki kekurangan maupun kelebihan. Pada skema tersebut KKKS dituntut untuk menerapkan teknologi terkini dengan tingkat efisiensi tinggi karena memperhatikan besaran bagi hasil (split) yang diterima oleh penanam modal.
Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya mempertimbangkan hadirnya kembali skema bagi hasil cost recovery bagi wilayah kerja baru dan terminasi. Skema tersebut akan menjadi opsi lain dari skema gross split. Pihaknya mengungkapkan bahwa dua mekanisme tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Terdapat investor yang lebuh memilih skema cost recovery karena lapangannya terletak di daerah remote sehingga risikonya sangat besar. Sebaliknya, gross split dianggap lebih cocok untuk wilayah kerja yang telah ada.
Melihat pertimbangan tersebut, pemerintah sedang mengkaji kedua penawaran ini. Lantaran banyaknya masukan dari para pelaku bisnis. "Jadi ke depan kita lakukan perbaikan dan kami terbuka dengan investor. Kita sedang bahas revisi Permen ESDM," tuturnya.
"Mereka tidak terlalu peduli skema bagi hasil, karena bagi penanam modal yang penting mendapatkan untung. Namun yang mereka khawatirkan ialah terkait kepastian hukum dalam kontrak kerja sama," ujar praktisi migas Yusak Setiawan saat dihubungi, di Jakarta, Selasa (3/12/2019).
Menurut dia, permasalahan investasi hulu migas selalu berkaitan dengan tiga hal yakni, ketidakpastian hukum, ketidakpastian fiskal dan proses birokrasi yang rumit. Padahal sejumlah faktor tersebut sangat penting, karena industri hulu migas memiliki risiko yang sangat besar, bukan sekadar skema cost recovery ataupun gross split.
Sebagai gambaran, pada 2009-2012 kurang lebih Rp20 triliun dihabiskan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) hanya untuk mencari cadangan migas. Nilai tersebut tercatat sebagai kerugian yang tidak bisa dikembalikan oleh negara walaupun kontrak bagi hasil kala itu menggunakan cost recovery karena tidak menemukan cadangan migas.
"Biaya yang dikeluarkan KKKS baru dapat dikembalikan ketika migas sudah berproduksi secara komersial. Artinya skema apapun apabila menguntungkan tidak masalah bagi kontraktor," jelasnya.
Begitupun dengan mekanisme gross split. Menurut dia skema ini juga memiliki kekurangan maupun kelebihan. Pada skema tersebut KKKS dituntut untuk menerapkan teknologi terkini dengan tingkat efisiensi tinggi karena memperhatikan besaran bagi hasil (split) yang diterima oleh penanam modal.
Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya mempertimbangkan hadirnya kembali skema bagi hasil cost recovery bagi wilayah kerja baru dan terminasi. Skema tersebut akan menjadi opsi lain dari skema gross split. Pihaknya mengungkapkan bahwa dua mekanisme tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Terdapat investor yang lebuh memilih skema cost recovery karena lapangannya terletak di daerah remote sehingga risikonya sangat besar. Sebaliknya, gross split dianggap lebih cocok untuk wilayah kerja yang telah ada.
Melihat pertimbangan tersebut, pemerintah sedang mengkaji kedua penawaran ini. Lantaran banyaknya masukan dari para pelaku bisnis. "Jadi ke depan kita lakukan perbaikan dan kami terbuka dengan investor. Kita sedang bahas revisi Permen ESDM," tuturnya.
(fjo)