Industri Automotif Meningkat, Pelaku Usaha Incar Pasar Australia

Kamis, 05 Desember 2019 - 07:31 WIB
Industri Automotif Meningkat,...
Industri Automotif Meningkat, Pelaku Usaha Incar Pasar Australia
A A A
Porsi ekspor mobil terus menunjukkan peningkatan. Sementara impor semakin menurun. Tercatat, total ekspor kendaraan roda empat secara utuh atau completely built up (CBU) Januari-Oktober 2019 sebanyak 275.364 unit, naik 29% terhadap tahun lalu pada periode yang sama.

Sementara ekspor secara terurai lengkap atau completely knocked down (CKD) juga mengalami peningkatan signifikan di 2019. Selama Januari-Oktober 2019 ekspor CKD tercatat 397.885 unit, naik 483% dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu.

Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara mengatakan, industri automotif berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Selama ekonomi di dalam negeri masih tumbuh, maka industri automotif bisa terus meningkat.

“Kita harapkan trennya tetap positif selama ekonomi tetap naik, dan kita bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Mudah-mudahan ini akan jalan terus,” ujarnya pada diskusi bertema “Kesiapan Industri Otomotif Menuju Era 4.0” di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta, kemarin.

Saat ini, kendaraan buatan Indonesia sudah diekspor ke lebih 80 negara di dunia, dengan lima negara tujuan utama ekspor yaitu Filipina, Saudi Arabia, Jepang, Meksiko dan Vietnam. Adapun produksi kendaraan roda empat selama Januari-Oktober 2019 sebanyak 1.075.382 unit, turun 5% dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu.

Sementara penjualan kendaraan roda empat selama Januari-Oktober 2019 sebanyak 849.609 unit, turun 12% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Kukuh melanjutkan, peningkatan ekspor CBU dan CKD juga menunjukkan industri automotif Indonesia masih menjanjikan di tengah sejumlah kebijakan proteksionis negara di ASEAN yang menjadi tujuan ekspor mobil dari Indonesia.

Salah satunya proteksionisme yang dilakukan oleh Vietnam. “Dengan adanya aturan baru Vietnam, ekspor dari Indonesia yang semula hanya 1 minggu sudah sampai ke dealer menjadi enam hari karena ada pemeriksaan soal emisi yang sesuai,” tuturnya.

Menurut Kukuh, pemerintah bersama pelaku usaha juga berupaya mencari pasar baru. Salah satunya ke Australia yang sudah memiliki perjanjian dagang, yakni Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA). “Ini yang sedang kita upayakan. Kita juga sudah menyampaikan ke principal,” imbuhnya.

Kukuh menargetkan ekspor kendaraan CBU hingga akhir tahun ini bisa mencapai 300.000 unit. Di sisi lain, kapasitas produksi automotif di dalam negeri juga terus dioptimalkan. Pasalnya, total produksi kendaraan baik untuk ekspor maupun pasar domestik saat ini masih berada di bawah total kapasitas terpasang industri roda empat. “Kapasitas produksi automotif Indonesia masih 2,3 juta. Saat ini baru dimanfaatkan 1,3 juta,” ungkapnya.

Direktur Industri Maritim Alat Transportasi dan Alat Pertahanan Ditjen ILMATE Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Putu Juli Ardika mengatakan, pemerintah menargetkan produksi kendaraan bermotor pada 2025 sebanyak 2 juta kendaraan bermotor, di mana 20% dari kendaraan bermotor sudah Low Carbon Emission Vehicle (LCEV).

“Secara masif, sejak kendaraan hemat energi diluncurkan pada 2013, maka total akumulasi sampai dengan 2025 adalah 40% kendaraan hemat energi,” ujarnya. Putu menambahkan, pemerintah menargetkan ekspor di 2025 sebanyak 310.000 unit kendaraan bebas emisi.

Sebelumnya, pada acara Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) beberapa waktu lalu, pemerintah menargetkan pada 2025 ekspor kendaraan bermotor bisa mencapai 1 juta unit. “Itu artinya ada 300% kenaikan ekspor. Berarti produksinya akan meningkat,” tuturnya.

Chief Economist Danareksa Moekti Prasetiani Soejachmoen mengatakan, ada tiga tantangan yang dihadapi Indonesia dalam sektor automotif ke depan. Pertama, partisipasi yang rendah dalam global production network. Kedua, konsistensi kebijakan pemerintah dalam mobil masa depan. Ketiga, sumber listrik bagi mobil listrik.

“Salah satu yang agak tertinggal adalah rendahnya partisipasi Indonesia dalam global production network. Kita hanya memproduksi sebagian, tidak setinggi Thailand dalam global production network,” ujarnya. Menurut dia, rendahnya partisipasi Indonesia dalam global production network disebabkan oleh kebijakan penanaman modal asing.

Selanjutnya, tingginya biaya transaksi perdagangan karena adanya hambatan perdagangan, kesiapan tenaga kerja Indonesia, dan terlalu fokus di pasar domestik. “Kesiapan sumber daya manusia (SDM) penting untuk menjaga daya saing dengan negara lain terutama dalam pengembangan mobil listrik. Walaupun ke depan akan ada otomatisasi, bukan berarti tenaga kerja berkurang tetapi akan berbeda dengan sekarang,” jelasnya.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4139 seconds (0.1#10.140)