Bos Hotel Kuta Paradiso Bantah Terkait Dalam Akta Jual Beli Saham GWP
A
A
A
JAKARTA - Harijanto Karjadi selaku owner dan Direktur PT Geria Wijaya Prestige (GWP), menegaskan tidak ada jejak sedikitpun dalam Akta Jual Beli Saham No.10, tertanggal 14 November 2011, yang memperlihatkan bahwa dirinya terlibat memberikan keterangan palsu dalam akta tersebut seperti yang didakwakan jaksa penuntut umum.
“Dalam akta tersebut tidak terdapat keterangan apa-apa dan tidak pula terdapat tanda tangan terdakwa. Lalu perbuatan memasukkan keterangan palsu apa yang dilakukan oleh terdakwa dalam akta tersebut?” ungkap Petrus Bala Pattyona dan Berman Sitompul selaku kuasa hukum Harijanto Karjadi, dalam keterangan tertulis, Kamis (5/12/2019).
Lebih lanjut Ia membantah keras bahwa terdakwa (Harijanto Karjadi) melakukan intimidasi kepada Bank China Construction Bank Indonesia (CCBI) dan menjadikan direksinya sebagai tersangka. Selain tidak pernah melakukan intimidasi, PT GWP atau Harijanto Karjadi juga tidak pernah melakukan upaya hukum apapun terhadap Bank CCBI maupun direksi bank tersebut.
Sejauh ini, yang melakukan upaya hukum adalah Fireworks Ventures Limited, pihak ketiga yang mengklaim sebagai pemegang hak tagih seluruh eks piutang sindikasi PT GWP, dan upaya hukum itupun dilindungi undang-undang. Upaya hukum yang dilakukan Fireworks itu di antaranya mengajukan laporan polisi di Bareskrim Mabes Polri terkait dugaan penggelapan sertifikat PT GWP.
Petrus dan Berman menjelaskan bahwa laporan ke Bareskrim pada 12 September 2016 itu dibuat saat China Construction Bank (CCB) yang berasal dari Tiongkok belum mengambilalih Bank Windu Kencana, sehingga belum ada bank yang bernama Bank China Construction Bank Indonesia (CCBI).
Menurut tim kuasa hukum Harijanto Karjadi, kalaupun belakangan ada pihak dari CCBI yang dimintai keterangan dalam perkara tersebut, hal itupun tidak lebih sebagai saksi untuk menjelaskan tentang kebenaran keberadaan tiga sertifikat PT GWP yang masih berada dalam penguasaannya.
Padahal, sesuai dengan surat Bank Danamon pada 11 April 2001 kepada PT GWP, seluruh sertifikat tersebut sudah berada pada BPPN, dan karena BPPN telah mengalihkan piutang PT GWP, seharusnya seluruh sertifikat saat ini ada pada Fireworks sebagai pembeli terakhir piutang tersebut.
Petrus dan Berman menegaskan PT GWP atau Harijanto Karjadi sampai hari ini belum atau tidak melakukan upaya hukum apapun terhadap Bank CCBI. “Lalu di mana letak intimidasi dan siapa direksi atau pengurus CCBI yang menjadi tersangka oleh perbuatan klien kami,” papar mereka.
Harijanto Karjadi selaku penjamin fasilitas pinjaman sindikasi yang diperoleh pada 1995 untuk membangun Hotel Kuta Paradiso, lanjut Petrus dan Berman, sejauh ini hanya bersikap pasif terkait dengan sengketa klaim piutang PT GWP yang melibatkan Fireworks Ventures Limited, Bank Agris (Alford Capital) dan Gaston Investment. Belakangan termasuk Tomy Winata yang membeli porsi piutang PT GWP yang diklaim Bank CCBI.
“Jadi Harijanto Karjadi dan PT GWP menunggu hingga sengketa hukum di antara mereka yang mengklaim piutang PT GWP itu selesai. PT GWP dan klien kami tidak mungkin melakukan upaya penyelesaian utang kepada pihak yang kedudukan hukumnya belum solid atas piutang yang diklaimnya,” katanya.
Seperti diketahui, Harijanto Karjadi ditetapkan sebagai tersangka oleh Ditreskrimsus Polda Bali dalam kasus dugaan memberikan keterangan palsu dan atau penggelapan dalam akta otentik gadai saham terkait dengan pengalihan 200 lembar saham PT GWP dari Hartono Karjadi kepada Sri Karjadi pada 14 November 2011. Perkara ini merupakan tindak lanjut laporan polisi yang dibuat Desrizal, kuasa hukum Tomy Winata, pada 27 Februari 2018 ke Polda Bali.
Menurut surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) yang dikoordinir I Ketut Sujaya, Tomy Winata membuat laporan setelah sebelumnya membeli porsi piutang PT GWP dari Bank CCBI di harga Rp 2 miliar pada 12 Februari 2018. Akibat pengalihan saham dari Hartono Karjadi kepada Sri Karjadi tersebut, Tomy Winata merasa dirugikan lebih dari USD20 juta.
Dalam kesaksiannya pada sidang di PN Denpasar (3/12/2019), Tomy Winata antara lain mengatakan pihaknya membeli porsi piutang PT GWP dari CCBI tidak semata-mata untuk mencari keuntungan, tapi ingin menjaga iklim investasi dan kepercayaam investor asing di Indonesia.
“Dalam akta tersebut tidak terdapat keterangan apa-apa dan tidak pula terdapat tanda tangan terdakwa. Lalu perbuatan memasukkan keterangan palsu apa yang dilakukan oleh terdakwa dalam akta tersebut?” ungkap Petrus Bala Pattyona dan Berman Sitompul selaku kuasa hukum Harijanto Karjadi, dalam keterangan tertulis, Kamis (5/12/2019).
Lebih lanjut Ia membantah keras bahwa terdakwa (Harijanto Karjadi) melakukan intimidasi kepada Bank China Construction Bank Indonesia (CCBI) dan menjadikan direksinya sebagai tersangka. Selain tidak pernah melakukan intimidasi, PT GWP atau Harijanto Karjadi juga tidak pernah melakukan upaya hukum apapun terhadap Bank CCBI maupun direksi bank tersebut.
Sejauh ini, yang melakukan upaya hukum adalah Fireworks Ventures Limited, pihak ketiga yang mengklaim sebagai pemegang hak tagih seluruh eks piutang sindikasi PT GWP, dan upaya hukum itupun dilindungi undang-undang. Upaya hukum yang dilakukan Fireworks itu di antaranya mengajukan laporan polisi di Bareskrim Mabes Polri terkait dugaan penggelapan sertifikat PT GWP.
Petrus dan Berman menjelaskan bahwa laporan ke Bareskrim pada 12 September 2016 itu dibuat saat China Construction Bank (CCB) yang berasal dari Tiongkok belum mengambilalih Bank Windu Kencana, sehingga belum ada bank yang bernama Bank China Construction Bank Indonesia (CCBI).
Menurut tim kuasa hukum Harijanto Karjadi, kalaupun belakangan ada pihak dari CCBI yang dimintai keterangan dalam perkara tersebut, hal itupun tidak lebih sebagai saksi untuk menjelaskan tentang kebenaran keberadaan tiga sertifikat PT GWP yang masih berada dalam penguasaannya.
Padahal, sesuai dengan surat Bank Danamon pada 11 April 2001 kepada PT GWP, seluruh sertifikat tersebut sudah berada pada BPPN, dan karena BPPN telah mengalihkan piutang PT GWP, seharusnya seluruh sertifikat saat ini ada pada Fireworks sebagai pembeli terakhir piutang tersebut.
Petrus dan Berman menegaskan PT GWP atau Harijanto Karjadi sampai hari ini belum atau tidak melakukan upaya hukum apapun terhadap Bank CCBI. “Lalu di mana letak intimidasi dan siapa direksi atau pengurus CCBI yang menjadi tersangka oleh perbuatan klien kami,” papar mereka.
Harijanto Karjadi selaku penjamin fasilitas pinjaman sindikasi yang diperoleh pada 1995 untuk membangun Hotel Kuta Paradiso, lanjut Petrus dan Berman, sejauh ini hanya bersikap pasif terkait dengan sengketa klaim piutang PT GWP yang melibatkan Fireworks Ventures Limited, Bank Agris (Alford Capital) dan Gaston Investment. Belakangan termasuk Tomy Winata yang membeli porsi piutang PT GWP yang diklaim Bank CCBI.
“Jadi Harijanto Karjadi dan PT GWP menunggu hingga sengketa hukum di antara mereka yang mengklaim piutang PT GWP itu selesai. PT GWP dan klien kami tidak mungkin melakukan upaya penyelesaian utang kepada pihak yang kedudukan hukumnya belum solid atas piutang yang diklaimnya,” katanya.
Seperti diketahui, Harijanto Karjadi ditetapkan sebagai tersangka oleh Ditreskrimsus Polda Bali dalam kasus dugaan memberikan keterangan palsu dan atau penggelapan dalam akta otentik gadai saham terkait dengan pengalihan 200 lembar saham PT GWP dari Hartono Karjadi kepada Sri Karjadi pada 14 November 2011. Perkara ini merupakan tindak lanjut laporan polisi yang dibuat Desrizal, kuasa hukum Tomy Winata, pada 27 Februari 2018 ke Polda Bali.
Menurut surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) yang dikoordinir I Ketut Sujaya, Tomy Winata membuat laporan setelah sebelumnya membeli porsi piutang PT GWP dari Bank CCBI di harga Rp 2 miliar pada 12 Februari 2018. Akibat pengalihan saham dari Hartono Karjadi kepada Sri Karjadi tersebut, Tomy Winata merasa dirugikan lebih dari USD20 juta.
Dalam kesaksiannya pada sidang di PN Denpasar (3/12/2019), Tomy Winata antara lain mengatakan pihaknya membeli porsi piutang PT GWP dari CCBI tidak semata-mata untuk mencari keuntungan, tapi ingin menjaga iklim investasi dan kepercayaam investor asing di Indonesia.
(akr)