Maraknya Ritel Modern, Teten Dorong Warung Tradisional Naik Kelas
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Teten Masduki, mendorong warung-warung tradisional untuk terus bertahan, eksis dan selanjutnya bisa naik kelas ditengah maraknya bisnis ritel modern.
Teten pun mengapresiasi warung tradisional sebagai penggerak ekonomi di lapisan bawah masyarakat, tumbuh dengan pesat. "Data BPS saat ini menunjukkan ada 3,5 juta warung dibanding 2015 yang masih 1.868.217 warung. Ini bisa terjadi karena ketika sektor formal tak mampu menyerap tenaga kerja, maka membuka warung menjadi salah satu pilihan paling mudah," kata Teten Masduki di Jakarta, Minggu (15/12/2019).
Namun, lanjut Teten, banyak juga warung tradisional yang tutup karena tak mampu bersaing karena berbagai sebab, misalnya tidak mampu bersaing dengan ritel modern.
"Disamping banyak keterbatasan, warung sebenarnya punya keunggulan, misalnya bisa buka 24 jam, atau bisa menjual produk UMKM di sekitar warung. Kelebihan-kelebihan ini yang harus dijadikan unsur pembeda sehingga warung tersebut bisa bertahan," kata Teten.
Menurut Teten, tantangan eksistensi warung tradisional tidak hanya aspek modernisasi saja, namun juga harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan memasuki era revolusi industri 4.0, dimana warung tradisional juga perlu menerapkan digitalisasi.
"Jika tantangan-tantangan ini bisa dilewati maka warung-warung tradisional ini bisa berkembang dan naik kelas, misalnya tenaga kerjanya bertambah atau omsetnya naik," kata Teten.
Bagaimanapun, tegas Teten, warung tradisional tidak bisa berkutat di lapisan paling bawah saja atau di level mikro. Hal ini bisa membahayakan, karena usaha mikro akan makin bertumpuk di level paling bawah, dan struktur ekonomi menjadi tidak sehat.
"Harus ada warung- warung tradisional yang naik kelas dan mengisi level usaha kecil maupun menengah," tegasnya.
Teten pun mengapresiasi warung tradisional sebagai penggerak ekonomi di lapisan bawah masyarakat, tumbuh dengan pesat. "Data BPS saat ini menunjukkan ada 3,5 juta warung dibanding 2015 yang masih 1.868.217 warung. Ini bisa terjadi karena ketika sektor formal tak mampu menyerap tenaga kerja, maka membuka warung menjadi salah satu pilihan paling mudah," kata Teten Masduki di Jakarta, Minggu (15/12/2019).
Namun, lanjut Teten, banyak juga warung tradisional yang tutup karena tak mampu bersaing karena berbagai sebab, misalnya tidak mampu bersaing dengan ritel modern.
"Disamping banyak keterbatasan, warung sebenarnya punya keunggulan, misalnya bisa buka 24 jam, atau bisa menjual produk UMKM di sekitar warung. Kelebihan-kelebihan ini yang harus dijadikan unsur pembeda sehingga warung tersebut bisa bertahan," kata Teten.
Menurut Teten, tantangan eksistensi warung tradisional tidak hanya aspek modernisasi saja, namun juga harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan memasuki era revolusi industri 4.0, dimana warung tradisional juga perlu menerapkan digitalisasi.
"Jika tantangan-tantangan ini bisa dilewati maka warung-warung tradisional ini bisa berkembang dan naik kelas, misalnya tenaga kerjanya bertambah atau omsetnya naik," kata Teten.
Bagaimanapun, tegas Teten, warung tradisional tidak bisa berkutat di lapisan paling bawah saja atau di level mikro. Hal ini bisa membahayakan, karena usaha mikro akan makin bertumpuk di level paling bawah, dan struktur ekonomi menjadi tidak sehat.
"Harus ada warung- warung tradisional yang naik kelas dan mengisi level usaha kecil maupun menengah," tegasnya.
(ven)