Marak Penipuan, Masyarakat Harus Paham Produk Keuangan

Sabtu, 28 Desember 2019 - 08:18 WIB
Marak Penipuan, Masyarakat Harus Paham Produk Keuangan
Marak Penipuan, Masyarakat Harus Paham Produk Keuangan
A A A
JAKARTA - Penipuan yang sering terjadi di sektor jasa keuangan menyadarkan masyarakat akan pentingnya literasi keuangan. Ketidakpahaman masyarakat terhadap produk keuangan menjadi pemicu masih maraknya tindakan-tindakan curang di sektor ini. Tindakan penipuan tak hanya terjadi diproduk keuangan yang memanfaatkan teknologi (fintech), tapi juga produk keuangan konvensional yang dikeluarkan perbankan, perusahaan asuransi maupun lembaga keuangan nonbank.

Penipuan dengan kedok deposito berbunga tinggi, pinjaman daring dengan syarat yang mudah, produk reksa dana, bancassurance, serta unit link dengan janji imbal hasil yang besar berhasil memperdayai masyarakat untuk menempatkan dananya. Masih terpikatnya masyarakat dengan janji keuntungan yang besar dalam waktu singkat, membuat beberapa produk keuangan yang sejatinya tidak begitu dipahami masyarakat, menjadi mudah untuk dipasarkan.

Rendahnya literasi atau pemahaman masyarakat terhadap produk keuangan terlihat dari indeks literasi keuangan masyarakat saat ini yang hanya mencapai 41,41% untuk perkotaan, sedangkan masyarakat perdesaan jauhlebih rendah yakni hanya 34,53%, dengan indeks rata-rata mencapai 38,03%. Data itu dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Masih besarnya kerugian yang diderita masyarakat akibat penempatan dana yang salah ke instrumen yang tidak dipahami membuat para stakeholder jasa keuangan berharap OJK berperan aktif mencegah munculnya lagi kasus-kasus seperti itu di masa depan.

Pemerintah, OJK, kementerian/lembaga terkait, industri jasa keuangan, dan berbagai pihak lain harus bekerja sama terus-menerus secara berkesinambungan meningkatkan literasi keuangan masyarakat. Kepala Subdivisi Edukasi OJK Cecep Setiawan mengaku optimistis, bersama para stakeholders lainnya, pihaknya akan terus berusaha meningkatkan literasi keuangan masyarakat. Hal ini karena masih terdapat gap yang cukup tinggi sesuai survei nasional 2019 antara indeks literasi keuangan (38,03%) dan indeks inklusi keuangan (76,19%).

"Artinya, masih banyak konsumen yang menggunakan produk dan layanan keuangan tanpa dibekali pemahaman memadai," ungkapnya di Jakarta kemarin.

Tak hanya itu berdasarkan gender, kalangan perempuan justru memiliki literasi keuangan yang rendah. Indeks literasi keuangan laki-laki sebesar 39,94%, sementara perempuan hanya 36,13%.

Ekonom Senior CORE, Ina Primiana, mengaku prihatin bahwa hingga saat ini masyarakat masih sangat mudah tergiur investasi yang tidak jelas. Bahkan, kini bukan hanya perorangan yang menjadi korban, juga korporasi. Artinya, pengetahuan orang-orang di perusahaan pun masih rendah, padahal level pendidikan mereka tinggi. "OJK kini harus melakukan literasi juga kepada industri agar berhati-hati," ujar Ina.

Ina menilai upaya BEI sudah cukup maju dengan memiliki Sekolah Pasar Modal (SPM) yang dapat diikuti secara online maupun offline. SPM adalah program edukasi dan sosialisasi pasar modalyang diselenggarakan secara berkala oleh BEI dan The Indonesia Capital Market Institute. Seluruh masyarakat umum dapat menjadi peserta SPM apabila telah melakukan pendaftaran sesuai syarat dan ketentuan berlaku.

Anggota Komisi XI DPR Elnino Hussein Mohi mengatakan, agar masyarakat lebih memahami produk perbankan, asuransi, fintech, dan lainnya, maka OJK dan lembaga lain seperti BEI, lembaga asuransi, menerbitkan petunjuk atau edukasi yang dapat diandalkan. (Ananda Nararya)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6941 seconds (0.1#10.140)