RI Menang Atas Safeguard Filipina, Peluang Kerek Ekspor Keramik Makin Terbuka
A
A
A
JAKARTA - Indonesia telah berhasil membebaskan produk keramik yang digunakan untuk lantai dan dinding (ceramic floor and wall tiles) dengan tingkat penyerapan air sebesar 0-10 persen dari pengenaan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) yang dilakukan Filipina. Keputusan hasil penyelidikan kasus safeguard tersebut diumumkan Komisi Tarif Filipina pada 18 Desember 2019 lalu.
Kemenangan ini membuka peluang yang besar untuk tumbuhnya ekspor keramik Indonesia ke Filipina. Produk yang terbebas dari pengenaan BMTP tersebut adalah produk keramik dengan Pos Tarif/HS Code 6907.2123, 6907.2124, 6907.2193, 6907.2194, 6907.2213, 6907.2214, 6907.2293, 6907.2294,6907.2313, 6907.2314, 6907.2393, 6907.2394 dan 6907.4092.
“Pembebasan BMTP ini jelas sangat menguntungkan Indonesia, terutama setelah Filipina pernah menerapkan BMTP pada produk keramik Indonesia selama 10 tahun. Pembebasan ini akan membuat produk keramik Indonesia lebih kompetitif di pasar Filipina,” ujar Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto.
Mendag juga menyampaikan, pembebasan pengenaan BMTP ditetapkan karena produk keramik untuk lantai dan dinding tersebut tidak terbukti menyebabkan lonjakan impor yang signifikan, baik secara absolut maupun relatif. Untuk itu penyelidikan diterminasi oleh Filipina tanpa pengenaan BMTP.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Wisnu Wardhana menjelaskan, penyelidikan safeguard atas produk keramik tersebut dilakukan Departemen Perdagangan dan Industri serta Komisi Tarif Filipina sejak Desember 2018.
“Sesuai dengan peraturan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) Agreement on Safeguards, suatu negara diperbolehkan menerapkan bea masuk tambahan terhadap suatu produk impor apabila ditemukan lonjakan impor yang menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian bagi industri dalam negeri,” imbuhnya.
“Terdapat tiga komponen yang harus dipenuhi oleh pihak otoritas untuk melakukan pengenaan BMTP, yaitu adanya lonjakan impor, adanya kerugian atau ancaman kerugian, serta hubungan sebab akibat di antara keduanya. Dalam kasus ini, tidak semua komponen-komponen tersebut ditemukan dalam penyelidikan,” terang Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati.
Menurut Pradnyawati, hasil positif ini tidak terlepas dari peran aktif Pemerintah Indonesia bersama dengan produsen/eksportir selama proses penyelidikan berlangsung. Sejak dimulainya penyelidikan, Pemerintah Indonesia telah mengikuti prosedur sesuai ketentuan WTO.
Mulai dari mendaftarkan diri sebagai pihak berkepentingan, melakukan koordinasi dengan para pelaku usaha, menyampaikan sanggahan tertulis, sampai dengan menyampaikan pernyataan pada saat pelaksanaan dengar pendapat publik.
Kemenangan ini membuka peluang yang besar untuk tumbuhnya ekspor keramik Indonesia ke Filipina. Produk yang terbebas dari pengenaan BMTP tersebut adalah produk keramik dengan Pos Tarif/HS Code 6907.2123, 6907.2124, 6907.2193, 6907.2194, 6907.2213, 6907.2214, 6907.2293, 6907.2294,6907.2313, 6907.2314, 6907.2393, 6907.2394 dan 6907.4092.
“Pembebasan BMTP ini jelas sangat menguntungkan Indonesia, terutama setelah Filipina pernah menerapkan BMTP pada produk keramik Indonesia selama 10 tahun. Pembebasan ini akan membuat produk keramik Indonesia lebih kompetitif di pasar Filipina,” ujar Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto.
Mendag juga menyampaikan, pembebasan pengenaan BMTP ditetapkan karena produk keramik untuk lantai dan dinding tersebut tidak terbukti menyebabkan lonjakan impor yang signifikan, baik secara absolut maupun relatif. Untuk itu penyelidikan diterminasi oleh Filipina tanpa pengenaan BMTP.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Wisnu Wardhana menjelaskan, penyelidikan safeguard atas produk keramik tersebut dilakukan Departemen Perdagangan dan Industri serta Komisi Tarif Filipina sejak Desember 2018.
“Sesuai dengan peraturan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) Agreement on Safeguards, suatu negara diperbolehkan menerapkan bea masuk tambahan terhadap suatu produk impor apabila ditemukan lonjakan impor yang menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian bagi industri dalam negeri,” imbuhnya.
“Terdapat tiga komponen yang harus dipenuhi oleh pihak otoritas untuk melakukan pengenaan BMTP, yaitu adanya lonjakan impor, adanya kerugian atau ancaman kerugian, serta hubungan sebab akibat di antara keduanya. Dalam kasus ini, tidak semua komponen-komponen tersebut ditemukan dalam penyelidikan,” terang Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati.
Menurut Pradnyawati, hasil positif ini tidak terlepas dari peran aktif Pemerintah Indonesia bersama dengan produsen/eksportir selama proses penyelidikan berlangsung. Sejak dimulainya penyelidikan, Pemerintah Indonesia telah mengikuti prosedur sesuai ketentuan WTO.
Mulai dari mendaftarkan diri sebagai pihak berkepentingan, melakukan koordinasi dengan para pelaku usaha, menyampaikan sanggahan tertulis, sampai dengan menyampaikan pernyataan pada saat pelaksanaan dengar pendapat publik.
(akr)