Daripada Tebar Kepanikan, Lebih Baik Benahi Jiwasraya
A
A
A
JAKARTA - Di tengah polemik PT Asuransi Jiwasraya (Persero), Presiden Direktur Centre for Banking Crisis Achmad Deni Daruri menyarankan agar masalah gagal bayar Jiwasraya tidak perlu digoreng-goreng. Karena hanya akan menimbulkan kepanikan.
"Kepanikan semua pihak di akhir 2019 terlihat dalam pernyataan mereka yang pernah bersentuhan dengan Jiwasraya. Sehinga menjadi bola liar, pernyataan yang makin tidak jelas dan tidak bertanggung jawab muncul di berbagai media," papar Deni di Jakarta, Senin (30/12/2019).
Dia menyarankan agar seluruh pihak tidak saling menyalahkan. Tidak perlu menuding OJK lamban dalam menjalankan pengawasan, atau menuduh investasi Jiwasraya di PT Mahaka Media Tbk (ABBA) adalah salah satu pemicu gagal bayar.
"Justru sebaliknya, investasi Jiwasraya di ABBA menghasilkan cuan Rp2,8 miliar, karena menjual saham pada saat yang tepat," ungkapnya.
Sampai 2017, lanjut Deni, Jiwasraya tetap solven dan tidak melanggar ketentuan tentang investasi. Misalnya ketentuan saham maksimal 10% dari total investasi per emiten, serta reksadana maksimal 20% dari total investasi untuk setiap Manager Investasi.
Agar tidak panik, Deni mengurai sejumlah catatan Jiwasraya. Pada 2006-2008, OJK sudah mengetahui defisit di Jiwasraya per 31 Desember 2006 sebesar Rp3,29 triliun. Pada akhir 2008, defisit naik menjadi Rp5,7 triliun. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Jiwasraya pada 2006 dan 2007 pendapat disclaimer.
Periode 2009-2010, defisit Jiwasraya per 31 Desember 2009 mencapai Rp6,3 triliun. Kala itu, pemegang saham mengusulkan mengatasi insolvent melalui penyelamatan dengan APBN.
Namun tidak jadi. Setahun berikutnya, manajemen Jiwasraya mengusulkan penyehatan jangka pendek dengan mereasuransikan sebagian kewajiban pemegang polis ke perusahaan reasuransi. Dan mendapat persetujuan oleh otoritas dan pemegang saham.
"Jiwasaraya menjadi solvent. Jumlah kekayaan Jiwasraya menjadi Rp5,5 triliun dan kewajiban Jiwasraya Rp4,7 triliun (dari seharusnya Rp10,7 triliun). Sehingga ekuitas Jiwasraya surplus Rp800 miliar," kata Deni.
Periode 2011-2012, keuangan Jiwasraya sempat surplus per 31 Desember 2011 sebesar Rp1,3 triliun. Pada 2011-2012, regulator meminta Jiwasraya dan pemegang saham menyampaikan alternatif penyelesaian komprehensif dan fundamental.
Selanjutnya pada akhir 2012, pemegang saham menyampaikan alternatif penyelesaian dengan pemanfaatan sinergi BUMN, namun upaya ini tidak terealisasi.
"Ketika Jiwasraya masuk ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 31 Desember 2012, ada surplus Rp1,6 triliun, dengan catatan masih skema finansial reasuransi. Tanpa skema finansial reasuransi, hitungan otoritas, Jiwasraya masih defisit Rp5,2 triliun," ungkap Deni.
Periode 2013-2017, skema finansial reasuransi Jiwasraya berakhir di awal 2013, manajemen mengajukan rencana penyehatan. Bank BUMN menyetorkan obligasi rekapitalisasi sebagai pengganti finansial reasuransi ke Jiwasraya.
Opsi ini tidak dapat berjalan. Akhir 2013, Jiwasraya menyampaikan alternatif berupa penilaian kembali aset tanah dan bangunan dengan nilai buku Rp208 miliar, direvaluasi menjadi Rp6,3 triliun. "Sehingga menjadi solvent," ungkap Deni.
Pada 2013-2016, Jiwasraya mampu berjalan cukup baik dan selalu menghasilkan laba, Namun terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang oleh manajemen Jiwasraya. Tahun 2015, BPK melakukan audit atas kinerja Jiwasraya.
Selama 2017, kata Deni, pendapatan premi Jiwasraya meningkat berkat penjualan produk Jiwasraya JS Saving Plan yang mengiming-iming pendapatan pasti (guaranted return) setara atau bahkan di atas deposito.
"Saat itu, OJK mengingatkan Jiwasraya agar mengevaluasi produk JS saving plan dan menyesuaikan dengan kemampuan pengelolaan investasi," ungkapnya.
Auditor lantas mengoreksi nilai cadangan Jiwasraya. Di mana, laba Jiwasraya per 31 Desember 2017 terkoreksi dari Rp2,4 triliun (unaudited) menjadi hanya Rp428 miliar.
Periode 2018 hinggasekarang, OJK mencatat adanya defisit Jiwasraya per 31 Desember 2018 sebesar Rp10,2 triliun. Seiring pergantian direksi Jiwasraya di awal 2018, dilakukan evaluasi menyetop penjualan JS Saving Plan. Sehingga menimbulkan tekanan likuiditas.
Akhir 2018, lanjut Deni, kondisi keuangan Jiwasraya semakin tidak kondusif. Terjadi pelepasan aset investasi Jiwasraya untuk membayar klaim.
Prediksi otoritas, rasio kecukupan modal untuk menanggung risiko atau risk based capital (RBC) di atas 120% baru tercapai tahun 2028. Jiwasraya mengajukan dispensasi untuk mencapai kesehatan RBC di 2028.
Upaya penyehatan Jiwasraya, menurut Deni, terus dilakukan. Solusi pemerintah saat ini adalah membentuk anak perusahaan bernama Jiwasraya Putra, holding asuransi dan kerjasama reasuransi. Jiwasraya Putra sedang disiapkan.
"Seharusnya kita tidak usah panik karena sudah punya pengalaman Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Gerak pemerintah menyelamatkan Jiwasraya, semakin cepat semakin baik," pungkasnya.
"Kepanikan semua pihak di akhir 2019 terlihat dalam pernyataan mereka yang pernah bersentuhan dengan Jiwasraya. Sehinga menjadi bola liar, pernyataan yang makin tidak jelas dan tidak bertanggung jawab muncul di berbagai media," papar Deni di Jakarta, Senin (30/12/2019).
Dia menyarankan agar seluruh pihak tidak saling menyalahkan. Tidak perlu menuding OJK lamban dalam menjalankan pengawasan, atau menuduh investasi Jiwasraya di PT Mahaka Media Tbk (ABBA) adalah salah satu pemicu gagal bayar.
"Justru sebaliknya, investasi Jiwasraya di ABBA menghasilkan cuan Rp2,8 miliar, karena menjual saham pada saat yang tepat," ungkapnya.
Sampai 2017, lanjut Deni, Jiwasraya tetap solven dan tidak melanggar ketentuan tentang investasi. Misalnya ketentuan saham maksimal 10% dari total investasi per emiten, serta reksadana maksimal 20% dari total investasi untuk setiap Manager Investasi.
Agar tidak panik, Deni mengurai sejumlah catatan Jiwasraya. Pada 2006-2008, OJK sudah mengetahui defisit di Jiwasraya per 31 Desember 2006 sebesar Rp3,29 triliun. Pada akhir 2008, defisit naik menjadi Rp5,7 triliun. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Jiwasraya pada 2006 dan 2007 pendapat disclaimer.
Periode 2009-2010, defisit Jiwasraya per 31 Desember 2009 mencapai Rp6,3 triliun. Kala itu, pemegang saham mengusulkan mengatasi insolvent melalui penyelamatan dengan APBN.
Namun tidak jadi. Setahun berikutnya, manajemen Jiwasraya mengusulkan penyehatan jangka pendek dengan mereasuransikan sebagian kewajiban pemegang polis ke perusahaan reasuransi. Dan mendapat persetujuan oleh otoritas dan pemegang saham.
"Jiwasaraya menjadi solvent. Jumlah kekayaan Jiwasraya menjadi Rp5,5 triliun dan kewajiban Jiwasraya Rp4,7 triliun (dari seharusnya Rp10,7 triliun). Sehingga ekuitas Jiwasraya surplus Rp800 miliar," kata Deni.
Periode 2011-2012, keuangan Jiwasraya sempat surplus per 31 Desember 2011 sebesar Rp1,3 triliun. Pada 2011-2012, regulator meminta Jiwasraya dan pemegang saham menyampaikan alternatif penyelesaian komprehensif dan fundamental.
Selanjutnya pada akhir 2012, pemegang saham menyampaikan alternatif penyelesaian dengan pemanfaatan sinergi BUMN, namun upaya ini tidak terealisasi.
"Ketika Jiwasraya masuk ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 31 Desember 2012, ada surplus Rp1,6 triliun, dengan catatan masih skema finansial reasuransi. Tanpa skema finansial reasuransi, hitungan otoritas, Jiwasraya masih defisit Rp5,2 triliun," ungkap Deni.
Periode 2013-2017, skema finansial reasuransi Jiwasraya berakhir di awal 2013, manajemen mengajukan rencana penyehatan. Bank BUMN menyetorkan obligasi rekapitalisasi sebagai pengganti finansial reasuransi ke Jiwasraya.
Opsi ini tidak dapat berjalan. Akhir 2013, Jiwasraya menyampaikan alternatif berupa penilaian kembali aset tanah dan bangunan dengan nilai buku Rp208 miliar, direvaluasi menjadi Rp6,3 triliun. "Sehingga menjadi solvent," ungkap Deni.
Pada 2013-2016, Jiwasraya mampu berjalan cukup baik dan selalu menghasilkan laba, Namun terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang oleh manajemen Jiwasraya. Tahun 2015, BPK melakukan audit atas kinerja Jiwasraya.
Selama 2017, kata Deni, pendapatan premi Jiwasraya meningkat berkat penjualan produk Jiwasraya JS Saving Plan yang mengiming-iming pendapatan pasti (guaranted return) setara atau bahkan di atas deposito.
"Saat itu, OJK mengingatkan Jiwasraya agar mengevaluasi produk JS saving plan dan menyesuaikan dengan kemampuan pengelolaan investasi," ungkapnya.
Auditor lantas mengoreksi nilai cadangan Jiwasraya. Di mana, laba Jiwasraya per 31 Desember 2017 terkoreksi dari Rp2,4 triliun (unaudited) menjadi hanya Rp428 miliar.
Periode 2018 hinggasekarang, OJK mencatat adanya defisit Jiwasraya per 31 Desember 2018 sebesar Rp10,2 triliun. Seiring pergantian direksi Jiwasraya di awal 2018, dilakukan evaluasi menyetop penjualan JS Saving Plan. Sehingga menimbulkan tekanan likuiditas.
Akhir 2018, lanjut Deni, kondisi keuangan Jiwasraya semakin tidak kondusif. Terjadi pelepasan aset investasi Jiwasraya untuk membayar klaim.
Prediksi otoritas, rasio kecukupan modal untuk menanggung risiko atau risk based capital (RBC) di atas 120% baru tercapai tahun 2028. Jiwasraya mengajukan dispensasi untuk mencapai kesehatan RBC di 2028.
Upaya penyehatan Jiwasraya, menurut Deni, terus dilakukan. Solusi pemerintah saat ini adalah membentuk anak perusahaan bernama Jiwasraya Putra, holding asuransi dan kerjasama reasuransi. Jiwasraya Putra sedang disiapkan.
"Seharusnya kita tidak usah panik karena sudah punya pengalaman Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Gerak pemerintah menyelamatkan Jiwasraya, semakin cepat semakin baik," pungkasnya.
(ven)