Panas Bumi dan Bioprospeksi Bisa Kurangi Defisit Neraca Berjalan

Senin, 06 Januari 2020 - 16:46 WIB
Panas Bumi dan Bioprospeksi Bisa Kurangi Defisit Neraca Berjalan
Panas Bumi dan Bioprospeksi Bisa Kurangi Defisit Neraca Berjalan
A A A
JAKARTA - Panas bumi dan bioprospeksi berpotensi besar sebagai masa depan Indonesia di bidang energi. Selain berkelanjutan dan ramah lingkungan, pemanfaatan panas bumi dan bioprospeksi sebagai sumber energi dapat membantu mengurangi defisit neraca transaksi berjalan yang setiap tahun membayangi Indonesia.

Ahli panas bumi dari Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) yang juga Direktur International Geothermal Association (IGA) Pri Utami mengungkapkan, setiap 1 megawatt (MW) energi panas bumi dapat menghemat pengeluaran minyak 47,3 barel per hari.

Dia mengungkapkan, Indonesia punya potensi panas bumi yang diperkirakan mencapai lebih dari 20.000 MWe (megawatt ekuivalen minyak atau setara 20.000 gigawatt). Adapun hingga tahun 2019, kapasitas terpasang energi panas bumi di Indonesia mencapai 2.047 MW.

“Artinya, dengan harga minyak yang saat ini rata-rata USD60 per barel, dalam setahun jumlah devisa yang dapat dihemat sebesar USD2,2 miliar. Dengan demikian, pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi sangat strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi fosil, seperti minyak, gas, dan batubara,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Senin (6/1/2020).

Pernyataan Pri tersebut terkait tingginya defisit transaksi berjalan Indonesia saat ini, yang disebabkan oleh besarnya impor minyak dan gas (migas) yang masih menjadi sumber utama energi nasional, seperti disampaikan Presiden Joko Widodo Desember 2019 lalu.

Menurut Pri, bauran energi Indonesia hingga tahun 2019 baru sekitar 11%. Dengan kapasitas terpasang 2.047 MW, panas bumi baru memberi porsi sekitar 17% dari bauran energi baru terbarukan (EBT) tersebut.

Pemerintah menargetkan akan mendorong pemanfaatan energi panas bumi hingga sekitar 7.000 MW pada tahun 2025 guna mencapai target bauran energi nasional sebesar 25%. Jika target tersebut tercapai, ungkap Pri, maka pada tahun tersebut devisa negara yang bisa dihemat akan mencapai USD7,3 miliar.

Potensi penghematan sebesar 7,3 miliar dolar AS tersebut cukup signifikan untuk menghadapi penyakit kronis berupa defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang menjangkiti Indonesia sejak 2011, yang mencapai puncaknya pada tahun 2018, yaitu sebesar 3% dari produk domestik bruto (PDB) atau sekitar USD8,57 miliar, yang disumbangkan oleh tingginya impor migas.

“Oleh karena itu, Indonesia memerlukan peningkatan teknologi eksplorasi, optimalisasi produksi, penelitian dan pengembangan (litbang) terhadap potensi panas bumi yang masih tersembunyi,” ucap Pri yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Panas Bumi Universitas Gadjah Mada ini.

Sebagai sumber energi, panas bumi juga memiliki signifikansi tinggi dalam menciptakan lingkungan yang bersih. Hasil kajian Pusat Penelitian Panas Bumi UGM menemukan, dari 2.047 MW kapasitas terpasang sumber energi panas bumi yang ada saat ini, dapat menurunkan emisi karbondioksida sebesar 11,14 juta ton per tahun. Dengan demikian, apabila target kapasitas terpasang 7.000 MW tercapai, akan lebih besar lagi penurunan emisi karbondioksida yang dihasilkan.

Namun demikian, lanjut Pri, panas bumi tak hanya berpotensi sebagai sumber energi baru terbarukan. “Panas bumi juga dapat dimanfaatkan secara langsung untuk proses produksi, sebagai sumber energi bagi pemanas atau pendingin ruangan, juga untuk pertanian, perikanan, kesehatan, dan rekreasi,” ungkap dia.

Pemanfaatan Alga untuk Bioprospeksi

Sementara itu, Ketua ALMI Alan F Koropitan mengungkapkan, disamping panas bumi, potensi besar sumber energi Indonesia yang saat ini belum dimanfaatkan adalah bioprospeksi, yaitu berupa sumber daya genetik dari kekayaan keanekaragaman hayati. Jenis bioprospeksi yang paling potensial untuk dikembangkan sebagai sumber energi adalah bioenergi dari fotosintesis mikroalga.

Menurutnya, dengan lebih dari dua pertiga wilayah berupa lautan, dimana 90% di antaranya adalah laut dalam, Indonesia menyimpan kekayaan alga dan jasad renik berharga lainnya untuk diubah sebagai sumber energi.

“Jika isu yang dihadapi adalah lahan terbatas dan kerusakan lingkungan, seperti halnya dalam pengembangan kelapa sawit, maka mikoralga dapat menjadi alternatif sumber energi terbarukan karena dapat menghasilkan biodiesel secara lebih efisien. Mikroalga juga tak membutuhkan lahan pertanian sehingga tak bersaing dengan produksi pangan,” terang Alan yang juga merupakan ahli kelautan dari Institut Pertanian Bogor ini.

Bersama Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), lanjut Alan, ALMI telah merumuskan rekomendasi kebijakan di sektor biodiversitas melalui buku “Sains untuk Biodiversitas Indonesia” (2019), yang salah satunya pemanfaatan bioprospeksi untuk sumber energi terbarukan, khususnya pemanfaatan fotosintesis mikroalga.

Selain jumlahnya berlimpah, mikroalga sebagai sumber energi juga memiliki kelebihan lain dibanding biodiversitas lainnya—seperti kelapa sawit dan jarak—yaitu dapat menyerap energi matahari menjadi biomassa, bioetanol, atau bahkan, carbon-negative hydrogen.

“Tantangannya adalah pada peningkatan efisiensi dan kinerja fotosintensis. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan saat ini memungkinkan untuk mendesain ulang fotosintesis secara substansial,” ungkap dia.

Lebih jauh, Alan mengatakan, kesempatan untuk memanfaatkan potensi energi terbarukan seperti panas bumi dan bioprospeksi sangat tergantung kemampuan dan kemauan Pemerintah Indonesia dalam pengembangan sains dan teknologi. Oleh karena itu, Indonesia harus tetap berinvestasi dalam sains dasar dan teknologi untuk dapat mengelola kekayaan biodiversitasnya secara lestari.
(ind)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3771 seconds (0.1#10.140)