Sejak Ada B20, Porsi Domestik Terhadap Konsumsi Minyak Sawit Meningkat

Selasa, 21 Januari 2020 - 07:15 WIB
Sejak Ada B20, Porsi Domestik Terhadap Konsumsi Minyak Sawit Meningkat
Sejak Ada B20, Porsi Domestik Terhadap Konsumsi Minyak Sawit Meningkat
A A A
SETELAH dua tahun berturut-turut tertekan, awal tahun ini, harga minyak sawit (crude palm oil/CPO) kembali bangkit. Pada perdagangan Kamis pekan lalu, harga CPO kontrak di Bursa Malaysia Derivatif (BMD) berada di level RM 2.943 (US$723) per ton. Memang harga itu telah menurun dibandingkan harga Jumat pekan sebelumnya yang bertengger di angka RM 3.095 (US$761,17). Tetap saja, angka 2.943 terbilang tinggi sejak Januari 2017.

Banyak faktor yang membuat harga CPO menanjak. Salah satunya sentimen domestik terkait program B20. Apalagi, sekarang pemerintah tengah menggencarkan program B30 sehingga permintaan akan minyak CPO untuk bahan bakar biodiesel itu semakin membesar. “Itu menjadi faktor yang mengombinasikan sehingga harga naik,” kata Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), kepada SINDO Weekly, Kamis pekan lalu.

Kepada I. Husni Isnaini, Efi Susiyanti, dan juru kamera Dimas Rachmadan, Joko kemudian memaparkan pandangan-pandangannya terkait minyak sawit, mulai dari soal kenaikan harga hingga kontribusi buat daerah. Berikut petikannya.

Tanggapan Gapki atas kenaikan harga crude palm oil (CPO) saat ini?
Harga naik atau turun itu biasa kami hadapi. Bagi pelaku usaha, itu bukan sesuatu yang mengejutkan. Cuma karena sudah dua tahun harganya rendah, lalu sekarang naik, kami bersyukur ada yang mengompensasinya.

Penyebab naiknya harga?
Teori ekonomi fundamentalnya supply and demand. Itu tak bisa dibantah. Kedua, faktor sentimen yang juga penting dalam pasar. Akhir tahun lalu, ada movement pemerintah untuk meningkatkan B20 ke B30. Itu juga menjadi faktor yang membangun sentimen di tengah suplai yang flat. Tentu akan ada peningkatan demand dari dalam negeri. Itu yang menjadi faktor yang mengombinasikan sehingga harga naik.

Bagaimana kenaikan permintaan domestik?
Kalau sawit, polanya 30% domestik dan 70% ekspor. Baru mungkin pada 2018 permintaan domestik naik menjadi 33%. Pada 2019, konsumsi dalam negeri kemungkinan akan mencapai 17 juta ton atau 36%. Porsi domestik sejak ada B20 meningkat. Suplai ke pasar luar negeri jadi berkurang.

Apa yang harus dilakukan industri di tengah harga tinggi?
Mengembalikan aktivitas menjadi normal. Sekarang kita bisa bernapas lega karena mungkin aktivitasnya jadi normal. Kalau tahun lalu, banyak yang mengurangi pupuk, perawatan, dan menunda investasi.

Soal pungutan dana sawit?
Jalankan saja komitmennya. Sudah ada aturannya. Bahkan, dengan situasi seperti ini, kita juga bayar pajak ekspor selain pungutan karena harganya US$750. Kena US$3. Sebanyak US$750 itu dipakai sebagai threshold. Kalau US$750, kena levy (pungutan). Kalau lebih, tambah bea keluar.

Sudah maksimalkah penggunaan dana pungutan itu?
Sudah ada alokasinya. Kalau tidak salah, untuk biodiesel, replanting, dan lain-lain seperti promosi serta riset. Alokasinya ditentukan oleh komite pengarah, dalam hal ini Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian.

Para gubernur menyuarakan dana bagi hasil sawit?
Sebenarnya, kami melihat regulasi yang berlaku. Saya tidak tahu, apakah relevan membandingkan antara migas dan batu bara dengan sawit. Sebenarnya, sawit ini long term, bahkan long life. Bahkan, sawit ini tidak menghabiskan. Sawit ini mengakumulasikan. Selama ini, pemerintah daerah coba menggunakan retribusi.Jadi, retribusi ini ada yang memberlakukan dengan nama sumbangan pihak ketiga. Selama ini, sebenarnya daerah itu selalu mencari cara untuk mendapatkan bagian dari industri ini melalui peraturan daerah (perda) yang sebenarnya tidak boleh. Sebut saja misalnya perda sumbangan pihak ketiga.
Bagaimana kontribusi industri sawit terhadap daerah?
Keberadaan industri sawit harus memberikan multiplier effect. Namun, ini semua tidak bisa dibebankan kepada satu pihak saja. Pemerintah daerah mesti memfasilitasi agar perusahaan dengan masyarakat bisa bersinergi.
Bangsa ini harus membahasakan secara positif industri ini agar bisa didukung. Jangan sampai saling menyerang satu sama lain. Pelajaran yang bagus dari kebakaran Australia adalah tidak adanya NGO yang menyerang meskipun NGO dari Australia sekalipun. Tidak ada berita yang saling menyalahkan.Jadi, memang harus kompak. Itu bangsa yang sudah dewasa terlepas apapun alasannya. Padahal, kalau dilihat lebih jeli, efek merusaknya luar biasa, yakni 5,5 juta hektare. Justru simpati-empati semua.
Kalau sawit banyak yang menyerang?
Justru itu. Kita sendiri. Jadi, kita harus menjadi bangsa yang dewasa dalam melihat kepentingan nasional, bukan menyuarakan kepentingan sendiri.

Namun, bukan kita harus tutup mata kan?
Loh, iya. Kalau selesaikan, ya selesaikan saja. Sudah ada mekanismenya. Justru harus diselesaikan, tidak diambangkan, dan diributkan. Masalah-masalah itu harus diselesaikan.

Bagaimana komitmen perusahaan sawit terhadap kelestarian lingkungan?
Ukurannya sudah jelas. Regulasi di Indonesia comply atau enggak? ISPO-nya (Indonesian Sustainability Palm Oil) mesti dilihat. Jika sudah ISPO, berarti sudah tidak perlu diragukan lagi. Itu harus disepakati. Jangan sampai ISPO juga dikritik. Kita dorong supaya perusahaan bisa secepatnya memenuhi itu. Sebab, kalau sudah memenuhi itu, tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi.
(ysw)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6187 seconds (0.1#10.140)