Pertumbuhan Ekonomi Melambat, IMF Ingatkan Potensi Pelemahan Global
A
A
A
DAVOS - Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan lebih menantang. Kondisi ini harus menjadi perhatian pada pelaku usaha dan pembuat kebijakan agar dampaknya bisa diminimalisasi.
Berdasarkan proyeksi terbaru yang dikeluarkan IMF, pertumbuhan ekonomi global tahun ini diperkirakan mencapai 3,3%, lebih rendah dari pada outlook pada Oktober lalu yang sebesar 3,4%. IMF juga menurunkan pertumbuhan ekonomi global pada 2021 hanya 3,4% dari sebelumnya 3,6%.
Dalam keterangan yang disampaikan Senin (20/01/2020), IMF menyatakan bahwa beberapa faktor pendorong pertumbuhan ekonomi global adalah tumbuhnya indeks manufaktur di sejumlah negara, kemudian kebijakan moneter yang relatif longgar serta kuatnya kerja sama multilateral, termasuk di bidang keuangan.
Namun IMF juga memperkirakan masih ada beberapa hal yang harus diwaspadai. Diantaranya kesepakatan baru perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China yang menandai mulai meredanya perang dagang kedua negara. Hal lain yang perlu diwaspadai adalah tensi geopolitik antara AS-Iran serta manajemen bencana yang dituntut agar lebih baik. Pasalnya musibah bencana diperkirakan menyedot dana tidak sedikit untuk pemulihan.
“Kita belum mencapai titik balik saat ini,” kata Direktur Operasional IMF Kristalina Georgieva dalam konferensi pers menjelang World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss. “Realitasnya adalah per tumbuhan global tetap melambat,” imbuhnya.
IMF mengonfirmasi, pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi melambat itu disebabkan risiko dari ketegangan perdagangan sehingga menyebabkan iklim bisnis dipenuhi dengan ketidak pastian. Untuk periode 2020 dan 2021, penurunan pertumbuhan ekonomi salah satunya disumbang oleh India dan pasar berkembang lainnya.
“Perang dagang juga akan memperlambat ekspor dan investasi serta menyebabkan ekonomi global hanya mengalami pertumbuhan 2,9% dan itu menjadi fase paling lambat sejak krisis keuangan global,” ujar Georgieva.
Dia menegaskan, hanya beberapa hari setelah tahun baru, dunia menyaksikan ketegangan geopolitik yang meningkat di Timur Tengah. “Kita juga melihat dampak dramatis perubahan iklim yang di Australia dan sebagian Afrika,” ujarnya.
IMF menilai prospek ekonomi India sebagai negara yang berkembang mengalami pelambatan akibat melemahnya konsumsi domestik dan permasalahan kredit sertafaktor sektor non-perbankan.
Adapun terkait perang dagang AS-China yang menun jukkan penurunan eskalasi, Georgieva mengungkapkan bahwa akar permasalahannya belum di perbaiki. “Penegasan kasus ketegangan dagang dan isu fundamental, yakni reformasi sistem perdagangan,” katanya.
Proyeksi IMF terbaru yang disampaikan kemarin jauh lebih optimistis bila dibandingkan dengan rilis pertumbuhan ekonomi global dari Bank Dunia(World Bank/WB) yang memperkirakan hanya 2,5% pada 2020, kemudian 2,6% pada 2021 dan 2,7% pada 2022.
Sementara untuk Indonesia, baik IMF maupun Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2020 di level moderat yakni 5,1%. Namun angka tersebut lebih rendah dari pada asumsi makro pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, yakni sebesar 5,3%.
Ekonom BNI Ryan Kiryanto menyatakan proyeksi pertumbuhan Indonesia tersebut cukup tinggi di tengah koreksi IMF lantaran perekonomian nasional relatif terisolasi dari efek tekanan eksternal seperti perang dagang, Brexit, dan risiko geopolitik.
“Ini berbeda dengan beberapa negara eksportir dominan seperti China, Korsel, Jepang, AS yang terdampak lebih besar karena perlambatan ekonomi global, apa pun penyebabnya,” katanya.
Faktor lain yang mendukung ekonomi Indonesia, menurut dia, adalah pasar domestik yang terjaga kuat dengan kontribusi konsumsi rumah tangga sekitar 56-57% terhadap total produk domestik bruto (PDB).
Dia menambahkan, kedepan untuk menjaga momentum pertumbuhan diperlukan stabilitas politik, kepastian hukum, dan kondusivitas iklim ekonomi dan investasi.
“Tanpa pemenuhan persyaratan tersebut, sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan moneter dan fiskal yang esensinya pro pertumbuhan akan jadi sia-sia belaka,” jelasnya.
Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tahun ini seluruh wilayah di dunia mengalami akan mengarah pada pemulihan atau recovery meski levelnya kecil. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebut, ekonomi global yang melambat membuat sejumlah bank sentral di dunia memperlonggar kebijakan moneter di samping membuat fiskal yang ekspansif. Akibatnya aliran modal asing kembali masuk ke negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.
“Kalau kita lihat kenaikan itu meningkat sejak September 2019 dan yang dapat manfaat tinggi itu baik di equity maupun bonds,” ucapnya.
Kendati demikian Sri Mulyani menyebut ketidakpastian masih tinggi. Untuk itu, kata dia, semua pihak termasuk pelaku usaha mesti tetap waspada terhadap dinamika global yang bisa menekan perekonomian domestik.
WEF Dimulai
Forum Ekonomi Dunia(WEF) yang digelar kemarin di Davos, Swiss, memasuki hari pertama. Seperti tahun-tahun sebelumnya, event tahunan ini menjadi ajang pertemuan para pemimpin dunia dan CEO perusahaan.
Presiden AS Donald Trump, aktivis lingkungan Greta Thunberg, dan CEO Goldman Sachs David Solomon menjadi penampil perdana yang menyampaikan beragam topik. Trump yang di dampingi pendiri WEF Kalus Schwab berbicara tentang isu ekonomi global. Adapun aktivis belia Greta Thurnbeg mendesak pemimpin dunia untuk mendengarkan suara aktivis muda di dunia.
Pimpinan negara lain yang tampil di kesempatan pertama adalah Presiden Irak Barham Salih, Perdana Menteri (PM) Pakistan Imran Khan, dan Presiden Kawasan Kurdi Nechirvan Barzani.
“Saya bukanlah orang yang mengeluh ketika tidak didengar,” kata Greta dalam sesi panel berjudul Forging a Sustainable Path Towards a Com monFuture seperti dikutip Reuters. “Ilmu pengetahuan dan suara anak muda bukanlah pusatpembicaraan, tapi tetap perlu diperhatikan. Ini semua tentang masa depan kita,” imbuhnya.
Beberapa aktivis muda lain juga turut berkunjung ke Davos tahun ini. Diantaranya Fionn Ferreira yang dianggap WEF sebagai pahlawan lingkungan karena membantu mencegah mikroplastik memasuki laut. Lalu aktivis lingkungan asal Afrika Selatan Ayakha Melithafa dan aktivis Kanada Autum Peltier.
Pada ajang WEF kali ini, Swiss mengerahkan 5.000 aparat militer dan polisi, juga jet tempur, sistem pertahanan darat, dan radar untuk mengawal WEF. Ajang yang disebut-sebut tempat bertemunya para kaum kapitalis dan pemimpin berpengaruh itu juga dimanfaatkan ratusan pengunjukrasa. Mereka mendesak pemimpin dunia dan para pebisnis global untuk mengambil tindakan nyata dalam mengantisipasi perubahan iklim dunia.
“WEF dihadiri ribuan orang dari berbagai dunia. Selaku tuan rumah, kami harus mampu menjaga dan menjamin keamanan mereka selama berada di sini. Hal itu sesuai dengan protokol yang kami miliki,” ujar Kepala Kepolisian Kawasan Walter Schlegel. “Pres iden AS bahkan memiliki perincian keamanan yang ketat,” katanya. (Kunthi Fahmar Sandy/M Shamil/Andika H)
Berdasarkan proyeksi terbaru yang dikeluarkan IMF, pertumbuhan ekonomi global tahun ini diperkirakan mencapai 3,3%, lebih rendah dari pada outlook pada Oktober lalu yang sebesar 3,4%. IMF juga menurunkan pertumbuhan ekonomi global pada 2021 hanya 3,4% dari sebelumnya 3,6%.
Dalam keterangan yang disampaikan Senin (20/01/2020), IMF menyatakan bahwa beberapa faktor pendorong pertumbuhan ekonomi global adalah tumbuhnya indeks manufaktur di sejumlah negara, kemudian kebijakan moneter yang relatif longgar serta kuatnya kerja sama multilateral, termasuk di bidang keuangan.
Namun IMF juga memperkirakan masih ada beberapa hal yang harus diwaspadai. Diantaranya kesepakatan baru perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China yang menandai mulai meredanya perang dagang kedua negara. Hal lain yang perlu diwaspadai adalah tensi geopolitik antara AS-Iran serta manajemen bencana yang dituntut agar lebih baik. Pasalnya musibah bencana diperkirakan menyedot dana tidak sedikit untuk pemulihan.
“Kita belum mencapai titik balik saat ini,” kata Direktur Operasional IMF Kristalina Georgieva dalam konferensi pers menjelang World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss. “Realitasnya adalah per tumbuhan global tetap melambat,” imbuhnya.
IMF mengonfirmasi, pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi melambat itu disebabkan risiko dari ketegangan perdagangan sehingga menyebabkan iklim bisnis dipenuhi dengan ketidak pastian. Untuk periode 2020 dan 2021, penurunan pertumbuhan ekonomi salah satunya disumbang oleh India dan pasar berkembang lainnya.
“Perang dagang juga akan memperlambat ekspor dan investasi serta menyebabkan ekonomi global hanya mengalami pertumbuhan 2,9% dan itu menjadi fase paling lambat sejak krisis keuangan global,” ujar Georgieva.
Dia menegaskan, hanya beberapa hari setelah tahun baru, dunia menyaksikan ketegangan geopolitik yang meningkat di Timur Tengah. “Kita juga melihat dampak dramatis perubahan iklim yang di Australia dan sebagian Afrika,” ujarnya.
IMF menilai prospek ekonomi India sebagai negara yang berkembang mengalami pelambatan akibat melemahnya konsumsi domestik dan permasalahan kredit sertafaktor sektor non-perbankan.
Adapun terkait perang dagang AS-China yang menun jukkan penurunan eskalasi, Georgieva mengungkapkan bahwa akar permasalahannya belum di perbaiki. “Penegasan kasus ketegangan dagang dan isu fundamental, yakni reformasi sistem perdagangan,” katanya.
Proyeksi IMF terbaru yang disampaikan kemarin jauh lebih optimistis bila dibandingkan dengan rilis pertumbuhan ekonomi global dari Bank Dunia(World Bank/WB) yang memperkirakan hanya 2,5% pada 2020, kemudian 2,6% pada 2021 dan 2,7% pada 2022.
Sementara untuk Indonesia, baik IMF maupun Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2020 di level moderat yakni 5,1%. Namun angka tersebut lebih rendah dari pada asumsi makro pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, yakni sebesar 5,3%.
Ekonom BNI Ryan Kiryanto menyatakan proyeksi pertumbuhan Indonesia tersebut cukup tinggi di tengah koreksi IMF lantaran perekonomian nasional relatif terisolasi dari efek tekanan eksternal seperti perang dagang, Brexit, dan risiko geopolitik.
“Ini berbeda dengan beberapa negara eksportir dominan seperti China, Korsel, Jepang, AS yang terdampak lebih besar karena perlambatan ekonomi global, apa pun penyebabnya,” katanya.
Faktor lain yang mendukung ekonomi Indonesia, menurut dia, adalah pasar domestik yang terjaga kuat dengan kontribusi konsumsi rumah tangga sekitar 56-57% terhadap total produk domestik bruto (PDB).
Dia menambahkan, kedepan untuk menjaga momentum pertumbuhan diperlukan stabilitas politik, kepastian hukum, dan kondusivitas iklim ekonomi dan investasi.
“Tanpa pemenuhan persyaratan tersebut, sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan moneter dan fiskal yang esensinya pro pertumbuhan akan jadi sia-sia belaka,” jelasnya.
Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tahun ini seluruh wilayah di dunia mengalami akan mengarah pada pemulihan atau recovery meski levelnya kecil. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebut, ekonomi global yang melambat membuat sejumlah bank sentral di dunia memperlonggar kebijakan moneter di samping membuat fiskal yang ekspansif. Akibatnya aliran modal asing kembali masuk ke negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.
“Kalau kita lihat kenaikan itu meningkat sejak September 2019 dan yang dapat manfaat tinggi itu baik di equity maupun bonds,” ucapnya.
Kendati demikian Sri Mulyani menyebut ketidakpastian masih tinggi. Untuk itu, kata dia, semua pihak termasuk pelaku usaha mesti tetap waspada terhadap dinamika global yang bisa menekan perekonomian domestik.
WEF Dimulai
Forum Ekonomi Dunia(WEF) yang digelar kemarin di Davos, Swiss, memasuki hari pertama. Seperti tahun-tahun sebelumnya, event tahunan ini menjadi ajang pertemuan para pemimpin dunia dan CEO perusahaan.
Presiden AS Donald Trump, aktivis lingkungan Greta Thunberg, dan CEO Goldman Sachs David Solomon menjadi penampil perdana yang menyampaikan beragam topik. Trump yang di dampingi pendiri WEF Kalus Schwab berbicara tentang isu ekonomi global. Adapun aktivis belia Greta Thurnbeg mendesak pemimpin dunia untuk mendengarkan suara aktivis muda di dunia.
Pimpinan negara lain yang tampil di kesempatan pertama adalah Presiden Irak Barham Salih, Perdana Menteri (PM) Pakistan Imran Khan, dan Presiden Kawasan Kurdi Nechirvan Barzani.
“Saya bukanlah orang yang mengeluh ketika tidak didengar,” kata Greta dalam sesi panel berjudul Forging a Sustainable Path Towards a Com monFuture seperti dikutip Reuters. “Ilmu pengetahuan dan suara anak muda bukanlah pusatpembicaraan, tapi tetap perlu diperhatikan. Ini semua tentang masa depan kita,” imbuhnya.
Beberapa aktivis muda lain juga turut berkunjung ke Davos tahun ini. Diantaranya Fionn Ferreira yang dianggap WEF sebagai pahlawan lingkungan karena membantu mencegah mikroplastik memasuki laut. Lalu aktivis lingkungan asal Afrika Selatan Ayakha Melithafa dan aktivis Kanada Autum Peltier.
Pada ajang WEF kali ini, Swiss mengerahkan 5.000 aparat militer dan polisi, juga jet tempur, sistem pertahanan darat, dan radar untuk mengawal WEF. Ajang yang disebut-sebut tempat bertemunya para kaum kapitalis dan pemimpin berpengaruh itu juga dimanfaatkan ratusan pengunjukrasa. Mereka mendesak pemimpin dunia dan para pebisnis global untuk mengambil tindakan nyata dalam mengantisipasi perubahan iklim dunia.
“WEF dihadiri ribuan orang dari berbagai dunia. Selaku tuan rumah, kami harus mampu menjaga dan menjamin keamanan mereka selama berada di sini. Hal itu sesuai dengan protokol yang kami miliki,” ujar Kepala Kepolisian Kawasan Walter Schlegel. “Pres iden AS bahkan memiliki perincian keamanan yang ketat,” katanya. (Kunthi Fahmar Sandy/M Shamil/Andika H)
(ysw)