Genjot Sumur Eksisting, Produksi Minyak 1 Juta Barel Dipercepat
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta target produksi 1 juta barel minyak yang awalnya diproyeksikan tercapai pada 2030 mendatang dipercepat menjadi 2025. Percepatan tersebut untuk menekan defisitneraca perdagangan dari impor migas.
“Target mau 1 juta barel, kami mau tahunnya dipercepat, ya mereka masih bilang sampai 2030. Saya bilang tidak mau, dipercepat jadi 2025. Kan bagus untuk mengurangi impor energi,” ujar Luhut di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, peningkatan produksi minyak tersebut bisa dilakukan dengan menggenjot produksi sumur-sumur eksisting dengan metode Enhanched Oil Recovery (EOR). Luhut mengatakan, terdapat 23 sumur eksisting yang berpotensi untuk menambah kenaikan produksi dengan memaksimalkan penggunaan metode EOR. “Itu eksistingkan namanya EOR. Sumur-sumur lama ini kan ada yang bisa EOR,” kata dia.
Tidak hanya itu, pihaknya juga mendorong Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) lebih agresif meningkatkan produksi melalui kegiatan eksplorasi blok-blok migas yang baru. Hal itu diyakini efektif untuk mempercepat target 1 juta barel. “Selain eksisting juga sambil eksplorasi sumur baru,” kata dia.
Untuk mempercepat target produksi 1 juta barel tersebut, Luhut dalam waktu dekat akan mengumpulkan stake holder terkait. Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengatakan, percepatan produksi 1 juta barel penting dilakukan untuk menekan impor.
Dia mengatakan, sejumlah hambatan program percepatan tersebut akan dibahas bersama dengan stakeholder terkait secara berkelanjutan. “Bagaimana mengatasi hambatannya, itu yang mau kami selesaikan,” katanya.
Sementara itu, Direktur Hulu Pertamina Dharmawan H Samsu mengatakan, akan lebih agresif melakukan pengeboran guna mendukung percepatan target produksi 1 juta barel. Pihaknya juga terus melakukan berbagai inovasi agar target tersebut bisa terwujud. “Kami harus lebih agresif dalam melakukan pengeboran dan tingkat kesuksesan dapat ditingkatkan," katanya.
EOR Rokan
Di sisi lain, Pertamina dipastikan bisa melanjutkan teknologi kegiatan pengurasan minyak tahap lanjut atau EOR dengan injeksi zat kimia yang saat ini dimiliki Chevron di Blok Rokan.
Menurut Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Sutjipto, teknologi yang digunakan sebagai hasil uji coba zat kimia Chevron seharusnya menjadi milik negara karena telah di ganti menggunakan costrecovery. “Kalau yang sudah di-costrecovery itu berarti teknologinya milik negara,” ujarnya.
Namun, terkait data kajian formula kimia yang selama ini digunakan Chevron untuk melakukan kegiatan EOR di Blok Rokan, pihaknya masih akan melihat apakah itu masuk bagian dari costre covery atau tidak. Dwi mengatakan, apabila data kajian formula EOR yang selama ini digunakan Chevron termasuk dibayar oleh negara, maka akan menjadi milik Pertamina sehingga tinggal melakukan alih teknologi.
“Nanti akan saya cek apakah itu punya Chevron atau sudah menjadi bagian dari negara. Kalau formula penelitian itu sudah menjadi bagian dari costre covery, maka menjadi milik Pertamina, tapi kalau formula itu tidak termasuk, berarti masih milik Chevron. Tapi yang jelas untuk research teknologi itu seharusnya menjadi milik Pertamina, tinggal masuk saja,” katanya.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati sebelumnya meminta data kajian EOR yang selama ini digunakan Chevron di Blok Rokan diberikan ke Pertamina. Namun, ternyata formula zat kimia sebagai kajian untuk menerapkan teknologi EOR tersebut tidak termasuk costrecovery sehingga Pertamina sulit mendapatkan data research EOR dari Chevron. “Kami berpikir ini adalah costrecovery, namun ternyata ada satu komponen atau formula yang tidak masuk costrecovery,” kata dia.
Menurut dia, apabila data research EOR tersebut tidak diberikan pada perseroan, maka Pertamina harus kembali melakukan kajian. Sementara untuk melakukan kajian tersebut memerlukan waktu sekitar empat tahun. Padahal data kajian itu penting segera diserahkan pada Pertamina untuk menahan penurunan laju produksi di Blok Rokan. “Kalau formula ini tidak diberikan kepada kita, maka kita perlu waktu empat tahun lagi karena EOR untuk ini spesifik unik untuk setiap lokasi berbeda,” kata dia.
“Target mau 1 juta barel, kami mau tahunnya dipercepat, ya mereka masih bilang sampai 2030. Saya bilang tidak mau, dipercepat jadi 2025. Kan bagus untuk mengurangi impor energi,” ujar Luhut di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, peningkatan produksi minyak tersebut bisa dilakukan dengan menggenjot produksi sumur-sumur eksisting dengan metode Enhanched Oil Recovery (EOR). Luhut mengatakan, terdapat 23 sumur eksisting yang berpotensi untuk menambah kenaikan produksi dengan memaksimalkan penggunaan metode EOR. “Itu eksistingkan namanya EOR. Sumur-sumur lama ini kan ada yang bisa EOR,” kata dia.
Tidak hanya itu, pihaknya juga mendorong Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) lebih agresif meningkatkan produksi melalui kegiatan eksplorasi blok-blok migas yang baru. Hal itu diyakini efektif untuk mempercepat target 1 juta barel. “Selain eksisting juga sambil eksplorasi sumur baru,” kata dia.
Untuk mempercepat target produksi 1 juta barel tersebut, Luhut dalam waktu dekat akan mengumpulkan stake holder terkait. Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengatakan, percepatan produksi 1 juta barel penting dilakukan untuk menekan impor.
Dia mengatakan, sejumlah hambatan program percepatan tersebut akan dibahas bersama dengan stakeholder terkait secara berkelanjutan. “Bagaimana mengatasi hambatannya, itu yang mau kami selesaikan,” katanya.
Sementara itu, Direktur Hulu Pertamina Dharmawan H Samsu mengatakan, akan lebih agresif melakukan pengeboran guna mendukung percepatan target produksi 1 juta barel. Pihaknya juga terus melakukan berbagai inovasi agar target tersebut bisa terwujud. “Kami harus lebih agresif dalam melakukan pengeboran dan tingkat kesuksesan dapat ditingkatkan," katanya.
EOR Rokan
Di sisi lain, Pertamina dipastikan bisa melanjutkan teknologi kegiatan pengurasan minyak tahap lanjut atau EOR dengan injeksi zat kimia yang saat ini dimiliki Chevron di Blok Rokan.
Menurut Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Sutjipto, teknologi yang digunakan sebagai hasil uji coba zat kimia Chevron seharusnya menjadi milik negara karena telah di ganti menggunakan costrecovery. “Kalau yang sudah di-costrecovery itu berarti teknologinya milik negara,” ujarnya.
Namun, terkait data kajian formula kimia yang selama ini digunakan Chevron untuk melakukan kegiatan EOR di Blok Rokan, pihaknya masih akan melihat apakah itu masuk bagian dari costre covery atau tidak. Dwi mengatakan, apabila data kajian formula EOR yang selama ini digunakan Chevron termasuk dibayar oleh negara, maka akan menjadi milik Pertamina sehingga tinggal melakukan alih teknologi.
“Nanti akan saya cek apakah itu punya Chevron atau sudah menjadi bagian dari negara. Kalau formula penelitian itu sudah menjadi bagian dari costre covery, maka menjadi milik Pertamina, tapi kalau formula itu tidak termasuk, berarti masih milik Chevron. Tapi yang jelas untuk research teknologi itu seharusnya menjadi milik Pertamina, tinggal masuk saja,” katanya.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati sebelumnya meminta data kajian EOR yang selama ini digunakan Chevron di Blok Rokan diberikan ke Pertamina. Namun, ternyata formula zat kimia sebagai kajian untuk menerapkan teknologi EOR tersebut tidak termasuk costrecovery sehingga Pertamina sulit mendapatkan data research EOR dari Chevron. “Kami berpikir ini adalah costrecovery, namun ternyata ada satu komponen atau formula yang tidak masuk costrecovery,” kata dia.
Menurut dia, apabila data research EOR tersebut tidak diberikan pada perseroan, maka Pertamina harus kembali melakukan kajian. Sementara untuk melakukan kajian tersebut memerlukan waktu sekitar empat tahun. Padahal data kajian itu penting segera diserahkan pada Pertamina untuk menahan penurunan laju produksi di Blok Rokan. “Kalau formula ini tidak diberikan kepada kita, maka kita perlu waktu empat tahun lagi karena EOR untuk ini spesifik unik untuk setiap lokasi berbeda,” kata dia.
(ysw)