Berkaca Jiwasraya, Industri Asuransi Dinilai Butuh Pengelompokan Ikuti Perbankan
A
A
A
JAKARTA - Kasus gagal bayar yang melilit PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dinilai membutuhkan pendekatan tata kelola seperti perbankan yang telah lebih awal diatur. Salah satunya aturan pengelompokan perusahaan berdasarkan skala bisnis sehingga bobot pengawasannya lebih mudah.
Pengamat asuransi Irvan Rahardjo mengatakan, sudah seharusnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera membagi dengan tegas pengelompokan perusahaan-perusahaan asuransi berdasarkan size (exposure) dan kompleksitasnya. Peraturan pengelompokan ini bisa seperti yang diterapkan di perbankan dengan istilah BUKU (Bank Umum Kegiatan Usaha).
"Sehingga lebih jelas asuransi mana yang harus punya direktur kepatuhan dan mana yang boleh merangkap jabatan di luar Teknik Asuransi, Keuangan dan Marketing seperti dalam POJK 43/2019," ujar Irvan di Jakarta, Selasa (4/2/2020).
Lebih lanjut terang dia, penyesuaian penerapan tata kelola yang baik dibutuhkan industri asuransi. Ini terang dia untuk memastikan dosis aturan seimbang menurut eksposur risiko yang ada pada perusahaan.
Menurutnya pejabat Direktur Kepatuhan bagi sebagian asuransi masih dianggap sebagai beban biaya tambahan bagi sebagian perusahaan asuransi. "Mungkin disebabkan perbedaan size dan kompleksitas perusahaan. Banyak yang tidak sanggup karena 70% perusahaan asuransi level menengah kecil," terang dia.
Dia juga menilai aturan POJK 43 tahun 2019 melonggarkan penerapan tata kelola atau GCG. Salah satunya adalah tidak mewajibkan posisi Direktur Kepatuhan karena dapat dirangkap direktur lain. "Direktur Kepatuhan tidak wajib, tapi fungsi kepatuhan harus ada. Aturan ini juga sudah direvisi dari POJK sebelumnya dengan kata lain yang harus patuh sejatinya OJK sendiri," paparnya.
Pengamat asuransi Irvan Rahardjo mengatakan, sudah seharusnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera membagi dengan tegas pengelompokan perusahaan-perusahaan asuransi berdasarkan size (exposure) dan kompleksitasnya. Peraturan pengelompokan ini bisa seperti yang diterapkan di perbankan dengan istilah BUKU (Bank Umum Kegiatan Usaha).
"Sehingga lebih jelas asuransi mana yang harus punya direktur kepatuhan dan mana yang boleh merangkap jabatan di luar Teknik Asuransi, Keuangan dan Marketing seperti dalam POJK 43/2019," ujar Irvan di Jakarta, Selasa (4/2/2020).
Lebih lanjut terang dia, penyesuaian penerapan tata kelola yang baik dibutuhkan industri asuransi. Ini terang dia untuk memastikan dosis aturan seimbang menurut eksposur risiko yang ada pada perusahaan.
Menurutnya pejabat Direktur Kepatuhan bagi sebagian asuransi masih dianggap sebagai beban biaya tambahan bagi sebagian perusahaan asuransi. "Mungkin disebabkan perbedaan size dan kompleksitas perusahaan. Banyak yang tidak sanggup karena 70% perusahaan asuransi level menengah kecil," terang dia.
Dia juga menilai aturan POJK 43 tahun 2019 melonggarkan penerapan tata kelola atau GCG. Salah satunya adalah tidak mewajibkan posisi Direktur Kepatuhan karena dapat dirangkap direktur lain. "Direktur Kepatuhan tidak wajib, tapi fungsi kepatuhan harus ada. Aturan ini juga sudah direvisi dari POJK sebelumnya dengan kata lain yang harus patuh sejatinya OJK sendiri," paparnya.
(akr)