Penambahan Jenis Barang Kena Cukai Dinilai Mendesak
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dan DPR dinilai perlu mempercepat penambahan jenis barang kena cukai selain dari kantong plastik. Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, penambahan objek barang kena cukai selain kantong plastik dengan alasan pengendalian.
"Penambahan objek kena cukai perlu segera dilakukan dengan alasan pengendalian dampak negatif kesehatan dan lingkungan," ucapnya kepada media di Jakarta, Jumat (14/2/2020).
Sambung Bhima menjelaskan, apabila penambahan barang kena cukai hanya dilakukan pada kantong plastik, maka kontribusi yang didapatkan penerimaan cukai pada APBN tidak akan maksimal. Pengenaan cukai pada kantong plastik saat ini memang akan menjadi pembahasan DPR. "Kalau hanya kantong plastik masih terlalu kecil," ucapnya.
Ia juga menambahkan bahwa pemerintah dan DPR perlu bertindak cepat dalam menambahkan objek cukai karena Indonesia tertinggal jauh dari negara lain dalam jumlah objek kena cukai. "Dengan penambahan beberapa objek cukai, maka akan ada penurunan konsumsi masyarakat atas produk-produk yang memberikan dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan," terangnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, hal yang senada dimana Indonesia selama ini hanya mengandalkan cukai dari industri hasil tembakau dan minuman beralkohol. Padahal jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, ada banyak obyek cukai.
Thailand diterangkan punya sedikitnya 11 jenis produk obyek cukai mulai dari hasil tembakau, kendaraan bermotor, bensin hingga minuman berpemanis. “Indonesia adalah negara yang paling sedikit memiliki jenis barang kena cukai (BKC). Kalah dibandingkan Laos, Myanmar, Malaysia, apalagi Thailand," ujarnya.
Yustinus juga mengutarakan, bahwa satu dari lima orang di Indonesia mengalami obesitas, sehingga sudah sepantasnya Indonesia juga turut mengenakan cukai pada minuman berpemanis. “Gula adalah pembunuh baru, sedangkan obesitas adalah satu langkah menuju penyakit jantung," paparnya.
"Penambahan objek kena cukai perlu segera dilakukan dengan alasan pengendalian dampak negatif kesehatan dan lingkungan," ucapnya kepada media di Jakarta, Jumat (14/2/2020).
Sambung Bhima menjelaskan, apabila penambahan barang kena cukai hanya dilakukan pada kantong plastik, maka kontribusi yang didapatkan penerimaan cukai pada APBN tidak akan maksimal. Pengenaan cukai pada kantong plastik saat ini memang akan menjadi pembahasan DPR. "Kalau hanya kantong plastik masih terlalu kecil," ucapnya.
Ia juga menambahkan bahwa pemerintah dan DPR perlu bertindak cepat dalam menambahkan objek cukai karena Indonesia tertinggal jauh dari negara lain dalam jumlah objek kena cukai. "Dengan penambahan beberapa objek cukai, maka akan ada penurunan konsumsi masyarakat atas produk-produk yang memberikan dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan," terangnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, hal yang senada dimana Indonesia selama ini hanya mengandalkan cukai dari industri hasil tembakau dan minuman beralkohol. Padahal jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, ada banyak obyek cukai.
Thailand diterangkan punya sedikitnya 11 jenis produk obyek cukai mulai dari hasil tembakau, kendaraan bermotor, bensin hingga minuman berpemanis. “Indonesia adalah negara yang paling sedikit memiliki jenis barang kena cukai (BKC). Kalah dibandingkan Laos, Myanmar, Malaysia, apalagi Thailand," ujarnya.
Yustinus juga mengutarakan, bahwa satu dari lima orang di Indonesia mengalami obesitas, sehingga sudah sepantasnya Indonesia juga turut mengenakan cukai pada minuman berpemanis. “Gula adalah pembunuh baru, sedangkan obesitas adalah satu langkah menuju penyakit jantung," paparnya.
(akr)