Perda Harus Perhatikan Ekonomi Masyarakat dan Partisipasi Publik
A
A
A
JAKARTA - Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2018 dinilai merugikan masyarakat. Perda seharusnya mempertimbangkan kepentingan publik. Perda KTR Bogor juga dinilai menimbulkan problem secara ekonomi, yakni ketidakpastian usaha.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, mengatakan ketidakpastian usaha menimbulkan risiko dalam hal kalkulasi biaya dan kegiatan usaha. Sehingga akan berpengaruh terhadap ekosistem ekonomi daerah.
"Konteks Perda KTR Bogor ini paradigmanya antirokok, padahal harusnya diuji karena undang-undang sudah menetapkan rokok merupakan barang legal," katanya di Jakarta, Jumat (14/2/2020).
Menurutnya, pejabat publik seharusnya merujuk pada peraturan yang lebih tinggi dan perundang-undangan sebelum menetapkan sebuah kebijakan publik.
"Intinya harus taat pada undang-undang, kepentingan umum, dan mempertimbangkan kehidupan sosial, norma, dan sebagainya," katanya lagi.
Bagi Endi Jaweng, uji materi yang diajukan para pedagang tradisional merupakan langkah terhormat. "Judicial review merupakan satu-satunya jalan yang bisa ditempuh masyarakat untuk menguji keadilan dan kepastian hukum," paparnya.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, mengatakan kebijakan KTR seharusnya mempertimbangkan keadilan, transparansi, dan partisipasi publik di dalamnya.
Beberapa pihak juga mengkritisi Perda KTR Bogor dari sisi hukum karena dinilai bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. KPPOD dalam kajiannya menemukan bahwa Perda KTR Bogor bertentangan secara substansif dengan Peraturan Pemerintah 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Menurut Trubus, keberatan dan gugatan dari masyarakat menunjukkan bahwa Perda KTR Bogor belum memenuhi aspek partisipasi publik. "Masalah pelarangan pemajangan rokok itu berat, apalagi kini display-nya dilarang sampai ke ritel-ritel, harus ditutup pakai gorden. Ini bertentangan dengan kepentingan publik," kata Trubus.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, mengatakan ketidakpastian usaha menimbulkan risiko dalam hal kalkulasi biaya dan kegiatan usaha. Sehingga akan berpengaruh terhadap ekosistem ekonomi daerah.
"Konteks Perda KTR Bogor ini paradigmanya antirokok, padahal harusnya diuji karena undang-undang sudah menetapkan rokok merupakan barang legal," katanya di Jakarta, Jumat (14/2/2020).
Menurutnya, pejabat publik seharusnya merujuk pada peraturan yang lebih tinggi dan perundang-undangan sebelum menetapkan sebuah kebijakan publik.
"Intinya harus taat pada undang-undang, kepentingan umum, dan mempertimbangkan kehidupan sosial, norma, dan sebagainya," katanya lagi.
Bagi Endi Jaweng, uji materi yang diajukan para pedagang tradisional merupakan langkah terhormat. "Judicial review merupakan satu-satunya jalan yang bisa ditempuh masyarakat untuk menguji keadilan dan kepastian hukum," paparnya.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, mengatakan kebijakan KTR seharusnya mempertimbangkan keadilan, transparansi, dan partisipasi publik di dalamnya.
Beberapa pihak juga mengkritisi Perda KTR Bogor dari sisi hukum karena dinilai bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. KPPOD dalam kajiannya menemukan bahwa Perda KTR Bogor bertentangan secara substansif dengan Peraturan Pemerintah 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Menurut Trubus, keberatan dan gugatan dari masyarakat menunjukkan bahwa Perda KTR Bogor belum memenuhi aspek partisipasi publik. "Masalah pelarangan pemajangan rokok itu berat, apalagi kini display-nya dilarang sampai ke ritel-ritel, harus ditutup pakai gorden. Ini bertentangan dengan kepentingan publik," kata Trubus.
(ven)