Sri Mulyani Akui Tren Defisit BPJS Selalu Naik
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sangat penting. Hal ini dilakukan untuk keberlangsungan BPJS Kesehatan agar tidak defisit dan bisa melayani masyarakat di bidang kesehatan.
Adapun tren defisit ini diakuinya sejak tahun 2014 saat program dijalankan selalu mengalami defisit. Bahkan setiap tahunnya, defisit dari BPJS Kesehatan terus mengalami tren yang naik.
"Sebelum kenaikan ini, sejak dilaksanakan di 2014, BPJS terus mengalami defisit dengan tren yang makin besar. Dan ini kita akui semua karena ini sudah fakta," ujar Sri Mulyani di Komplek DPR, Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Dia melanjutkan pada 2014 defisit dari BPJS Kesehatan mencapai Rp9 triliun sebelum akhirnya disuntik oleh pemerintah sebesar Rp5 triliun. Lalu pada 2016, sebenarnya defisit dari BPJS Kesehatan membaik karena hanya Rp6 triliun saja.
"Tahun 2014 defisitnya Rp9 triliun kemudian disuntik oleh pemerintah Rp5 triliun. Tahun 2016 defisitnya agak turun Rp6 triliun pemerintah suntik Rp6 triliun," jelasnya.
Dia pun merinci pada 2017, defisit dari BPJS Kesehatan kembali naik lagi menjadi Rp13 triliun. Selanjutnya pada 2018 juga mengalami kenaikan kembali menjadi Rp19 triliun. "Tahun 2019 BPJS menuliskan surat kepada kami kalau estimasi defisitnya mencapai Rp32 triliun," jelasnya.
Menurut Sri Mulyani, meningkatnya defisit setiap tahun dikarenakan kesadaran bayar peserta BPJS Kesehatan masih rendah. Padahal seharusnya, dalam Undang-undang jika ada tagihan maka harus dibayarkan maksimal 15 hari.
"Kita boleh mengatakan kepada semua masyarakat bisa masuk ke RS tapi nyatanya, sistem BPJS kita tidak mampu memenuhi kewajibannya yaitu dari sisi pembayaran. Dalam UU kalau ada tagihan maksimal 15 hari BPJS harusnya membayar," jelasnya.
Adapun tren defisit ini diakuinya sejak tahun 2014 saat program dijalankan selalu mengalami defisit. Bahkan setiap tahunnya, defisit dari BPJS Kesehatan terus mengalami tren yang naik.
"Sebelum kenaikan ini, sejak dilaksanakan di 2014, BPJS terus mengalami defisit dengan tren yang makin besar. Dan ini kita akui semua karena ini sudah fakta," ujar Sri Mulyani di Komplek DPR, Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Dia melanjutkan pada 2014 defisit dari BPJS Kesehatan mencapai Rp9 triliun sebelum akhirnya disuntik oleh pemerintah sebesar Rp5 triliun. Lalu pada 2016, sebenarnya defisit dari BPJS Kesehatan membaik karena hanya Rp6 triliun saja.
"Tahun 2014 defisitnya Rp9 triliun kemudian disuntik oleh pemerintah Rp5 triliun. Tahun 2016 defisitnya agak turun Rp6 triliun pemerintah suntik Rp6 triliun," jelasnya.
Dia pun merinci pada 2017, defisit dari BPJS Kesehatan kembali naik lagi menjadi Rp13 triliun. Selanjutnya pada 2018 juga mengalami kenaikan kembali menjadi Rp19 triliun. "Tahun 2019 BPJS menuliskan surat kepada kami kalau estimasi defisitnya mencapai Rp32 triliun," jelasnya.
Menurut Sri Mulyani, meningkatnya defisit setiap tahun dikarenakan kesadaran bayar peserta BPJS Kesehatan masih rendah. Padahal seharusnya, dalam Undang-undang jika ada tagihan maka harus dibayarkan maksimal 15 hari.
"Kita boleh mengatakan kepada semua masyarakat bisa masuk ke RS tapi nyatanya, sistem BPJS kita tidak mampu memenuhi kewajibannya yaitu dari sisi pembayaran. Dalam UU kalau ada tagihan maksimal 15 hari BPJS harusnya membayar," jelasnya.
(fjo)