Dorong Pemanfaatan Pajak dan Cukai Rokok untuk Tangani Stunting
A
A
A
JAKARTA - Kontribusi pajak maupun cukai rokok sejauh ini belum berdampak terhadap kesehatan masyarakat, hal ini berdasarkan Pusat Kajian Gizi Regional (PKGR) UI (Universitas Indonesia) atau SEAMEO-RECFON (Southeast Asian Ministers of Education Regional Centre for Food and Nutrition). Langkah Pemerintah yang menaikkan tarif Cukai Rokok rata-rata sebesar 23% pada 1 Januari 2020 nyatanya hanya berdampak pada pengendalian konsumsi Rokok.
Peneliti senior SEAMEO-RECFON yakni Grace Wangge menjelaskan, bahwa sebenarnya pemerintah telah menetapkan Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 yang mengatur alokasi Cukai Rokok, agar sedikitnya 50% digunakan untuk mendanai pelayanan Kesehatan. Dari peraturan ini, Cukai Rokok sebenarnya dapat dialokasikan untuk perbaikan gizi masyarakat.
Lantaran itu SEAMEO-RECFON memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan (policy brief) yang efektif terkait pemanfaatan dana bagi hasil Cukai untuk percepatan penanganan Stunting. Tim peneliti SEAMEO-RECFON, ungkap Grace, pun telah melakukan wawancara dan focus group discussion (FGD) dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) yang terlibat dalam pengelolaan Pajak Rokok dan dana bagi hasil Cukai Rokok di Kota Bogor dan DKI Jakarta.
Hasilnya dana bagi hasil Cukai Rokok tersebut dinilai pemanfaatannya lebih pada pembangunan infrastruktur Kesehatan, bukan spesifik untuk program promotif preventif. “Padahal, dalam hal melindungi anak-anak dari dampak negatif merokok, upaya promotif mengenai bahaya Rokok dan program pencegahan merokok pada anak-anak harus lebih menonjol," tegas Grace di Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Untuk itu SEAMEO-RECFON memberikan rekomendasikan agar alokasi Cukai Rokok untuk percepatan penangangan Stunting perlu dituangkan dalam rencana anggaran e-budgeting pemerintah daerah dan menjadi perhatian para pemangku kebijakan. Selain itu, monitoring dan evaluasi pemanfaatan Pajak Rokok dan dana bagi hasil Cukai untuk program Kesehatan perlu dilakukan secara rutin untuk mengetahui efisiensi penggunaan dana.
"Bogor, mereka tahu akan hal itu namun tidak mengerti bagaimana mekanismen pengalokasian anggaran tersebut, kerana meski ada aturan yang lebih detail dalam e-budgeting serta penerapannya. Bisa dilakukan juga dengan pendampingan," paparnya.
Setidaknya ada empat poin rekomendasi dari PKGR UI yakni Stunting merupakan masalah kesehatan yang dipengaruhi oleh belanja rokok di masyarakat. Hal ini perlu disadari oleh masyarakat secara umum, dan secara khusus kepada para pemegang kebijakan di tingkat daerah dan petugas kesehatan.
Beranjak dari kesadaran akan keterkaitan stunting dengan konsumsi rokok, maka perlu ada prioritas anggaran terhadap program percepatan penanganan stunting yang dialokasikan dari pajak rokok dan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Alokasi pajak rokok untuk percepatan penangangan stunting perlu dituangkan dalam rencana anggaran e-budgeting pemerintah daerah.
Pemda diterangkan juga perlu melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin mengenai pemanfaatan pajak rokok dan DBHCHT untuk program kesehatan sehingga dapat dipantau apakah dana tersebut sudah digunakan secara tepat guna atau belum.
Sementara itu, Project Officer for Tobacco Control Advocacy, Center for Indonesias’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Iman Mahaputra Zein mengatakan dampak rokok nyatanya telah membuat keluarga miskin semakin rentan mengalami penyakit. Sebab, berdasarkan kajiannya pendapatan industri rokok justru berasal dari keluarga miskin, sehingga keluarga tersebut tidak bisa belanja untuk pemenuhan gizi anaknya dan itu dapat menciptakan stunting.
Wakil Rektor III UI, Abdul Haris dalam sambutannya juga menambahkan, hasil kajian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI tahun 2018 menunjukkan, balita dengan orang tua yang merokok akan 5 kali lebih rentan mengalami Stunting karena pengaruh perubahan belanja makanan menjadi belanja Rokok.
Sehingga menurunkan kuantitas serta kualitas nutrisi yang diperlukan untuk tumbuh kembang anak. "Orang lebih memilih membeli Rokok daripada telur atau makanan bergizi," kata dia.
Lebih lanjut, usulan kebijakan kedua berkenaan dengan “Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul Melalui Pengendalian Tembakau dan Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Lingkungan Sekolah.” Adapun sejumlah rekomendasi juga diberikan oleh SEAMEO-RECFON.
Peneliti senior SEAMEO-RECFON yakni Grace Wangge menjelaskan, bahwa sebenarnya pemerintah telah menetapkan Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 yang mengatur alokasi Cukai Rokok, agar sedikitnya 50% digunakan untuk mendanai pelayanan Kesehatan. Dari peraturan ini, Cukai Rokok sebenarnya dapat dialokasikan untuk perbaikan gizi masyarakat.
Lantaran itu SEAMEO-RECFON memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan (policy brief) yang efektif terkait pemanfaatan dana bagi hasil Cukai untuk percepatan penanganan Stunting. Tim peneliti SEAMEO-RECFON, ungkap Grace, pun telah melakukan wawancara dan focus group discussion (FGD) dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) yang terlibat dalam pengelolaan Pajak Rokok dan dana bagi hasil Cukai Rokok di Kota Bogor dan DKI Jakarta.
Hasilnya dana bagi hasil Cukai Rokok tersebut dinilai pemanfaatannya lebih pada pembangunan infrastruktur Kesehatan, bukan spesifik untuk program promotif preventif. “Padahal, dalam hal melindungi anak-anak dari dampak negatif merokok, upaya promotif mengenai bahaya Rokok dan program pencegahan merokok pada anak-anak harus lebih menonjol," tegas Grace di Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Untuk itu SEAMEO-RECFON memberikan rekomendasikan agar alokasi Cukai Rokok untuk percepatan penangangan Stunting perlu dituangkan dalam rencana anggaran e-budgeting pemerintah daerah dan menjadi perhatian para pemangku kebijakan. Selain itu, monitoring dan evaluasi pemanfaatan Pajak Rokok dan dana bagi hasil Cukai untuk program Kesehatan perlu dilakukan secara rutin untuk mengetahui efisiensi penggunaan dana.
"Bogor, mereka tahu akan hal itu namun tidak mengerti bagaimana mekanismen pengalokasian anggaran tersebut, kerana meski ada aturan yang lebih detail dalam e-budgeting serta penerapannya. Bisa dilakukan juga dengan pendampingan," paparnya.
Setidaknya ada empat poin rekomendasi dari PKGR UI yakni Stunting merupakan masalah kesehatan yang dipengaruhi oleh belanja rokok di masyarakat. Hal ini perlu disadari oleh masyarakat secara umum, dan secara khusus kepada para pemegang kebijakan di tingkat daerah dan petugas kesehatan.
Beranjak dari kesadaran akan keterkaitan stunting dengan konsumsi rokok, maka perlu ada prioritas anggaran terhadap program percepatan penanganan stunting yang dialokasikan dari pajak rokok dan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Alokasi pajak rokok untuk percepatan penangangan stunting perlu dituangkan dalam rencana anggaran e-budgeting pemerintah daerah.
Pemda diterangkan juga perlu melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin mengenai pemanfaatan pajak rokok dan DBHCHT untuk program kesehatan sehingga dapat dipantau apakah dana tersebut sudah digunakan secara tepat guna atau belum.
Sementara itu, Project Officer for Tobacco Control Advocacy, Center for Indonesias’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Iman Mahaputra Zein mengatakan dampak rokok nyatanya telah membuat keluarga miskin semakin rentan mengalami penyakit. Sebab, berdasarkan kajiannya pendapatan industri rokok justru berasal dari keluarga miskin, sehingga keluarga tersebut tidak bisa belanja untuk pemenuhan gizi anaknya dan itu dapat menciptakan stunting.
Wakil Rektor III UI, Abdul Haris dalam sambutannya juga menambahkan, hasil kajian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI tahun 2018 menunjukkan, balita dengan orang tua yang merokok akan 5 kali lebih rentan mengalami Stunting karena pengaruh perubahan belanja makanan menjadi belanja Rokok.
Sehingga menurunkan kuantitas serta kualitas nutrisi yang diperlukan untuk tumbuh kembang anak. "Orang lebih memilih membeli Rokok daripada telur atau makanan bergizi," kata dia.
Lebih lanjut, usulan kebijakan kedua berkenaan dengan “Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul Melalui Pengendalian Tembakau dan Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Lingkungan Sekolah.” Adapun sejumlah rekomendasi juga diberikan oleh SEAMEO-RECFON.
(akr)