Minimalisir Dampak Kesehatan, Pengguna Tembakau Perlu Rujukan LIPI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat pengguna tembakau di tanah air diminta memanfaatkan penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengenai hasil produk tembakau lainnya (HTPL) sebagai acuan terhadap dampak kesehatan. Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Amalia mengatakan, LIPI merupakan lembaga penelitian kredibel yang terbuka terhadap kolaborasi penelitian di dalam negeri.
"Selama ini ada perbedaan perlakuan antara cukai konvensional dan cukai cair yang beredar di masyarakat. Padahal kalau dinilai dari dampaknya dari sisi kesehatan tidak sama atau sama sekali berbeda antara tembakau cair dan komvensional," ujarnya di Jakarta, Rabu (21/10/2020).
Menurutnya, independensi dalam penelitian HPTL dianggap mutlak karena hasil dari risetnya akan sangat berpengaruh pada banyak pihak termasuk industri hasil tembakau (IHT).Dengan potensi intervensi yang tinggi, pemerintah perlu untuk menunjuk lembaga yang mampu mempertahankan prinsi-prinsip keilmiahan dalam penelitiannya.
"Melihat keterkaitannya yang tinggi dengan industri dan ekonomi, maka jangan sampai terpengaruh oleh pihak-pihak lain," kata Amaliya. Hal tersebut juga sekaligus menengahi pro dan kontra terkait klaim hasil penelitian hasil produk tembakau lainnya (HPTL) di Indonesia.
Seperti diketahui, kemunculan produk HPTL diiringi dua perspektif yang saling bertolak belakang antara yang mendukung dengan yang tidak. Hal ini membuat paradigma masyarakat menjadi bias karena memang belum adanya riset dari pemerintah yang membuktikan secara ilmiah.
Angka perokok di Indonesia saat ini mencapai 65 juta orang. Jumlah ini membuat WHO menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat konsumsi rokok tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India. Dengan data tersebut, pemerintah sudah selayaknya mengambil tindakan tegas dengan mengadakan riset lokal yang memang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Hal ini penting mengingat karakteristik perokok, industri rokok, dan budaya merokok di Indonesia berbeda dengan negara lain. Sehingga tidak tepat jika hanya mengandalkan riset dari luar.
"Selama ini ada perbedaan perlakuan antara cukai konvensional dan cukai cair yang beredar di masyarakat. Padahal kalau dinilai dari dampaknya dari sisi kesehatan tidak sama atau sama sekali berbeda antara tembakau cair dan komvensional," ujarnya di Jakarta, Rabu (21/10/2020).
Menurutnya, independensi dalam penelitian HPTL dianggap mutlak karena hasil dari risetnya akan sangat berpengaruh pada banyak pihak termasuk industri hasil tembakau (IHT).Dengan potensi intervensi yang tinggi, pemerintah perlu untuk menunjuk lembaga yang mampu mempertahankan prinsi-prinsip keilmiahan dalam penelitiannya.
"Melihat keterkaitannya yang tinggi dengan industri dan ekonomi, maka jangan sampai terpengaruh oleh pihak-pihak lain," kata Amaliya. Hal tersebut juga sekaligus menengahi pro dan kontra terkait klaim hasil penelitian hasil produk tembakau lainnya (HPTL) di Indonesia.
Seperti diketahui, kemunculan produk HPTL diiringi dua perspektif yang saling bertolak belakang antara yang mendukung dengan yang tidak. Hal ini membuat paradigma masyarakat menjadi bias karena memang belum adanya riset dari pemerintah yang membuktikan secara ilmiah.
Angka perokok di Indonesia saat ini mencapai 65 juta orang. Jumlah ini membuat WHO menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat konsumsi rokok tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India. Dengan data tersebut, pemerintah sudah selayaknya mengambil tindakan tegas dengan mengadakan riset lokal yang memang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Hal ini penting mengingat karakteristik perokok, industri rokok, dan budaya merokok di Indonesia berbeda dengan negara lain. Sehingga tidak tepat jika hanya mengandalkan riset dari luar.
(nng)