Sri Mulyani Diminta Berani Terapkan Cukai untuk Bahan Bakar
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun meminta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati lebih kreatif dalam menggenjot potensi penerimaan negara. Menurutnya, salah satu potensi yang bisa dimaksimalkan untuk mendongkrak penerimaan negara adalah dari cukai.
Berbicara pada rapat kerja Komisi XI DPR dengan Menkeu dan jajaran Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) di Kompleks Parlemen Senayan, Misbakhun menyatakan dukungannya pada upaya pemerintah mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan negara. “Menurut saya (upaya pemerintah) harus terus didukung karena kita menghadapi situasi-situasi yang mau tidak mau harus dikuatkan kreativitasnya,” ujar Misbakhun.
Namun, kata legislator Partai Golkar itu, setiap kebijakan tentu memiliki risiko. Untuk itu terang dia, pemerintah harus mengantisipasi dan meminimalkan risiko yang berpotensi menimbulkan ekses negatif.
Misbakhun lantas mengkritik usul pemerintah tentang penerapan cukai untuk kantong plastik atau tas keresek. Menurutnya, seharusnya pemerintah dengan alasan keadilan dan keberlanjutan lingkungan berani memberlakukan cukai pada barang-barang plastik selain kantong keresek.
“Berapa miliar yang kita dapat dari cukai kantong plastik? Cuma Rp900 miliar sampai Rp 1,5 triliun dengan risiko (lingkungan) yang sama. Makanya karena risikonya sama usulkan saja memasukkan sepuluh objek sama saja,” katanya.
Misbakhun juga menyoroti usul pemerintah tentang pemberlakuan cukai emisi karbon pada kendaraan bermotor. Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu itu menegaskan, kendaraan bermotor bukanlah satu-satunya sumber emisi karbon.
Menurut Misbakhun, ada sektor industri ataupun manufaktur yang juga menghasilkan emisi. Sebab, sumber utama emisi karbon adalah bahan bakar. Oleh karena itu seharusnya bahan bakar juga dikenai cukai. “Kenapa kemudian tidak sumber emisinya yang dikenakan fuel surcharge? Hampir di seluruh dunia fuel surcharge itu bagus,” ucapnya.
Dia meyakini fuel surcharge untuk emisi karbon bisa mengalahkan penerimaan dari cukai etil alkohol ataupun minuman keras. “Negara kan perlu melakukan upaya lebih kreatif,” tegasnya.
Yang penting, kata Misbakhun, pemerintah bisa memberikan penjelasan dan alasan rasional yang mendasari penerapan kebijakan itu. “Keputusan politik itu sering tidak logis, tetapi harus rasional. Dengan rasionalisasi itu kita bisa menjelaskan kepada publik yang tidak logis bisa masuk akal,” cetusnya.
Berbicara pada rapat kerja Komisi XI DPR dengan Menkeu dan jajaran Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) di Kompleks Parlemen Senayan, Misbakhun menyatakan dukungannya pada upaya pemerintah mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan negara. “Menurut saya (upaya pemerintah) harus terus didukung karena kita menghadapi situasi-situasi yang mau tidak mau harus dikuatkan kreativitasnya,” ujar Misbakhun.
Namun, kata legislator Partai Golkar itu, setiap kebijakan tentu memiliki risiko. Untuk itu terang dia, pemerintah harus mengantisipasi dan meminimalkan risiko yang berpotensi menimbulkan ekses negatif.
Misbakhun lantas mengkritik usul pemerintah tentang penerapan cukai untuk kantong plastik atau tas keresek. Menurutnya, seharusnya pemerintah dengan alasan keadilan dan keberlanjutan lingkungan berani memberlakukan cukai pada barang-barang plastik selain kantong keresek.
“Berapa miliar yang kita dapat dari cukai kantong plastik? Cuma Rp900 miliar sampai Rp 1,5 triliun dengan risiko (lingkungan) yang sama. Makanya karena risikonya sama usulkan saja memasukkan sepuluh objek sama saja,” katanya.
Misbakhun juga menyoroti usul pemerintah tentang pemberlakuan cukai emisi karbon pada kendaraan bermotor. Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu itu menegaskan, kendaraan bermotor bukanlah satu-satunya sumber emisi karbon.
Menurut Misbakhun, ada sektor industri ataupun manufaktur yang juga menghasilkan emisi. Sebab, sumber utama emisi karbon adalah bahan bakar. Oleh karena itu seharusnya bahan bakar juga dikenai cukai. “Kenapa kemudian tidak sumber emisinya yang dikenakan fuel surcharge? Hampir di seluruh dunia fuel surcharge itu bagus,” ucapnya.
Dia meyakini fuel surcharge untuk emisi karbon bisa mengalahkan penerimaan dari cukai etil alkohol ataupun minuman keras. “Negara kan perlu melakukan upaya lebih kreatif,” tegasnya.
Yang penting, kata Misbakhun, pemerintah bisa memberikan penjelasan dan alasan rasional yang mendasari penerapan kebijakan itu. “Keputusan politik itu sering tidak logis, tetapi harus rasional. Dengan rasionalisasi itu kita bisa menjelaskan kepada publik yang tidak logis bisa masuk akal,” cetusnya.
(akr)