Omnibus Law Sektor Migas Gagal Terjemahkan Putusan MK

Selasa, 25 Februari 2020 - 19:27 WIB
Omnibus Law Sektor Migas Gagal Terjemahkan Putusan MK
Omnibus Law Sektor Migas Gagal Terjemahkan Putusan MK
A A A
JAKARTA - RUU Cipta kerja yang sudah diserahkan pemerintah ke DPR dinilai cenderung menganakemaskan pelaku usaha. Draf RUU Cipta Kerja yang berfokus pada penyederhanaan perizinan, kemudahan berusaha, dan fleksibilitas ketenagakerjaan tak lain adalah karpet merah bagi investasi.

Padahal, demi investasi, pemerintah sebenarnya telah memberikan cukup banyak kepada pelaku usaha, mulai dari tax holiday hingga 20 tahun, penurunan tarif PPh Badan secara bertahap, hingga sejumlah kemudahan lainnya.

Sementara, di draf Omnibus Law sektor ESDM, pemerintah berencana menambah insentif berupa pengenaan royalti sebesar 0% dan perpanjangan jangka waktu usaha tambang hingga seumur tambang bagi pelaku usaha yang melakukan hilirisasi.

"Tanpa menghitung ulang keseluruhan proses bisnis dan efek bergandanya, kebijakan pemerintah bisa melanggengkan oligarki dan memperparah ketimpangan," ungkap Direktur Eksekutif Center for Energy Policy Kholid Syeirazi dalam diskusi "RUU Omnibus Law Cipta Kerja: Kemana dan Buat Apa (Perspektif Ekonomi, Ketenagakerjaan, dan Energi)", di Jakarta, Selasa (25/2/2020).

Arah dari Omnibus Law Cipta Kerja adalah resentralisasi kewenangan oleh Pemerintah Pusat untuk membuldozer seluruh hambatan investasi. Di pertambangan minerba, wewenang penerbitan IUP oleh kepala daerah dipotong, diambil alih oleh Pemerintah Pusat dengan Perizinan Berusaha. Di pertambangan migas, Perizinan Berusaha berlaku untuk BUMN-K, tetapi tidak jelas alamatnya.

"Apakah Pertamina sebagai holding BUMN energi, atau SKK Migas yang dirombak statusnya, atau BUMN yang sama sekali baru?" tuturnya.

Menurut Kholid, draf RUU Cipta Kerja sektor migas gagal menerjemahkan norma putusan MK dalam rumusan yang solid. Pola pengusahaan tidak jelas menganut pola B2B (Business to Business) sebagaimana dimandatkan MK atau juga membuka peluang G2B (Government to Business) sebagaimana berlaku sekarang.

Kholid menegaskan, kebutuhan terhadap investasi bisa dipahami untuk menggenjot pertumbuhan, tetapi tidak boleh menganakemaskan pelaku usaha dengan beragam fasilitas dan proteksi. Kholid menyinggung langkah kurang tepat Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memaksa harga gas industri turun di level USD6 per MMBTU dengan mengurangi porsi bagian negara dalam bagi hasil.

"Kebijakan yang diharapkan efektif pada April 2020 ini tak lain adalah bentuk subsidi negara kepada industri," tandasnya.

Jika Pemerintah memaksakan harga gas bumi di level USD6 per MMBTU, maka industri hulu migas bakal sekarat. Dengan harga keekonomian gas sekitar USD6-9 per MMBTU, tidak akan ada operator yang mau mengembangkan gas bumi jika harganya dipatok rugi.

"Di hilir, infrastruktur gas tidak akan berkembang karena cekaknya margin, yang berdampak negatif bagi keberlanjutan program pengarusutamaan gas bumi secara keseluruhan," imbuhnya.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6879 seconds (0.1#10.140)