Bank Sentral AS Pangkas Bunga, BI: Ini yang Ditunggu Pasar
A
A
A
JAKARTA - Kepala Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah mengatakan, penurunan suku bunga oleh bank sentral AS The Fed merupakan langkah yang memang ditunggu pasar untuk mengantisipasi kemungkinan merosotnya ekonomi AS yang cukup dalam.
Hal ini mengingat penyebaran virus corona COVID-19 yang sudah menimbulkan risiko pandemic dan akan memangkas pertumbuhan pertumbuhan ekonomi global yang pada giliranya akan memukul ekonomi AS melalui baik global supply chain maupun konsumsi dan investasi di AS.
"Pemangkasan Fed Fund Rate (FFR) 50 bps meskipun menimbulkan aksi jual di pasar saham AS karena pasar menilai langkah The Fed tersebut belum cukup dengan narasi yang kurang tegas, namun di pasar Asia mendorong harga saham dan obligasi," kata Nanang saat dihubungi di Jakarta, Rabu (4/3/2020). (Baca Juga: The Fed Pangkas Suku Bunga Acuan, Sri Mulyani Pede Aliran Modal Asing Deras )
Hal tersebut dipicu mengalirnya kembali dana asing, termasuk ke Indonesia. Sejumlah investor asing termasuk Real Money Investor mulai kembali membeli Surat Utang Negara (SUN) Indonesia.
"Akibatnya yield SUN Rabu ini turun signifikan. SUN seri FR 82 (benchmark 10 th) turun drastis dari 6,77% ke 6,54% dan terakhir closing di 6,45%," jelas dia.
Menurut Nanang, ada dua alasan yakni pertama dengan yield US Treasury Bond 10 th menyentuh 0,90% menjadikan spread dengan yield SUN kita melebar menjadi 570 bps.
Kedua, investor mengantisipasi penurunan suku bunga kebijakan di Indonesia sehingga berusaha me lock up yield yang saat ini masih tinggi (6,45%), yang diperkirakan akan terus turun ke 6,0%.
"Sebagaimana kami sampaikan sebelumnya, pelepasan SUN pada sejak pekan terakhir Januari 2020 pada saat mulai mewabahnya virus corona merupakan aksi untuk menyelamatkan aset (play to safety) oleh investor portofolio asing ke aset yang dianggap aman seperti US Treasury Bond, tanpa melihat tinggi nya imbal hasil. Itu hal yang wajar pada saat kondisi pasar panik," paparnya.
Tetapi pada titik tertentu investor akan kembali ke perbedaan imbal hasil. Apalagi bila bank sentral negara maju terus merespon dengan penurunan suku bunga dan menggelontorkan likuiditas seperti yang saat ini dilakukan ECB dan BOJ maka likuiditas global akan kembali berlimpah yang tentunya perlu diversifikasi portofolio.
Nanang menjelaskan, aliran modal masuk ke SUN Rabu (4/3) tentunya mendorong juga pasokan valas ke pasar sehingga Rupiah menguat. Bank Indonesia berada di pasar valas secara terukur terutama pada waktu waktu di mana pasar mengalami mismatch pasokan dan permintaan valas.
Sementara karena arus modal asing ke pasar SUN cukup besar maka BI tidak berada di pasar namun tetap stay alert dan siap merespon karena sentimen pasar dalam kondisi saat ini bida berubah sangat cepat dalam hitungan jam.
Hal ini mengingat penyebaran virus corona COVID-19 yang sudah menimbulkan risiko pandemic dan akan memangkas pertumbuhan pertumbuhan ekonomi global yang pada giliranya akan memukul ekonomi AS melalui baik global supply chain maupun konsumsi dan investasi di AS.
"Pemangkasan Fed Fund Rate (FFR) 50 bps meskipun menimbulkan aksi jual di pasar saham AS karena pasar menilai langkah The Fed tersebut belum cukup dengan narasi yang kurang tegas, namun di pasar Asia mendorong harga saham dan obligasi," kata Nanang saat dihubungi di Jakarta, Rabu (4/3/2020). (Baca Juga: The Fed Pangkas Suku Bunga Acuan, Sri Mulyani Pede Aliran Modal Asing Deras )
Hal tersebut dipicu mengalirnya kembali dana asing, termasuk ke Indonesia. Sejumlah investor asing termasuk Real Money Investor mulai kembali membeli Surat Utang Negara (SUN) Indonesia.
"Akibatnya yield SUN Rabu ini turun signifikan. SUN seri FR 82 (benchmark 10 th) turun drastis dari 6,77% ke 6,54% dan terakhir closing di 6,45%," jelas dia.
Menurut Nanang, ada dua alasan yakni pertama dengan yield US Treasury Bond 10 th menyentuh 0,90% menjadikan spread dengan yield SUN kita melebar menjadi 570 bps.
Kedua, investor mengantisipasi penurunan suku bunga kebijakan di Indonesia sehingga berusaha me lock up yield yang saat ini masih tinggi (6,45%), yang diperkirakan akan terus turun ke 6,0%.
"Sebagaimana kami sampaikan sebelumnya, pelepasan SUN pada sejak pekan terakhir Januari 2020 pada saat mulai mewabahnya virus corona merupakan aksi untuk menyelamatkan aset (play to safety) oleh investor portofolio asing ke aset yang dianggap aman seperti US Treasury Bond, tanpa melihat tinggi nya imbal hasil. Itu hal yang wajar pada saat kondisi pasar panik," paparnya.
Tetapi pada titik tertentu investor akan kembali ke perbedaan imbal hasil. Apalagi bila bank sentral negara maju terus merespon dengan penurunan suku bunga dan menggelontorkan likuiditas seperti yang saat ini dilakukan ECB dan BOJ maka likuiditas global akan kembali berlimpah yang tentunya perlu diversifikasi portofolio.
Nanang menjelaskan, aliran modal masuk ke SUN Rabu (4/3) tentunya mendorong juga pasokan valas ke pasar sehingga Rupiah menguat. Bank Indonesia berada di pasar valas secara terukur terutama pada waktu waktu di mana pasar mengalami mismatch pasokan dan permintaan valas.
Sementara karena arus modal asing ke pasar SUN cukup besar maka BI tidak berada di pasar namun tetap stay alert dan siap merespon karena sentimen pasar dalam kondisi saat ini bida berubah sangat cepat dalam hitungan jam.
(ind)