Tak Produktif, 40 Persen Dana APBD Malah Terparkir di BPD

Kamis, 05 Maret 2020 - 07:45 WIB
Tak Produktif, 40 Persen Dana APBD Malah Terparkir di BPD
Tak Produktif, 40 Persen Dana APBD Malah Terparkir di BPD
A A A
SIAPA yang tak geram jika dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan atau untuk menyejahterakan rakyat malah diparkir di bank? Jumlahnya pun bisa bikin mata melotot, Rp220 triliun. Itulah tumpukan dana pembangunan daerah yang malah disimpan di perbankan, khususnya di bank pembangunan daerah (BPD). Fakta itu terungkap saat Rakornas Investasi 2020 digelar oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 20 Februari lalu. Acara ini dihadiri oleh Presiden Jokowi, para gubernur dan bupati/wali kota, serta para menteri di Kabinet Indonesia Maju.

Sepanjang Oktober–November 2019 lalu, menurut Presiden Jokowi, jumlah dana APBD yang mengendap di bank-bank daerah mencapai lebih dari Rp200 triliun. Meski pada Desember 2019 jumlahnya turun menjadi Rp110 triliun, tetap saja itu masih sangat gede menurut Jokowi. Begitu besarnya dana yang tidak atau belum digunakan untuk membangun daerah. “Ini jelas tidak akan memengaruhi ekonomi daerah karena disimpan di bank,” kata Jokowi. Nah, jika ekonomi daerah tidak bergerak, pertumbuhan ekonomi juga tidak mampu terdorong, apalagi melesat lebih tinggi.

Dari sisi kacamata pemerintah, dana yang disimpan di bank daerah membuat dana itu menjadi idle alias tidak produktif. Lain halnya dengan BPD, dana APBD yang disimpan pemerintah daerah (pemda) ini jadi oksigen yang bisa membuat BPD hidup. Sebagai gambaran, menurut Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), dana pihak ketiga (DPK) yang ada di BPD seluruh Indonesia secara kumulatif per September 2019 mencapai Rp576,53 triliun. Jika Rp220 triliun di antaranya berasal dari pemda, itu artinya sekitar 40% dana yang disimpan di BPD berasal dari dana APBD.

Begitu besarnya dana yang disimpan pemda ke BPD juga jadi perhatian Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Menurut mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) ini, ada pemda yang menyimpan APBD hingga Rp2 triliun. Itu terjadi, kata Mendagri, karena beberapa pemda merasa lebih aman menyimpan uang APBD di bank daripada menggunakannya untuk kegiatan ekonomi atau masyarakat di daerahnya.

Kondisi ini diakui oleh Direktur Utama PT BPD Banten Tbk. Fahmi Bagus Mahesa. Ia mengatakan pertumbuhan simpanan bank daerah yang dipimpinnya itu memang ditopang dari simpanan pemda. Sementara, Direktur Keuangan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk. Ferdian Satyanugraha menjelaskan bahwa komposisi dana simpanan di Bank Jatim sepanjang 2019 terdiri dari 61% dana ritel dan sisanya 31% merupakan dana pemda.

Kredit Melesat


Fahmi Bagus menjelaskan bahwa meski banyak dana pemda yang tersimpan di BPD, keberadaan dana tersebut tak akan bertahan lama. Sebab, ada dana perimbangan yang sudah masuk dalam APBD sehingga pada pengujung tahun akan terus keluar untuk meningkatkan serapan APBD. Itu sebabnya jumlah dana pemda yang ada di BPD pada Desember 2019 turun drastis. Nah, saat itulah sejumlah bank daerah mulai memupuk dana ritel.

Akhir tahun memang menjadi momen yang harus diantisipasi BPD. Risiko kekeringan likuiditas menghantui. Sesuai siklusnya, menurut Direktur Pemasaran PT BPD Sumatra Selatan dan Bangka Belitung Antonius Prawiro Argo, pemda kerap menarik dana besar-besaran. Rutinitas inilah yang memang harus diantisipasi oleh BPD.

Kinerja BPD seluruh Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan. Fakta itu bisa dilihat dari beberapa indikator yang memang memperlihatkan pertumbuhan yang cukup berarti. Sebut saja misalnya (DPK). Catatan Asbanda memperlihatkan bahwa DPK dari BPD seluruh Indonesia pada September 2019 mencapai Rp570,59 triliun atau mengalami peningkatan sebesar 12,93% dibanding posisi September 2018 yang mencapai Rp505,27 triliun.

Dari sisi aset, pada periode yang sama, aset BPD telah mencapai Rp733,37 triliun alias meningkat sebesar 12,57% dibandingkan posisi September 2018 yang mencapai Rp651,49 triliun. Dibandingkan perbankan lainnya, aset BPD secara nasional ini menempati peringkat lima dalam perbankan nasional setelah BRI, Mandiri, BCA, dan BNI. Kinerja kredit BPD juga menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik. Pada September 2019, posisi kredit BPD mencapai Rp449,21 triliun atau meningkat sebesar 10,21% dibandingkan posisi September 2018 sebesar Rp405,74 triliun. Pertumbuhan kredit BPD ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata perbankan nasional yang hanya tumbuh di kisaran 6% saja.

Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede mengatakan kredit BPD terbukti tumbuh cukup baik pada 2019. Kinerja ciamik ini diproyeksikan masih akan terjadi pada 2020. Namun begitu, bank daerah tetap harus berhati-hati dalam menyalurkan kredit mengingat risiko yang masih tinggi.

Sebut saja seperti di sektor konstruksi, NPL BPD mencapai sekitar 8% atau lebih tinggi dibandingkan NPL industri per Oktober 2019 sebesar 3,66%. Tingginya NPL ini menandakan bahwa meski pertumbuhannya cukup tinggi, risikonya juga relatif cukup tinggi. Menelisik data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio NPL BPD per November 2019 berada di level 2,98%. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya angka NPL tersebut baru mencapai 2,68%. Jika dirinci berdasarkan jenisnya, NPL kredit produktif BPD melonjak menjadi 7,54% dari sebelumnya yang hanya 6,51%.

OJK pun mencatat beberapa sektor yang menjadi penyumbang besar kredit bermasalah di bank daerah. Beberapa di antaranya berasal dari sektor pertambangan sebesar 12,34%, penyediaan akomodasi dan makanan/minuman 13,45%, real estate 10,92%, perdagangan 9,04%, serta konstruksi 8,11%. Jadi, BPD harus tetap waspada. (Eko Edhi Caroko)
(ysw)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4679 seconds (0.1#10.140)