Harga Gas Pembangkit Listrik Turun USD6/MMBTU, PLN Hemat Rp18,58 Triliun
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong penurunan harga gas sebesar USD6 per MMBTU berlaku untuk pembangkit listrik. Pasalnya apabila penurunan harga gas tersebut menyasar pembangkit listrik, maka kinerja keuangan PT PLN (Persero) akan semakin sehat.
“Kalau harga gas ini bisa diubah, maka akan sangat membantu keuangan PLN. Sebab, turunnya harga gas akan sangat berpengaruh terhadap besaran Biaya Pokok Produksi (BPP),” ujar Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana, di Jakarta, Jumat (6/3/2020).
Menurut dia tahun ini PLN mengganggarkan sebesar Rp359,03 triliun untuk penyediaan BPP. Adapun sebesar 41% nya atau Rp146,67 triliun digunakan perseroan untuk belanja bahan bakar.
Sedangkan porsi belanja bahan bakar gas pembangkit listrik PLN mencapai sebesar 38,36% atau Rp60,98 triliun. Adapun alokasi belanja bahan bakar gas dalam penyediaan BPP porsinya paling besar dibandingkan bahan bakar lain.
Rinciannya, alokasi belanja bahan bakar batu bara sebesar Rp56,26 triliun, bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar nabati (BBN) sebesar Rp24,17 triliun dan bahan bakar dari energi baru terbarukan (EBT) sebesar Rp5,24 triliun.
Meski begitu, listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar gas tidak sebesar batu bara. Rida menyebut, kapasitas daya listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar gas sebesar 65,24 terawatt hours (Twh) atau mencapai 21,28% dari total kapasitas yang dihasilkan dari berbagai macam pembangkit.
Adapun jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan kapasitas tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar batu bara atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang mencapai 187,52 Twh.
“Oleh karena itu, turunnya harga gas sangat berpengaruh terhadap BPP sehingga menghemat keuangan PLN dan pada ujungnya mengurangi beban subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” kata dia.
Rida mengungkapkan, apabila harga gas pembangkit listrik diturunkan sebesar USD6 per MMBTU maka penghematan yang dihasilkan PLN mencapai Rp18,58 triliun. Efisiensi tersebut diperoleh dari penghematan kompensasi sebesar 14,2 triliun dan subsidi sebesar Rp4,38 triliun.
Penghematan itu dihitung berdasarkan asumsi harga gas pembangkit tahun ini sebesar USD8,39 per MMBTU. Dengan demikan, kata dia, akan terjadi efisiensi USD2,39 per MMBTU apabila harga gas diturunkan menjadi USD6 per MMBTU kemudian dikalikan dengan volume kebutuhan gas di masing-masing pembangkit.
“Jadi kalau dari sisi hilirnya yaitu pengguna seperti PLN jelas akan terjadi penghematan. Tapi kalau harganya tetap maka tidak akan terjadi penghematan,” kata dia.
Lebih lanjut Rida mengatakan bahwa penghematan sebesar Rp18,58 triliun tersebut belum dihitung dari rencana PLN melaksanakan program konversi pembangkit dari BBM ke gas sebanyak 52 pembangkit. Pihaknya menandaskan, apabila penurunan harga gas termasuk 52 pembangkit tersebut maka penghematan PLN akan lebih dahsyat lagi.
“Kalau itu diintervensi lebih dahsyat lagi. Penghematan bisa dua kali lipat,” kata dia.
Rida pun berharap penurunan harga gas untuk pembangkit listrik dimasukkan ke dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016. Saat ini, kata dia, rencana penurunan harga gas untuk pembangkit listrik sedang dikaji di Kementerian Keuangan. “Lagi dihitung dulu dampaknya ke penerimaan negara oleh Kemenkeu,” kata dia.
Menteri ESDM Arifin Tasrif sempat menyatakan bahwa akan mengusahakan supaya penurunan harga gas berlaku untuk sektor pembangkitan PLN. Selain membuat tarif lebih murah, penurunan harga gas akan membuat PLN lebih efisien. “Insyaallah kita usahakan jadi USD6 per MMBTU,” kata dia.
Sedangkan Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Guniwang Kartasasmita sebelumnya mengungkapkan, sasaran penurunan harga gas tidak hanya untuk tujuh sektor industri melainkan akan diperluas ke sektor lain. Bahkan pihaknya menyebut sektor pembangkitan PLN juga bakal masuk dalam daftar penurunan harga gas.
“Nanti ada beberapa penambahan di Perpres yang baru. PLN kami masukkan,” kata dia.
“Kalau harga gas ini bisa diubah, maka akan sangat membantu keuangan PLN. Sebab, turunnya harga gas akan sangat berpengaruh terhadap besaran Biaya Pokok Produksi (BPP),” ujar Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana, di Jakarta, Jumat (6/3/2020).
Menurut dia tahun ini PLN mengganggarkan sebesar Rp359,03 triliun untuk penyediaan BPP. Adapun sebesar 41% nya atau Rp146,67 triliun digunakan perseroan untuk belanja bahan bakar.
Sedangkan porsi belanja bahan bakar gas pembangkit listrik PLN mencapai sebesar 38,36% atau Rp60,98 triliun. Adapun alokasi belanja bahan bakar gas dalam penyediaan BPP porsinya paling besar dibandingkan bahan bakar lain.
Rinciannya, alokasi belanja bahan bakar batu bara sebesar Rp56,26 triliun, bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar nabati (BBN) sebesar Rp24,17 triliun dan bahan bakar dari energi baru terbarukan (EBT) sebesar Rp5,24 triliun.
Meski begitu, listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar gas tidak sebesar batu bara. Rida menyebut, kapasitas daya listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar gas sebesar 65,24 terawatt hours (Twh) atau mencapai 21,28% dari total kapasitas yang dihasilkan dari berbagai macam pembangkit.
Adapun jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan kapasitas tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar batu bara atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang mencapai 187,52 Twh.
“Oleh karena itu, turunnya harga gas sangat berpengaruh terhadap BPP sehingga menghemat keuangan PLN dan pada ujungnya mengurangi beban subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” kata dia.
Rida mengungkapkan, apabila harga gas pembangkit listrik diturunkan sebesar USD6 per MMBTU maka penghematan yang dihasilkan PLN mencapai Rp18,58 triliun. Efisiensi tersebut diperoleh dari penghematan kompensasi sebesar 14,2 triliun dan subsidi sebesar Rp4,38 triliun.
Penghematan itu dihitung berdasarkan asumsi harga gas pembangkit tahun ini sebesar USD8,39 per MMBTU. Dengan demikan, kata dia, akan terjadi efisiensi USD2,39 per MMBTU apabila harga gas diturunkan menjadi USD6 per MMBTU kemudian dikalikan dengan volume kebutuhan gas di masing-masing pembangkit.
“Jadi kalau dari sisi hilirnya yaitu pengguna seperti PLN jelas akan terjadi penghematan. Tapi kalau harganya tetap maka tidak akan terjadi penghematan,” kata dia.
Lebih lanjut Rida mengatakan bahwa penghematan sebesar Rp18,58 triliun tersebut belum dihitung dari rencana PLN melaksanakan program konversi pembangkit dari BBM ke gas sebanyak 52 pembangkit. Pihaknya menandaskan, apabila penurunan harga gas termasuk 52 pembangkit tersebut maka penghematan PLN akan lebih dahsyat lagi.
“Kalau itu diintervensi lebih dahsyat lagi. Penghematan bisa dua kali lipat,” kata dia.
Rida pun berharap penurunan harga gas untuk pembangkit listrik dimasukkan ke dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016. Saat ini, kata dia, rencana penurunan harga gas untuk pembangkit listrik sedang dikaji di Kementerian Keuangan. “Lagi dihitung dulu dampaknya ke penerimaan negara oleh Kemenkeu,” kata dia.
Menteri ESDM Arifin Tasrif sempat menyatakan bahwa akan mengusahakan supaya penurunan harga gas berlaku untuk sektor pembangkitan PLN. Selain membuat tarif lebih murah, penurunan harga gas akan membuat PLN lebih efisien. “Insyaallah kita usahakan jadi USD6 per MMBTU,” kata dia.
Sedangkan Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Guniwang Kartasasmita sebelumnya mengungkapkan, sasaran penurunan harga gas tidak hanya untuk tujuh sektor industri melainkan akan diperluas ke sektor lain. Bahkan pihaknya menyebut sektor pembangkitan PLN juga bakal masuk dalam daftar penurunan harga gas.
“Nanti ada beberapa penambahan di Perpres yang baru. PLN kami masukkan,” kata dia.
(akr)