IHSG Rontok, Ekonom Sebut Belum Berpotensi Krisis Keuangan
A
A
A
JAKARTA - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan dagang Kamis (12/3/2020) jeblok 5,01% atau 258,36 poin ke level 4.896,75. Jika dibandingkan dengan awal 2020, IHSG telah ambruk 22,28% (year to date), dimana awal tahun alias 2 Januari 2020, IHSG saat itu berada di 6.283,58.
Meski turun dahsyat, namun analis saham dari Reliance Sekuritas, Nafan Aji Gusta Utama, menilai jebloknya IHSG belum bisa disebut sebagai krisis pasar keuangan.
Analisa dia, kondisi pasar saham yang rontok 5% dikarenakan kepanikan investor usai pengumuman dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengenai virus corona (Covid-19) yang dinyatakan sebagai pandemi global.
"Kejatuhan IHSG sampai 5% belum bisa dibilang krisis keuangan. Karena IHSG rontok diakibatkan perspektif WHO, wabah pandemi virus corona ini dianggap bukan hanya krisis kesehatan masyarakat, namun ini adalah krisis yang akan menyentuh setiap sektor," ujar Nafan saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Kamis (12/3/2020).
Hal senada juga diucapkan oleh ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudisthira. Ia mengatakan kejatuhan IHSG disebabkan kepanikan investor dan bersifat sementara. Selain itu, anjloknya IHSG juga disebabkan oleh rasio pembiayaan utang yang tinggi.
"Kalau dibilang resesi, belum. Kejatuhan IHSG disebabkan karena 38% surat urang dikuasai oleh investor asing dan mereka melepasnya. Terjadi kepanikan di pasar keuangan dan ini cukup berisiko bagi ekonomi Indonesia," katanya.
Meski turun dahsyat, namun analis saham dari Reliance Sekuritas, Nafan Aji Gusta Utama, menilai jebloknya IHSG belum bisa disebut sebagai krisis pasar keuangan.
Analisa dia, kondisi pasar saham yang rontok 5% dikarenakan kepanikan investor usai pengumuman dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengenai virus corona (Covid-19) yang dinyatakan sebagai pandemi global.
"Kejatuhan IHSG sampai 5% belum bisa dibilang krisis keuangan. Karena IHSG rontok diakibatkan perspektif WHO, wabah pandemi virus corona ini dianggap bukan hanya krisis kesehatan masyarakat, namun ini adalah krisis yang akan menyentuh setiap sektor," ujar Nafan saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Kamis (12/3/2020).
Hal senada juga diucapkan oleh ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudisthira. Ia mengatakan kejatuhan IHSG disebabkan kepanikan investor dan bersifat sementara. Selain itu, anjloknya IHSG juga disebabkan oleh rasio pembiayaan utang yang tinggi.
"Kalau dibilang resesi, belum. Kejatuhan IHSG disebabkan karena 38% surat urang dikuasai oleh investor asing dan mereka melepasnya. Terjadi kepanikan di pasar keuangan dan ini cukup berisiko bagi ekonomi Indonesia," katanya.
(ven)