Konglomerasi media fenomena global
A
A
A
Sindonews.com – Kepemilikan silang sejumlah media tidak harus selalu ditanggapi negatif. Kepemilikan silang atau konglomerasi media adalah fenomena yang tidak dapat dihindari.
Saat ini fenomena ini juga terjadi di banyak negara maju. Penyataan itu dikemukakan Tjipta Lesmana saat memberikan kesaksian sebagai ahli dalam sidang uji materi Pasal 18 ayat 1 dan Pasal 34 ayat 4 UUNo32/2002 tentang Penyiaran di Mahkamah Konstitusi, Kamis 5 April 2012, pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) itu mengungkapkan tidak perlu ada sentimen berlebihan menyikapi perkembangan media dari segi bisnis ini.
”Konglomerasi ataupun cross ownership tidak dapat dibendung. Ini sudah menjadi fenomena global. Teori sistem mengatakan media memang tidak bisa berdiri sendiri,” ungkapnya.
Dia mencontohkan, di negara- negara Barat, persoalan kepemilikan media sudah menjadi diskursus yang cukup panjang. Di Amerika Serikat terdapat puluhan ribu media massa baik cetak maupun elektronik. Media-media ini dimiliki secara silang hanya oleh 10 perusahaan besar. ”Itu fakta yang terjadi.Pemerintah Amerika Serikat awalnya bersikap keras terhadap persoalan ini, tapi akhirnya tidak bisa seperti itu,”tuturnya.
Meski begitu,Tjipta mengatakan, bukan serta-merta dia setuju sepenuhnya terhadap konglomerasi yang merajalela. Hanya saja,perlu adanya perubahan yang menyeluruh dalam tata sistem perekonomian.Hal inilah yang menurutnya memberi dampak atas terjadi apa yang disebut sebagai konglomerasi media itu.
”Konglomerasi media tidak selalu negatif,banyak segi positifnya, yaitu adanya efisiensi produksi. Sikap negatif itu muncul hanya dikarenakan munculnya rasa ketakutan ketakutan akan kepentingan para pemodal.Yang harus dibenahi justru adalah sistem ekonomi kita yang sudah terlalu liberal,”terangnya.
Anggota Komisi I DPR Yorris Yawerai mengatakan, konglomerasi media sama sekali tidak berdampak negatif bagi negara demokrasi. Justru pengelolaan media yang profesional harus didukung sistem yang kuat dan kokoh. ”Konglomerasi media itu tentu tidak masalah dalam negara demokrasi. Malah di negara- negara maju itu didorong agar media yang profesional semakin terbangun melalui pengelolaan dan manajemen yang kuat,”ungkapnya.
Politikus Partai Golkar ini menambahkan, dalam UU juga tidak ada larangan terhadap pengelolaan media yang profesional dan menguntungkan secara bisnis. Media hanya dituntut bersaing menyajikan informasi akurat dan pada gilirannya masyarakat yang akan menilai.
”UU kita kan nggak melarang adanya pengelolaan media oleh konglomerat. Media justru semakin kokoh sebagai pilar demokrasi dan menjadi pembimbing bagi masyarakat,”tegasnya.
Saat ini fenomena ini juga terjadi di banyak negara maju. Penyataan itu dikemukakan Tjipta Lesmana saat memberikan kesaksian sebagai ahli dalam sidang uji materi Pasal 18 ayat 1 dan Pasal 34 ayat 4 UUNo32/2002 tentang Penyiaran di Mahkamah Konstitusi, Kamis 5 April 2012, pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) itu mengungkapkan tidak perlu ada sentimen berlebihan menyikapi perkembangan media dari segi bisnis ini.
”Konglomerasi ataupun cross ownership tidak dapat dibendung. Ini sudah menjadi fenomena global. Teori sistem mengatakan media memang tidak bisa berdiri sendiri,” ungkapnya.
Dia mencontohkan, di negara- negara Barat, persoalan kepemilikan media sudah menjadi diskursus yang cukup panjang. Di Amerika Serikat terdapat puluhan ribu media massa baik cetak maupun elektronik. Media-media ini dimiliki secara silang hanya oleh 10 perusahaan besar. ”Itu fakta yang terjadi.Pemerintah Amerika Serikat awalnya bersikap keras terhadap persoalan ini, tapi akhirnya tidak bisa seperti itu,”tuturnya.
Meski begitu,Tjipta mengatakan, bukan serta-merta dia setuju sepenuhnya terhadap konglomerasi yang merajalela. Hanya saja,perlu adanya perubahan yang menyeluruh dalam tata sistem perekonomian.Hal inilah yang menurutnya memberi dampak atas terjadi apa yang disebut sebagai konglomerasi media itu.
”Konglomerasi media tidak selalu negatif,banyak segi positifnya, yaitu adanya efisiensi produksi. Sikap negatif itu muncul hanya dikarenakan munculnya rasa ketakutan ketakutan akan kepentingan para pemodal.Yang harus dibenahi justru adalah sistem ekonomi kita yang sudah terlalu liberal,”terangnya.
Anggota Komisi I DPR Yorris Yawerai mengatakan, konglomerasi media sama sekali tidak berdampak negatif bagi negara demokrasi. Justru pengelolaan media yang profesional harus didukung sistem yang kuat dan kokoh. ”Konglomerasi media itu tentu tidak masalah dalam negara demokrasi. Malah di negara- negara maju itu didorong agar media yang profesional semakin terbangun melalui pengelolaan dan manajemen yang kuat,”ungkapnya.
Politikus Partai Golkar ini menambahkan, dalam UU juga tidak ada larangan terhadap pengelolaan media yang profesional dan menguntungkan secara bisnis. Media hanya dituntut bersaing menyajikan informasi akurat dan pada gilirannya masyarakat yang akan menilai.
”UU kita kan nggak melarang adanya pengelolaan media oleh konglomerat. Media justru semakin kokoh sebagai pilar demokrasi dan menjadi pembimbing bagi masyarakat,”tegasnya.
()