Kurang tenaga ahli, perajin logam sulit bersaing
A
A
A
Sindonews.com - Industri kerajinan logam baik tembaga, kuningan, maupun perak terus menurun. Para perajin sulit memenuhi bersaing karena kekurangan tenaga terampil. Kondisi ini seperti yang dialami sejumlah perajin di Boyolali, Yogyakarta dan Tegal.
Manto, 55, salah satu perajin tembaga dan kuninga di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo, Boyolali mengatakan, secara umum pesanan yang datang cukup banyak. Namun pihaknya kesulitan melayani mengingat tenaga ahli yang membantu masih terbatas.
Dengan 60 tenaga kerja, usahanya hanya mampu merampungkan 90 karya kerajinan logam seperti bak mandi, hiasan air mancur dan lampu hias tiap bulannya. Barang pesanan banyak datang dari Amerika Serikat, Australia, Belgia, Perancis, Brunei Darussalam dan Malaysia. “Padahal order yang datang rata-rata tiap bulan di atas 100 pesanan,” kata Manto, kemarin.
Karena kesulitan menyelesaikan tepat waktu akibat terbatasnya tenaga kerja, banyak pesanan terpaksa dilempar ke luar daerah. Padahal kerajinan tembaga dan kuningan asal Tumang mempunyai corak yang khas, sehingga keberadaannya hampir tidak ada saingannya di pasaran luar negeri.
Corak yang berbeda justru banyak diminati konsumen. Untuk hiasan air mancur misalnya, dijual Rp4 juta, bak mandi kuningan Rp8,9 juta, lampu hias Rp200 ribu hingga Rp1 juta dan pintu Rp7,5 juta. “Kerajinan seperti ini memang butuh ketrampilan khusus,” tegasnya.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Boyolali Agus Wiyono mengakui, kelemahan utama industri tembaga terletak pada tenaga ahli. “Tidak ada transfer keahlian dari generasi tua kepada generasi muda,” tegas Agus.
Dari pembicaraan antara Pemkab dan DPRD Boyolali, diperoleh kesepakatan yakni memberikan fasilitas pelatihan agar tenaga terampil di bidang itu dapat dihasilkan.
Di Kotagede Yogyakarta, perajin perak juga mengeluhkan hal serupa.Sampai saat ini para perajin tatah logam perak di Kotagede sebagian besar sudah berusia lanjut, dan generasi penerusnya belum disiapkan. Sedangkan generasi mudanya tidak tertarik menjadi perajin tatah perak, karena upahnya kecil, tidak sebanding dengan keahlian yang mereka miliki, apalagi sekarang pemasaran produk ini makin sepi.
“Para perajin kecil perak yang masih berusia muda banyak beralih pekerjaan, di antaranya menjadi tukang batu, penarik becak, membuka usaha maupun pekerjaan lain yang upahnya lebih menjanjikan,” kata Wakil Ketua Asosiasi Perajin dan Pengusaha Kecil Mataram Yogyakarta Pandit Anggoro Triprasetyo.
Menurut Wakil Ketua Asosiasi Perajin dan Pengusaha Kecil Mataram (Asperam) Yogyakarta ini, meskipun banyak wisatawan yang datang pada saat libur panjang akhir pekan, namun belum mampu mendongkrak penjualan produk kerajinan perak.
“Sementara itu, para perajin kecil bergantung pada pesanan perusahaan besar produk kerajinan perak yang memiliki toko di sentra kerajinan perak di Kotagede,” katanya.
Menurut dia, untuk mengantisipasi sepinya pembeli, mestinya pemerintah setempat mengupayakan mempromosikan kembali sentra kerajinan perak Kotagede sebagai bagian dari tujuan wisata di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. (ank)
Manto, 55, salah satu perajin tembaga dan kuninga di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo, Boyolali mengatakan, secara umum pesanan yang datang cukup banyak. Namun pihaknya kesulitan melayani mengingat tenaga ahli yang membantu masih terbatas.
Dengan 60 tenaga kerja, usahanya hanya mampu merampungkan 90 karya kerajinan logam seperti bak mandi, hiasan air mancur dan lampu hias tiap bulannya. Barang pesanan banyak datang dari Amerika Serikat, Australia, Belgia, Perancis, Brunei Darussalam dan Malaysia. “Padahal order yang datang rata-rata tiap bulan di atas 100 pesanan,” kata Manto, kemarin.
Karena kesulitan menyelesaikan tepat waktu akibat terbatasnya tenaga kerja, banyak pesanan terpaksa dilempar ke luar daerah. Padahal kerajinan tembaga dan kuningan asal Tumang mempunyai corak yang khas, sehingga keberadaannya hampir tidak ada saingannya di pasaran luar negeri.
Corak yang berbeda justru banyak diminati konsumen. Untuk hiasan air mancur misalnya, dijual Rp4 juta, bak mandi kuningan Rp8,9 juta, lampu hias Rp200 ribu hingga Rp1 juta dan pintu Rp7,5 juta. “Kerajinan seperti ini memang butuh ketrampilan khusus,” tegasnya.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Boyolali Agus Wiyono mengakui, kelemahan utama industri tembaga terletak pada tenaga ahli. “Tidak ada transfer keahlian dari generasi tua kepada generasi muda,” tegas Agus.
Dari pembicaraan antara Pemkab dan DPRD Boyolali, diperoleh kesepakatan yakni memberikan fasilitas pelatihan agar tenaga terampil di bidang itu dapat dihasilkan.
Di Kotagede Yogyakarta, perajin perak juga mengeluhkan hal serupa.Sampai saat ini para perajin tatah logam perak di Kotagede sebagian besar sudah berusia lanjut, dan generasi penerusnya belum disiapkan. Sedangkan generasi mudanya tidak tertarik menjadi perajin tatah perak, karena upahnya kecil, tidak sebanding dengan keahlian yang mereka miliki, apalagi sekarang pemasaran produk ini makin sepi.
“Para perajin kecil perak yang masih berusia muda banyak beralih pekerjaan, di antaranya menjadi tukang batu, penarik becak, membuka usaha maupun pekerjaan lain yang upahnya lebih menjanjikan,” kata Wakil Ketua Asosiasi Perajin dan Pengusaha Kecil Mataram Yogyakarta Pandit Anggoro Triprasetyo.
Menurut Wakil Ketua Asosiasi Perajin dan Pengusaha Kecil Mataram (Asperam) Yogyakarta ini, meskipun banyak wisatawan yang datang pada saat libur panjang akhir pekan, namun belum mampu mendongkrak penjualan produk kerajinan perak.
“Sementara itu, para perajin kecil bergantung pada pesanan perusahaan besar produk kerajinan perak yang memiliki toko di sentra kerajinan perak di Kotagede,” katanya.
Menurut dia, untuk mengantisipasi sepinya pembeli, mestinya pemerintah setempat mengupayakan mempromosikan kembali sentra kerajinan perak Kotagede sebagai bagian dari tujuan wisata di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. (ank)
()