Industri content provider terancam kolaps
A
A
A
Sindonews.com – Industri konten seluler terancam kolaps dan mati seiring dengan gulung tikarnya sejumlah perusahaan content provider (CP).
Ini dikarenakan ketentuan pemberhentian layanan melalui surat edaran (SE) BRTI N0 177/2011 dan dihentikannya pembayaran oleh operator telekomunikasi sejak Juli 2011. Ketua Umum Indonesian Mobile & Online Content Association (Imoca) Haryawirasma mengatakan, penyedia konten yang hanya tergantung dari broadcast dan SMS premium sudah banyak yang mati dan memberhentikan karyawannya.
“Kalau angka perusahaan yang kolaps, saya kurang tahu persis namun yang jelas, kalau tidak mati ya mengalihkan bisnis lain,”ujar Haryawirasma di Jakarta kemarin.
Sementara, Ketua Umum Indonesian Mobile Multimedia Association (Imma) T Amershah mengungkapkan CP yang gulung tikar banyak dan yang masih hidup pun terpaksa harus mengurangi karyawannya agar tetap bisa bernafas. “Karena enggak bisa promo dan enggak dapat full payment, kecuali dari Indosat. Telkomsel bayar 50 persen, sedangkan operator lainnya 100 persen belum dibayarkan bahkan ada yang sampai dua tahun belum dibayarkan ke CP,”katanya.
Praktisi hukum Sulaiman N Sembiring mengungkapkan, kasus penyedotan pulsa sangat susah pembuktiannya apabila dimasukkan dalam kasus pidana.“ Sesuai dengan UU Telekomunikasi No 6/1999 dan UU Perlindungan Konsumen No 8/1999,seharusnya penyelesaian kasusnya cukup berupa penghentian layanan dan penggantian kerugian pulsa pelanggan,”ungkap dia.
Menurut dia, SE BRTI No 177/2011 tentang Penghentian Sementara Layanan SMS Premium sudah merupakan sanksi administratif yang berat dan memenuhi ketentuan dalam UU Telekomunikasi.
Pakar hukum perdata dari Universitas Indonesia Edmon Makarim mengungkapkan, terhadap suatu hubungan hukum (transaksi) antara pelaku usaha dengan konsumen, harus dilihat ketentuan hukum yang ada dalam UU No 8/1999 Perlindungan konsumen.
Dalam UU Perlindungan Konsumen tidak hanya terdapat kemungkinan gugatan perbuatan melawan hukum kepada pelaku usaha oleh konsumen, melainkan juga ancaman pidana terhadap larangan atau kewajiban yang diberikan dalam UU tersebut.
“Ancaman pemidanaan tersebut dapat berupa kurungan atau denda bersifat alternatif bukan kumulatif,”ujarnya. Edmon mengungkapkan, pulsa adalah satuan pemakaian jasa telekomunikasi bukan barang. Yang terjadi adalah adanya piutang pemakaian jasa yang telah dibayar lumpsum oleh penggunanya. Dengan sistem prabayar, konsumen telah membayar sejumlah uang terlebih dahulu.
Di sini yang terjadi adalah pembayaran lumpsum atas jasa yang belum digunakan atau lebih tepat dikatakan sebagai piutangnya konsumen kepada operator yang dihitung berdasarkan pulsa pemakaian nantinya. Namun, hal tersebut bukan berarti sebagai suatu pemilikan atau penguasaan atas barang.“ Jadi menurut saya, sulit untuk dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur dalam pasal pencurian,”katanya.
Dia juga mengungkapkan, fokus utama perlindungan konsumen selayaknya bukanlah mematikan pelaku usaha melainkan melakukan perlindungan hak-hak konsumen, memperbaiki pelayanan,dan mengganti kerugian.“Namun dalam konteks UU Konsumen, terdapat klausul pemidanaan yang memberikan alternatif denda atau kurungan,”katanya.
Oleh karena itu,dalam konteks tindak pidana korporasi dalam lingkup industri jasa telekomunikasi, tambahnya, maka yang harus dilakukan adalah pemulihan hak si pengguna terlebih dahulu, baru kemudian pemberian sanksi pidana berdasarkan UU Perlindungan konsumen serta sanksi administratif yang ada dalam UU Telekomunikasi.
“Namun karena dalam UU Perlindungan konsumen telah terdapat klausul pemidanaan yang bisa kurungan atau bisa denda,maka saya lebih mendorong berlakunya pidana denda, bukan kurungan. Pada dasarnya, saya lebih mendorong keberlakuan UU Konsumen, bukan KUHP,”jelas Edmon.
Ini dikarenakan ketentuan pemberhentian layanan melalui surat edaran (SE) BRTI N0 177/2011 dan dihentikannya pembayaran oleh operator telekomunikasi sejak Juli 2011. Ketua Umum Indonesian Mobile & Online Content Association (Imoca) Haryawirasma mengatakan, penyedia konten yang hanya tergantung dari broadcast dan SMS premium sudah banyak yang mati dan memberhentikan karyawannya.
“Kalau angka perusahaan yang kolaps, saya kurang tahu persis namun yang jelas, kalau tidak mati ya mengalihkan bisnis lain,”ujar Haryawirasma di Jakarta kemarin.
Sementara, Ketua Umum Indonesian Mobile Multimedia Association (Imma) T Amershah mengungkapkan CP yang gulung tikar banyak dan yang masih hidup pun terpaksa harus mengurangi karyawannya agar tetap bisa bernafas. “Karena enggak bisa promo dan enggak dapat full payment, kecuali dari Indosat. Telkomsel bayar 50 persen, sedangkan operator lainnya 100 persen belum dibayarkan bahkan ada yang sampai dua tahun belum dibayarkan ke CP,”katanya.
Praktisi hukum Sulaiman N Sembiring mengungkapkan, kasus penyedotan pulsa sangat susah pembuktiannya apabila dimasukkan dalam kasus pidana.“ Sesuai dengan UU Telekomunikasi No 6/1999 dan UU Perlindungan Konsumen No 8/1999,seharusnya penyelesaian kasusnya cukup berupa penghentian layanan dan penggantian kerugian pulsa pelanggan,”ungkap dia.
Menurut dia, SE BRTI No 177/2011 tentang Penghentian Sementara Layanan SMS Premium sudah merupakan sanksi administratif yang berat dan memenuhi ketentuan dalam UU Telekomunikasi.
Pakar hukum perdata dari Universitas Indonesia Edmon Makarim mengungkapkan, terhadap suatu hubungan hukum (transaksi) antara pelaku usaha dengan konsumen, harus dilihat ketentuan hukum yang ada dalam UU No 8/1999 Perlindungan konsumen.
Dalam UU Perlindungan Konsumen tidak hanya terdapat kemungkinan gugatan perbuatan melawan hukum kepada pelaku usaha oleh konsumen, melainkan juga ancaman pidana terhadap larangan atau kewajiban yang diberikan dalam UU tersebut.
“Ancaman pemidanaan tersebut dapat berupa kurungan atau denda bersifat alternatif bukan kumulatif,”ujarnya. Edmon mengungkapkan, pulsa adalah satuan pemakaian jasa telekomunikasi bukan barang. Yang terjadi adalah adanya piutang pemakaian jasa yang telah dibayar lumpsum oleh penggunanya. Dengan sistem prabayar, konsumen telah membayar sejumlah uang terlebih dahulu.
Di sini yang terjadi adalah pembayaran lumpsum atas jasa yang belum digunakan atau lebih tepat dikatakan sebagai piutangnya konsumen kepada operator yang dihitung berdasarkan pulsa pemakaian nantinya. Namun, hal tersebut bukan berarti sebagai suatu pemilikan atau penguasaan atas barang.“ Jadi menurut saya, sulit untuk dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur dalam pasal pencurian,”katanya.
Dia juga mengungkapkan, fokus utama perlindungan konsumen selayaknya bukanlah mematikan pelaku usaha melainkan melakukan perlindungan hak-hak konsumen, memperbaiki pelayanan,dan mengganti kerugian.“Namun dalam konteks UU Konsumen, terdapat klausul pemidanaan yang memberikan alternatif denda atau kurungan,”katanya.
Oleh karena itu,dalam konteks tindak pidana korporasi dalam lingkup industri jasa telekomunikasi, tambahnya, maka yang harus dilakukan adalah pemulihan hak si pengguna terlebih dahulu, baru kemudian pemberian sanksi pidana berdasarkan UU Perlindungan konsumen serta sanksi administratif yang ada dalam UU Telekomunikasi.
“Namun karena dalam UU Perlindungan konsumen telah terdapat klausul pemidanaan yang bisa kurungan atau bisa denda,maka saya lebih mendorong berlakunya pidana denda, bukan kurungan. Pada dasarnya, saya lebih mendorong keberlakuan UU Konsumen, bukan KUHP,”jelas Edmon.
()