Bawang merah impor merajalela

Kamis, 31 Mei 2012 - 11:04 WIB
Bawang merah impor merajalela
Bawang merah impor merajalela
A A A


Sindonews.com - Serbuan bawang merah impor semakin menenggelamkan bawang merah lokal di pasar Jawa Tengah (Jateng). Selain harganya lebih murah, kualitas bawang merah impor juga tidak kalah dengan hasil panen lokal.

Di pasar tradisional di Semarang, bawang merah impor lebih banyak disukai masyarakat. Buktinya, ketersediaan barangnya yang lebih cepat habis dibandingkan bawang merah lokal.

“Barang merah impor begitu datang, paling sehari langsung habis terjual. Kalau bawang merah lokal masih bertahan sampai 3 hingga 4 hari,” beber salah satu pedagang di Pasar Peterongan Semarang, Saniyem, kemarin.

Bawang merah impor yang dijualnya merupakan barang dari Filipina. Di Semarang, bawang merah dari Filipina dipasok melalui Pasar Johar Semarang, lalu didistribusikan ke pedagang di berbagai pasar tradisional lainnya.

Saniyem mengutarakan, harga bawang merah impor tersebut saat ini hanya sebesar Rp8.000/kilogram (kg). Sedangkan bawang merah lokal yang sebagian besar dari Brebes harganya jauh lebih mahal, yaitu Rp12.000/kg.

Menurut dia, harga bawang merah lokal belakangan terus mengalami kenaikan cukup signifikan. “Sekitar 10 hari lalu bawang merah dari Brebes harganya masih Rp8.000, tapi sekarang sudah naik menjadi Rp12.000 per kilogram,” imbuhnya.

Tersingkirnya bawang merah lokal ini disadari oleh Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Jateng. Untuk mendorong pengembangan usaha petani bawang merah, organisasi pengusaha tersebut melakukan pendampingan secara langsung terhadap petani bawang merah di Kabupaten Kendal.

“Pendampingan ini dimaksudkan meningkatkan daya saing produk bawang merah lokal dalam menghadapi serbuan produk impor komoditas bawang merah,” tandas Ketua Bidang II Pembinaan Usaha dan UMKM BPD Hipmi Jateng, Mahar Soedjana.

Sedikitnya ada 100 petani bawang merah di Kabupaten Kendal yang telah mendapatkan pendampingan dari Hipmi. Pendampingan ini dilakukan mulai dari pengelolaan usaha yang benar hingga menjual produk pertaniannya.

Mahar menilai cara kerja petani bawang merah di wilayah itu masih sangat konvensional. Di mana tidak adanya sistem administrasi yang baik dan tidak memiliki akses kepada pembeli secara langsung. Hal ini sering dimanfaatkan oleh tengkulak untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, sementara petani tetap merugi.

“Bagaimana tidak, dari harga pembelian rata-rata Rp5.000 per kilogram, petani hanya bisa menjual Rp2.500 per kilogramnya. Padahal harga bawang merah di pasaran saat ini jauh dari harga tersebut,” cetusnya.

Dengan demikian, petani tidak mendapatkan untung,tapi malah mengalami kerugian. “Biaya produksi yang tinggi, sedangkan harga jual hasil pertanian tidak sesuai. Sedangkan kalau tidak dijual,bawang merah itu akan membusuk. Ini yang akan kami bantu untuk menemukan mereka dengan pembeli langsung,” tuturnya.

Hipmi juga menjembatani akses permodalan para petani dengan perbankan. Mahar menuturkan, saat ini pihaknya tengah menghitung tingkat kelayakan usaha petani bawang merah dan mengupayakan agar visible untuk dibiayai perbankan.

”Mereka cukup potensial. Dengan luasan lahan pertanian yang lebih dari 50 hektare, tentunya hasil produktivitasnya relatif besar. Seharusnya ini layak untuk mendapatkan dukungan permodalan dari perbankan,” katanya. (bro)
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5510 seconds (0.1#10.140)