DPR tuntut solusi ekspor hasil tambang

Rabu, 13 Juni 2012 - 14:57 WIB
DPR tuntut solusi ekspor...
DPR tuntut solusi ekspor hasil tambang
A A A
Sindonews.com - Agar hasil bijih mineral yang tidak jadi diekspor tidak menumpuk dan mengakibatkan kerugian, sebenarnya masih ada kriteria untuk tetap ekspor seperti membayar bea keluar (BK) 20 persen.

Selain itu, anggota Komisi VII DPR RI Bobby Adhityo Rizaldy mengatakan, juga dapat dilakukan dengan menyampaikan rencana proses nilai tambah ke depan.

“Jadi bila perusahaan tersebut memang niatnya akan komitmen dengan UU Minerba Nomor 4/2009, semestinya tidak akan ada kesulitan,” ujarnya, di Jakarta, Rabu (13/6/2012).

Sebelumnya, anggota Komisi VII DPR Fraksi Partai Golkar, Satya W Yudha meminta pemerintah segera mengeluarkan petunjuk teknis menyelesaikan polemik pemberlakuan larangan ekspor mineral mentah yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 7/2012 tentang tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Larangan ekspor mineral mentah tersebut sudah berjalan sejak Mei 2012 lalu.

Dia juga menambahkan, spirit Permen tersebut berupaya agar perusahaan pertambangan tetap menambang dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan, bukan sebaliknya.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Dewi Aryani menilai Permen tersebut melanggar UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Pasalnya, pemerintah telah melakukan percepatan pelarangan ekspor bahan mentah 14 bijih mineral paling lambat tiga bulan setelah Permen tersebut diterbitkan. “Padahal, di dalam UU Minerba jelas disebutkan, ekspor bijih mentah dilarang pada 2014,” kata dia.

Dengan percepatan pelarangan ekspor tersebut, kata dia, kesiapan industri smelter masih sangat terbatas. Akibatnya, hanya sedikit hasil tambang bijih mineral yang dapat tertampung di smelter dalam negeri. “Dengan kondisi ini, bisa saja dikeluarkan petunjuk teknis yang menyesuaikan dengan komplikasi masalahnya,” katanya.

Selain itu, Dewi juga menilai, Permen ESDM Nomor 7/2012 tidak fair karena aturan tersebut tidak berlaku pada pemegang kontrak karya (KK) seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Namun hanya berlaku bagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi dan izin pertambangan rakyat (IPR) yang diterbitkan sebelum berlakunya peraturan menteri ini dilarang untuk menjual bijih atau raw material atau ore mineral ke luar negeri. “Yang tidak teriak perusahaan pemegang KK karena tidak mendapat punishment seperti yang lain,” tuturnya.

Dengan ketidaksiapan dan terbatasnya kapasitas industri pengolahan saat ini, maka beban pengusaha tambang bertambah dengan diterapkannya BK hingga 20 persen. Oleh karena itu, dia menegaskan, dengan merespon banyaknya protes dari pengusaha mineral serta pelanggaran substansi terhadap UU Minerba, maka pemerintah harus segera mengkaji ulang kebijakan itu.

Menurut dia, perbaikan dan kajian ulang tersebut juga untuk meminimalisasi dampak negatif bagi pelaku usaha dan masyarakat luas yang berpotensi kuat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat Permen tersebut. “Dalam UU Minerba sudah disebutkan bahwa nilai tambah untuk bahan mineral harus ada dan disiapkan oleh pengusaha dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Jadi aturan turunan hanya mengacu ke UU tersebut,” pungkasnya.
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0194 seconds (0.1#10.140)