Kenaikan TTL pengaruhi harga bahan baku tekstil

Kamis, 04 Oktober 2012 - 14:51 WIB
Kenaikan TTL pengaruhi harga bahan baku tekstil
Kenaikan TTL pengaruhi harga bahan baku tekstil
A A A
Sindonews.com - Kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) diyakini akan membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) kian terpuruk. Pasalnya, kenaikan TTL juga bakal berdampak terhadap kenaikan harga bahan baku.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengatakan, biaya energi di sektor produksi serat buatan dan benang filament mencapai 15-20 persen dalam struktur biaya produksi.

Selain itu, bahan bakunya yaitu Purified Thereptalat Acid (PTA) juga bakal naik karena permintaan dan suplai di dalam negeri saat ini cenderung mengalami defisit.

"Pasalnya, Asia Pasifik saat ini juga cenderung defisit karena China masih defisit sekitar 3 juta ton, jadi kita tidak akan punya pilihan impor ketika harga PTA dalam negeri lebih mahal karena kenaikan TTL ini," kata Redma di Jakarta, Kamis (4/10/2012).

Efek dari kenaikan bahan baku, kata dia, akan berlanjut hingga ke hilir. Apabila PTA naik 5 persen, maka serat akan lebih mahal sekitar 10 persen, benang 15 persen, kain 20 persen dan garmen 25 persen dari harga rata-rata dunia.

"Dengan kondisi pasar seperti saat ini, dapat dipastikan ekspor akan terus turun dan impor barang jadi akan naik sehingga kemungkinan sektor tekstil dan produk tekstil tahun depan akan mengalami defisit perdagangan” tegasnya.

Redma menjelaskan, menurut data Bank Indonesia (BI), hingga bulan Juli tahun ini, sektor TPT masih memberikan kontribusi surplus perdagangan sebesar USD3,4 miliar, sedangkan secara keseluruhan sektor industri mengalami defisit USD14,03 miliar, ditambah dengan surplus di sektor tambang dan migas maka total neraca perdagangan hanya mengalami surplus sebesar USD6,7 miliar.

Padahal, kata dia, pada periode yang sama tahun lalu surplus perdagangan bisa mencapai USD20,24 milyar. Redma menjelaskan, biasanya sektor TPT selalu menyumbangkan devisa bersih lebih dari USD6 miliar.

"Posisi perdagangan seperti ini dimana industri mengalami defisit perdagangan adalah pertama kali dalam sejarah, jika ditambah dengan defisit sektor jasa yang sekitar USD12 miliar, maka neraca pembayaran kita akan terancam defisit," jelasnya.

Redma menilai, kenaikan TTL adalah kebijakan blunder, terlebih apabila beban terbesar dibebankan kepada sektor industri.
(gpr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6950 seconds (0.1#10.140)