BRTI: Salah tafsir penggunaan frekuensi harus diluruskan
Minggu, 09 Desember 2012 - 18:48 WIB

BRTI: Salah tafsir penggunaan frekuensi harus diluruskan
A
A
A
Sindonews.com - Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono menegaskan salah pikir dan tafsir atas makna menggunakan frekuensi ini mesti diluruskan. Bila tidak, carut-marut tata kelola negara di sektor telekomunikasi ini akan mengancam masa depan industri telekomunikasi yang telah berkontribusi besar penopang kegiatan ekonomi Negara.
Seperti diketahui, BRTI menilai tuduhan penyalahgunaan alokasi frekuensi pada pita 2.1GHz dan penetapan tersangka atas Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto menunjukkan bahwa pihak penyidik Kejaksaan tidak memahami konteks telekomunikasi.
“Pihak Kejaksaan mesti mendengarkan penjelasan banyak kalangan, baik dari Menkominfo, BRTI, Mastel, ATSI, APJII dan para ahli telekomunikasi yang telah menjelaskan tidak ada yang illegal dari apa yang telah dilakukan oleh PT Indosat dan PT IM2. Bila tidak, industri telekomunikasi terancam kolaps. Aneh, penjelasan dari Menkominfo sebagai majelis fatwa atas diundangkannya UU Telekomunikasi dan aturan pelaksanaannya diabaikan oleh pihak kejaksaan,” ujar Nonot di Jakarta, Minggu (9/12/2012).
Ia menjelaskan penggunaan frekuensi diibaratkan sama dengan pembangunan jalan tol yang dilakukan suatu pengelola.
“Pengelola jalan tol inilah yang berkewajiban membayar pajak jalan tol kepada Negara, sementara pengguna jasa jalan tol seperti bus, truck box, mobil kurir, travel, dan semua pengguna mobil pribadi tidak perlu membayar pajak seperti yang dikenakan kepada pengelola jalan tol itu. Mereka cukup membayar biaya kepada petugas loket pintu tol,” jelasnya.
Dalam konteks kasus kerjasama Indosat-IM2 ini, Nonot juga mengibaratkan PT Indosat seperti pembangun mal besar yang di dalamnya ada 1000 stand. Sehingga wajib pajak PBB adalah cukup Indosat.
“Nah, posisi IM2 itu hanya penyewa salah satu stand dari 1.000 stand yang ada. IM2 cukup membayar biaya sewa satu stand kepada Indosat. Sebagai penyewa, IM2 tidak dikenakan untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) seperti yang dikenakan kepada PT Indosat sebagai pembangun mal. Bagaimana mungkin penyewa satu stand ukuran 5x6 meter harus membayar PBB untuk mall yang luasnya 5 hektar. Ibaratnya sama juga dengan wartel atau warnet yang menggunakan jaringan kabel atau fiber optik PT Telkom,” tutur pria berdarah Madura, Jawa Timur ini.
Lebih lanjut, Nonot menjelaskan, bila pola pikir tentang makna “menggunakan frekuensi” yang dipakai tim penyidik Kejaksaan dibenarkan, maka dua ratusan perusahaan Content Provider yang berjualan konten melalui jaringan seluler dan dua ratusan juta pengguna seluler juga terancam dituntut telah melakukan dugaan tindak pidana korupsi seperti halnya kasus yang menimpa IM2.
Demikian pula penyelenggara program siaran TV-Digital dimana satu pemancar digunakan bersama oleh 6 (enam) stasiun siaran; yang wajib membayar biaya hak penggunaan frekuensi seharusnya hanya pengelola pemancar, namun bila memakai pola pikir tim penyidik kejaksaan maka yang wajib bayar BHP adalah keenam penggunanya.
“Posisi IM2 itu sama dengan ratusan content provider yang berjualan konten melalui jaringan seluler dan dua ratusan juta lebih pengguna simcard telfon seluler yang memanfaatkan jaringan telekomunikasi seluler.
Semuanya dapat disangka merugikan negara sebesar masing-masing 1,3 Triliun. Diibaratkan, IM2 dan CP itu pengguna saluran grosir, sementara individu pengguna telfon genggam itu pengguna saluran eceran. Kalikan saja, dua ratusan CP dan dua ratus juta pengguna seluler dengan 1,3 triliun.
“Apakah Kejaksaan akan menuntut seluruh CP dan seluruh pengguna gadget di Indonesia karena mereka menggunakan frekuensi? Ini kan sesat pikir,” ujar Nonot prihatin.
Seperti diketahui, BRTI menilai tuduhan penyalahgunaan alokasi frekuensi pada pita 2.1GHz dan penetapan tersangka atas Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto menunjukkan bahwa pihak penyidik Kejaksaan tidak memahami konteks telekomunikasi.
“Pihak Kejaksaan mesti mendengarkan penjelasan banyak kalangan, baik dari Menkominfo, BRTI, Mastel, ATSI, APJII dan para ahli telekomunikasi yang telah menjelaskan tidak ada yang illegal dari apa yang telah dilakukan oleh PT Indosat dan PT IM2. Bila tidak, industri telekomunikasi terancam kolaps. Aneh, penjelasan dari Menkominfo sebagai majelis fatwa atas diundangkannya UU Telekomunikasi dan aturan pelaksanaannya diabaikan oleh pihak kejaksaan,” ujar Nonot di Jakarta, Minggu (9/12/2012).
Ia menjelaskan penggunaan frekuensi diibaratkan sama dengan pembangunan jalan tol yang dilakukan suatu pengelola.
“Pengelola jalan tol inilah yang berkewajiban membayar pajak jalan tol kepada Negara, sementara pengguna jasa jalan tol seperti bus, truck box, mobil kurir, travel, dan semua pengguna mobil pribadi tidak perlu membayar pajak seperti yang dikenakan kepada pengelola jalan tol itu. Mereka cukup membayar biaya kepada petugas loket pintu tol,” jelasnya.
Dalam konteks kasus kerjasama Indosat-IM2 ini, Nonot juga mengibaratkan PT Indosat seperti pembangun mal besar yang di dalamnya ada 1000 stand. Sehingga wajib pajak PBB adalah cukup Indosat.
“Nah, posisi IM2 itu hanya penyewa salah satu stand dari 1.000 stand yang ada. IM2 cukup membayar biaya sewa satu stand kepada Indosat. Sebagai penyewa, IM2 tidak dikenakan untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) seperti yang dikenakan kepada PT Indosat sebagai pembangun mal. Bagaimana mungkin penyewa satu stand ukuran 5x6 meter harus membayar PBB untuk mall yang luasnya 5 hektar. Ibaratnya sama juga dengan wartel atau warnet yang menggunakan jaringan kabel atau fiber optik PT Telkom,” tutur pria berdarah Madura, Jawa Timur ini.
Lebih lanjut, Nonot menjelaskan, bila pola pikir tentang makna “menggunakan frekuensi” yang dipakai tim penyidik Kejaksaan dibenarkan, maka dua ratusan perusahaan Content Provider yang berjualan konten melalui jaringan seluler dan dua ratusan juta pengguna seluler juga terancam dituntut telah melakukan dugaan tindak pidana korupsi seperti halnya kasus yang menimpa IM2.
Demikian pula penyelenggara program siaran TV-Digital dimana satu pemancar digunakan bersama oleh 6 (enam) stasiun siaran; yang wajib membayar biaya hak penggunaan frekuensi seharusnya hanya pengelola pemancar, namun bila memakai pola pikir tim penyidik kejaksaan maka yang wajib bayar BHP adalah keenam penggunanya.
“Posisi IM2 itu sama dengan ratusan content provider yang berjualan konten melalui jaringan seluler dan dua ratusan juta lebih pengguna simcard telfon seluler yang memanfaatkan jaringan telekomunikasi seluler.
Semuanya dapat disangka merugikan negara sebesar masing-masing 1,3 Triliun. Diibaratkan, IM2 dan CP itu pengguna saluran grosir, sementara individu pengguna telfon genggam itu pengguna saluran eceran. Kalikan saja, dua ratusan CP dan dua ratus juta pengguna seluler dengan 1,3 triliun.
“Apakah Kejaksaan akan menuntut seluruh CP dan seluruh pengguna gadget di Indonesia karena mereka menggunakan frekuensi? Ini kan sesat pikir,” ujar Nonot prihatin.
(gpr)