Maraknya batik printing resahkan perajin tradisional
A
A
A
Sindonews.com - Perajin batik tradisional Kulonprogo, Jawa Tengah dibuat kerepotan dengan banyaknya batik gebleg renteng printing yang didatangkan dari luar daerah. Asosiasi perajin tidak kuasa membendung serbuan batik printing, karena minimnya sumber daya.
Puryanto dari Sinar Abadi Batik mengatakan, saat ini sebagian besar batik gebleg renteng yang digunakan siswa sekolah mulai SD hingga SMA menggunakan batik printing. Padahal, gebleg renteng diprogramkan bupati untuk menggairahkan perajin batik lokal.
"Data yang ada di asosiasi perajin batik saat ini hanya 20 persen yang digarap perajin. Sisanya sebagian besar printing. Padahal seharusnya menggunakan batik asli produksi perajin Kulonprogo," kata Puryanto, Selasa (8/1/2013).
Dia mengatakan, asosiasi sebenarnya sudah berupaya mencari tahu asal batik printing yang digunakan siswa sekolah. Sayang, karena minimnya sumber daya asosiasi tidak bisa berbuat lebih jauh. Asosiasi juga mengendus indikasi anggota yang nakal.
"Ada informasi dan indikasinya juga terlihat. Tapi belum bisa ditelusuri. Seharusnya kalau memang terbukti ada anggota yang melanggar, misalnya memproduksi printing di Solo, ya harus disanksi," ujarnya.
Dia menduga, belum adanya sanksi konkret yang menimbulkan efek jera membuat peredaran batik printing tak terbendung. Padahal, untuk meredamnya tidak terlalu sulit. Dinas Pendidikan hanya perlu mendata asal batik yang digunakan siswa di setiap sekolah Kulonprogo.
"Dulu sempat ada sidak, tapi cara itu kan tidak efektif. Karena perajin semuanya memproduksi batik di rumah. Cukup Dinas Pendidikan mendata dari mana setiap sekolah membeli batik. Dari situ akan kelihatan asalnya dari mana," pungkasnya.
Puryanto dari Sinar Abadi Batik mengatakan, saat ini sebagian besar batik gebleg renteng yang digunakan siswa sekolah mulai SD hingga SMA menggunakan batik printing. Padahal, gebleg renteng diprogramkan bupati untuk menggairahkan perajin batik lokal.
"Data yang ada di asosiasi perajin batik saat ini hanya 20 persen yang digarap perajin. Sisanya sebagian besar printing. Padahal seharusnya menggunakan batik asli produksi perajin Kulonprogo," kata Puryanto, Selasa (8/1/2013).
Dia mengatakan, asosiasi sebenarnya sudah berupaya mencari tahu asal batik printing yang digunakan siswa sekolah. Sayang, karena minimnya sumber daya asosiasi tidak bisa berbuat lebih jauh. Asosiasi juga mengendus indikasi anggota yang nakal.
"Ada informasi dan indikasinya juga terlihat. Tapi belum bisa ditelusuri. Seharusnya kalau memang terbukti ada anggota yang melanggar, misalnya memproduksi printing di Solo, ya harus disanksi," ujarnya.
Dia menduga, belum adanya sanksi konkret yang menimbulkan efek jera membuat peredaran batik printing tak terbendung. Padahal, untuk meredamnya tidak terlalu sulit. Dinas Pendidikan hanya perlu mendata asal batik yang digunakan siswa di setiap sekolah Kulonprogo.
"Dulu sempat ada sidak, tapi cara itu kan tidak efektif. Karena perajin semuanya memproduksi batik di rumah. Cukup Dinas Pendidikan mendata dari mana setiap sekolah membeli batik. Dari situ akan kelihatan asalnya dari mana," pungkasnya.
(gpr)