Industri rumput laut Indonesia mulai diperhitungkan
A
A
A
Sindonews.com - Upaya keras yang dilakukan pelaku usaha di sektor pertanian dan kelautan, membuat industri rumput laut Indonesia mulai diperhitungkan dunia. Terbukti, keputusan penyelenggaraan simposium rumput laut bertaraf internasional yang mengambil tema 'Seaweed Science for Sustainable Prosperity' berlangsung di Indonesia, tepatnya di Bali, pada 21-26 April 2013.
Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), Safari Azis mengatakan, kesempatan yang sangat berharga ini merupakan legitimasi dunia. Kondisi ini harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pelaku usaha, akademisi, pemerintah, dan lembaga terkait lainnya untuk kemajuan industri rumput laut nasional.
"Industri rumput laut ini mempunyai peluang besar. Apalagi, sebagai negara penghasil 'hydrocollod' rumput laut dan produk-produk turunannya. Dibanding Pilipina dan Cina, kita masih dianggap dalam masa pertumbuhan," katanya dalam keterangan tertulis kepada Sindonews, Senin (4/2/2013).
Percobaan pembudidayaan rumput laut di Indonesia diprakarsai oleh almarhum Soerjodinoto bersama Hariadi Adnan pada 1967 di Pulau Pari dan Pulau Tikus, Kepulauan Seribu, Jakarta
Menurutnya, beberapa pelaku industri pengolahan rumput laut dari Amerika Serikat, Denmark, dan Perancis datang untuk melakukan survei lokasi potensi budidaya rumput laut melalui ekspedisi 'True Blue' di Indonesia Timur pada 1974.
Indonesia, lanjut dia, pertama kali mengekspor rumput laut kering hasil budidaya jenis eucheuma spinosum dari pantai Terora, Nusa Dua, Bali pada 1981. Kemudian, pada 1982, Hariadi Adnan membawa bibit eucheuma cottonii dari Pilipina sebanyak enam kilogram yang berkembang sampai sekarang ke hampir seluruh pelosok tanah air.
Azis menuturkan, setelah melampaui volume produksi rumput laut Pilipina pada 2008, akhirnya International Seaweed Association (ISA) pada International Seaweed Symposium ke-20 di Meksiko pada 2010 memutuskan, Indonesia sebagai tempat penyelenggaraan ke-21 International Seaweed Symposium 2013 yang rencananya dihadiri 60 negara.
Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), Safari Azis mengatakan, kesempatan yang sangat berharga ini merupakan legitimasi dunia. Kondisi ini harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pelaku usaha, akademisi, pemerintah, dan lembaga terkait lainnya untuk kemajuan industri rumput laut nasional.
"Industri rumput laut ini mempunyai peluang besar. Apalagi, sebagai negara penghasil 'hydrocollod' rumput laut dan produk-produk turunannya. Dibanding Pilipina dan Cina, kita masih dianggap dalam masa pertumbuhan," katanya dalam keterangan tertulis kepada Sindonews, Senin (4/2/2013).
Percobaan pembudidayaan rumput laut di Indonesia diprakarsai oleh almarhum Soerjodinoto bersama Hariadi Adnan pada 1967 di Pulau Pari dan Pulau Tikus, Kepulauan Seribu, Jakarta
Menurutnya, beberapa pelaku industri pengolahan rumput laut dari Amerika Serikat, Denmark, dan Perancis datang untuk melakukan survei lokasi potensi budidaya rumput laut melalui ekspedisi 'True Blue' di Indonesia Timur pada 1974.
Indonesia, lanjut dia, pertama kali mengekspor rumput laut kering hasil budidaya jenis eucheuma spinosum dari pantai Terora, Nusa Dua, Bali pada 1981. Kemudian, pada 1982, Hariadi Adnan membawa bibit eucheuma cottonii dari Pilipina sebanyak enam kilogram yang berkembang sampai sekarang ke hampir seluruh pelosok tanah air.
Azis menuturkan, setelah melampaui volume produksi rumput laut Pilipina pada 2008, akhirnya International Seaweed Association (ISA) pada International Seaweed Symposium ke-20 di Meksiko pada 2010 memutuskan, Indonesia sebagai tempat penyelenggaraan ke-21 International Seaweed Symposium 2013 yang rencananya dihadiri 60 negara.
(izz)