Industri tekstil hadapi tantangan berat
A
A
A
Sindonews.com - Industri tekstil nasional sedang menghadapi tantangan berat. Biaya produksi membengkak tinggi, menyusul kebijakan penerapan Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan kenaikan tarif dasar listrik (TDL).
Belum lagi, pasar dalam negeri juga banyak mendapatkan serangan impor produk dari China. Ketua Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudradjat mengatakan, selama ini industri tektil didominasi pabrikan yang berada di wilayah Jabodetabek.
Beberapa industri yang ada, saat ini terancam pindah, karena tidak bisa bersaing dengan pabrikan di Bandung, Jawa Tengah dan DIY. "UMK ini selisihnya hampir seratus persen, makanya banyak yang tidak mampu bersaing," kata Ade disela Musda BPD API DIY, di Hotel Sahid Yogyakarta, Kamis (21/2/13).
Saat ini, lanjut dia, beberapa industri ringan sudah mulai bergeser dan meninggalkan Jabodetabek. Mereka mencari daerah di luar Jabodetabek agar bisa menghemat biaya produksi. Saat ini, biaya tenaga kerja memberikan kontribusi hingga 15-25 persen dari total biaya produksi.
Sedangkan bahan baku masih mendominasi dengan sekitar 65 persen dan sisanya dari biaya listrik. Kenaikan TDL juga ikut memacu meningkatnya biaya produksi.
Relokasi ke Jawa, ujar dia, harus dilakukan oleh perusahaan. Jika tetap bertahan, margin keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Produk sendiri akan lebih mahal dan membuat persaingan menjadi tidak sehat.
Beratnya persaingan ini, juga tidak lepas dari kebijakan impor produk tekstil dari China. Saat ini, produk asal China membanjiri pasaran, hingga di pelosok. Ironisnya, beberapa produk yang ada ini memiliki karakteristik sama dengan produk lokal. Karena harganya lebih murah, produk China akan lebih diminati pasar.
Belum lagi, pasar dalam negeri juga banyak mendapatkan serangan impor produk dari China. Ketua Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudradjat mengatakan, selama ini industri tektil didominasi pabrikan yang berada di wilayah Jabodetabek.
Beberapa industri yang ada, saat ini terancam pindah, karena tidak bisa bersaing dengan pabrikan di Bandung, Jawa Tengah dan DIY. "UMK ini selisihnya hampir seratus persen, makanya banyak yang tidak mampu bersaing," kata Ade disela Musda BPD API DIY, di Hotel Sahid Yogyakarta, Kamis (21/2/13).
Saat ini, lanjut dia, beberapa industri ringan sudah mulai bergeser dan meninggalkan Jabodetabek. Mereka mencari daerah di luar Jabodetabek agar bisa menghemat biaya produksi. Saat ini, biaya tenaga kerja memberikan kontribusi hingga 15-25 persen dari total biaya produksi.
Sedangkan bahan baku masih mendominasi dengan sekitar 65 persen dan sisanya dari biaya listrik. Kenaikan TDL juga ikut memacu meningkatnya biaya produksi.
Relokasi ke Jawa, ujar dia, harus dilakukan oleh perusahaan. Jika tetap bertahan, margin keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Produk sendiri akan lebih mahal dan membuat persaingan menjadi tidak sehat.
Beratnya persaingan ini, juga tidak lepas dari kebijakan impor produk tekstil dari China. Saat ini, produk asal China membanjiri pasaran, hingga di pelosok. Ironisnya, beberapa produk yang ada ini memiliki karakteristik sama dengan produk lokal. Karena harganya lebih murah, produk China akan lebih diminati pasar.
(izz)