Ali Masykur: Perizinan tambang harus dikendalikan
A
A
A
Sindonews.com - Masalah perizinan tambang menjadi perhatian serius Anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Ali Masykur Musa. Dia mengingatkan, eksplorasi tambang yang berlebihan bisa merugikan generasi masa depan.
"Pertambangan memang salah satu bisnis menggiurkan dengan keuntungan menjanjikan. Namun, penerimaan negara dari sektor tambang tidak signifikan,” papar Ali saat menjadi pembicara dalam Indonesia-China Coal Summit di Bali International Convention Center, Nusa Dua, Rabu (20/3/2013).
Dia menjelaskan , merujuk Pasal 33 UUD 1945 yang menetapkan, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, mengandung arti pembangunan ekonomi (termasuk pemanfaatan sumber daya alam) jangan hanya untuk kepentingan generasi saat ini.
"Kita juga harus memperhatikan kepentingan generasi mendatang, yang diikuti dengan upaya-upaya perlindungan lingkungan hidup," tegas Ali, sambil mengingatkan, pemerintah harus mengendalikan perizinan di sektor tambang.
Terungkap, produksi batubara Indonesia sebagian besar diekspor ke berbagai negara, hanya sebagian kecil yang dikonsumsi dalam negeri, sedangkan kontribusinya hanya 5% dari total realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
BPK pada 2010 dan 2011 telah melakukan pemeriksaan atas pengelolaan pertambangan batubara di pulau Kalimantan terhadap 247 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara di tujuh kabupaten, provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. BPK menemukan 64 perusahaan tidak membuat rencana kegiatan reklamasi pasca tambang, serta 73 perusahaan tidak menyetor dana jaminan reklamasi.
Selain itu, dari areal bekas penambangan PKP2B seluas 100,88 ribu ha, ternyata yang baru direklamasi seluas 47,80 ha. Dari aspek peraturan dan perundang-undangan, Kementerian ESDM ternyata belum menerbitkan peraturan tentang pengawasan dan sanksi pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara. Sehingga, pemerintah daerah tidak memiliki pedoman baku dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pelanggaran yang dilakukan para pemegang IUP.
Untuk itu, Ali meminta kepada aparat penegak hukum untuk memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan yang melanggar agar terjadi efek jera sehingga tidak terulang lagi.
Dalam forum itu, mantan anggota Komisi XI DPR-RI (2006-2009) itu mendesak pemerintah untuk meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap pengusahaan pertambangan batubara, antara lain melalui upaya percepatan pelaksanaan program clean and clear oleh Kementerian ESDM. Program ini bertujuan untuk menertibkan perusahaan-perusahaan pertambangan yang bermasalah (non clean and clear). Terutama, masalah tunggakan royalty, tumpang tindih lokasi pertambangan, dan tidak adanya izin lokasi penambangan dari Menteri Kehutanan.
Sebagai catatan, hingga 2012, Kementerian ESDM baru menetapkan 1.992 perusahaan yang clean and clear atau hanya 51,45 % dari total sebanyak 3.871 perusahaan.
"Pertambangan memang salah satu bisnis menggiurkan dengan keuntungan menjanjikan. Namun, penerimaan negara dari sektor tambang tidak signifikan,” papar Ali saat menjadi pembicara dalam Indonesia-China Coal Summit di Bali International Convention Center, Nusa Dua, Rabu (20/3/2013).
Dia menjelaskan , merujuk Pasal 33 UUD 1945 yang menetapkan, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, mengandung arti pembangunan ekonomi (termasuk pemanfaatan sumber daya alam) jangan hanya untuk kepentingan generasi saat ini.
"Kita juga harus memperhatikan kepentingan generasi mendatang, yang diikuti dengan upaya-upaya perlindungan lingkungan hidup," tegas Ali, sambil mengingatkan, pemerintah harus mengendalikan perizinan di sektor tambang.
Terungkap, produksi batubara Indonesia sebagian besar diekspor ke berbagai negara, hanya sebagian kecil yang dikonsumsi dalam negeri, sedangkan kontribusinya hanya 5% dari total realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
BPK pada 2010 dan 2011 telah melakukan pemeriksaan atas pengelolaan pertambangan batubara di pulau Kalimantan terhadap 247 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara di tujuh kabupaten, provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. BPK menemukan 64 perusahaan tidak membuat rencana kegiatan reklamasi pasca tambang, serta 73 perusahaan tidak menyetor dana jaminan reklamasi.
Selain itu, dari areal bekas penambangan PKP2B seluas 100,88 ribu ha, ternyata yang baru direklamasi seluas 47,80 ha. Dari aspek peraturan dan perundang-undangan, Kementerian ESDM ternyata belum menerbitkan peraturan tentang pengawasan dan sanksi pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara. Sehingga, pemerintah daerah tidak memiliki pedoman baku dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pelanggaran yang dilakukan para pemegang IUP.
Untuk itu, Ali meminta kepada aparat penegak hukum untuk memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan yang melanggar agar terjadi efek jera sehingga tidak terulang lagi.
Dalam forum itu, mantan anggota Komisi XI DPR-RI (2006-2009) itu mendesak pemerintah untuk meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap pengusahaan pertambangan batubara, antara lain melalui upaya percepatan pelaksanaan program clean and clear oleh Kementerian ESDM. Program ini bertujuan untuk menertibkan perusahaan-perusahaan pertambangan yang bermasalah (non clean and clear). Terutama, masalah tunggakan royalty, tumpang tindih lokasi pertambangan, dan tidak adanya izin lokasi penambangan dari Menteri Kehutanan.
Sebagai catatan, hingga 2012, Kementerian ESDM baru menetapkan 1.992 perusahaan yang clean and clear atau hanya 51,45 % dari total sebanyak 3.871 perusahaan.
(dmd)