Tarif KRL Jabodetabek lebih mahal dari Malaysia

Rabu, 03 April 2013 - 12:59 WIB
Tarif KRL Jabodetabek...
Tarif KRL Jabodetabek lebih mahal dari Malaysia
A A A
Sindonews.com - Anggota Komisi V DPR RI, Sigit Sosiantomo menyatakan, tarif Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek Commuter Line yang dibandrol Rp8 ribu sampai Rp9 ribu terlalu mahal dibandingkan dengan tarif kereta Commuter Line di negara lain.

"Seperti di Malaysia yang kabarnya hanya 1,6 ringgit (Rp5.000) dan Thailand sebesar 16 baht (Rp5.300). Apalagi tarif kereta Commuter bawah tanah Beijing yang hanya 0,8 Yuan (Rp1.200)," kata Sigit dalam rilisnya di Jakarta, Rabu (3/4/2013).

Namun, lanjut dia, kebenaran tarif tersebut masih perlu diverifikasi. Jika benar pun masih harus dilihat jarak tempuh dan fasilitasnya agar fair dalam memperbandingkan.

"Tarif Commuter Line jika dibandingkan dengan tarif bus juga masih lebih mahal. Padahal mestinya lebih murah karena sifatnya yang lebih masal," imbuhnya.

Misalnya, tarif bus Patas AC Mayasari Bakti trayek Bekasi-Jakarta sebesar Rp6.500, sedangkan yang tanpa AC Rp4.500. Sementara tarif Commuter Line dari Bekasi ke Jakarta sebesar Rp8.500.

"Menteri Perhubungan sebagai regulator semestinya jangan gampang menyetujui tarif Commuter Line yang sangat mahal seperti saat ini. Perlu dilakukan perbandingan tarif dan survei ability to pay sebelum tarif ditetapkan," ujar Sigit.

Tidak adanya kompetitor bagi PT Kereta Api Indonesia (KAI), sepertinya pengguna dipersilahkan menerima apa adanya atau dipersilahkan memilih moda transportasi lain. Memang, tidak ada persaingan head to head antar kereta, namun harus diingat ada moda transportasi lain yakni kendaraan pribadi.

"Pengguna jasa layanan KRL ekonomi bukan hanya pekerja kantoran melainkan juga pelajar, mahasiswa, dan pedagang kecil. Apabila sudah biasa menggunakan KRL ekonomi berganti menggunakan Commuter Line, maka akan merasakan kenaikan biaya transportasi yang signifikan hingga lima kali lipat," terang dia.

Jika pengguna tidak sanggup lagi membeli tiket kereta Commuter Line, kata Sigit, kemungkinan sebagian pengguna akan berpindah ke sepeda motor yang masih dimungkinkan mendapat subsidi lewat BBM bersubsidi. Tentunya ini akan menjadi tambahan beban berat bagi pemerintah untuk menjaga kuota subsidi BBM.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9768 seconds (0.1#10.140)