DEN : Perlu konsensus nasional sebelum pemilu
A
A
A
Sindonews.com - Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel menyatakan, pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM), gas dan listrik mungkin terasa getir bagi sebagian pihak, namun langkah tersebut akan menghasilkan hal positif.
Karena itu, menurut dia, diperlukan sebuah konsensus nasional untuk memutuskan langkah terbaik yang harus dilakukan terkait energi. Idealnya konsensus nasional pengelolaan energi harus dilakukan sebelum pemilu 2014.
“Konsensus nasional terdiri dari lima kesepakatan dalam menata keenergian nasional, yaitu sepakat bila energi adalah modal pembangunan," ujarnya di Depok, Rabu (10/4/2013).
Kemudian, sepakat bila subsidi komoditas BBM dan listrik dikurangi secara bertahap hingga menuju keekonomiannya kemudian diganti menjadi subsidi langsung kepada masyarakat miskin. Selanjutnya, sepakat bila sumber gas alam dan batu bara dicadangkan untuk generasi masa depan.
Hal lainnya, sepakat mendorong pengembangan energi terbarukan dengan memberi prioritas dan dukungan anggaran. Selain itu, sepakat membangun kemandirian pengelolaan energi nasional dengan memprioritaskan pelaku nasional dalam rancang bangun dan proyek-proyek energi.
Untuk menghindari inflasi khususnya terhadap harga sembako dan bahan pokok lainnya, penghapusan subsidi dilakukan secara bertahap sedikit demi sedikit. Langkah yang harus ditempuh pemerintah adalah dengan memulai melalui subsidi tetap dan mengembangkan harga sesuai irama harga minyak mentah dunia.
Misalnya, harga minyak mentah yang sekarang USD90 per barel maka harga wajar premium ditetapkan Rp7.000 per liter. Artinya sudah ada subsidi sebesar Rp2.500 per liter.
Selanjutnya dalam waktu 24 hingga 36 bulan, pemerintah akan mengurangi subsidi antara Rp50-100 per liter setiap bulan dengan pertimbangan harga minyak dunia.
Demikian pula pada listrik, jika posisi sekarang terdapat subsidi rata-rata sebesar Rp 500 per kWh dengan perkiraan biaya produksi per kWh rata-rata Rp1400, dan harga jual rata-rata Rp900 maka subsidinya dikurangi sekitar Rp50 per kWh tiap periode atau tiap bulan atau bahkan setiap tiga bulan.
“Kelak dalam 10 hingga 30 bulan maka pemberian subsidi dapat berangsur mulai habis dan langkah menuju kemandirian dan ketahanan energi bangsa pun kian menjelma,” tutur Herman.
Karena itu, menurut dia, diperlukan sebuah konsensus nasional untuk memutuskan langkah terbaik yang harus dilakukan terkait energi. Idealnya konsensus nasional pengelolaan energi harus dilakukan sebelum pemilu 2014.
“Konsensus nasional terdiri dari lima kesepakatan dalam menata keenergian nasional, yaitu sepakat bila energi adalah modal pembangunan," ujarnya di Depok, Rabu (10/4/2013).
Kemudian, sepakat bila subsidi komoditas BBM dan listrik dikurangi secara bertahap hingga menuju keekonomiannya kemudian diganti menjadi subsidi langsung kepada masyarakat miskin. Selanjutnya, sepakat bila sumber gas alam dan batu bara dicadangkan untuk generasi masa depan.
Hal lainnya, sepakat mendorong pengembangan energi terbarukan dengan memberi prioritas dan dukungan anggaran. Selain itu, sepakat membangun kemandirian pengelolaan energi nasional dengan memprioritaskan pelaku nasional dalam rancang bangun dan proyek-proyek energi.
Untuk menghindari inflasi khususnya terhadap harga sembako dan bahan pokok lainnya, penghapusan subsidi dilakukan secara bertahap sedikit demi sedikit. Langkah yang harus ditempuh pemerintah adalah dengan memulai melalui subsidi tetap dan mengembangkan harga sesuai irama harga minyak mentah dunia.
Misalnya, harga minyak mentah yang sekarang USD90 per barel maka harga wajar premium ditetapkan Rp7.000 per liter. Artinya sudah ada subsidi sebesar Rp2.500 per liter.
Selanjutnya dalam waktu 24 hingga 36 bulan, pemerintah akan mengurangi subsidi antara Rp50-100 per liter setiap bulan dengan pertimbangan harga minyak dunia.
Demikian pula pada listrik, jika posisi sekarang terdapat subsidi rata-rata sebesar Rp 500 per kWh dengan perkiraan biaya produksi per kWh rata-rata Rp1400, dan harga jual rata-rata Rp900 maka subsidinya dikurangi sekitar Rp50 per kWh tiap periode atau tiap bulan atau bahkan setiap tiga bulan.
“Kelak dalam 10 hingga 30 bulan maka pemberian subsidi dapat berangsur mulai habis dan langkah menuju kemandirian dan ketahanan energi bangsa pun kian menjelma,” tutur Herman.
(rna)