Pemerintah didesak koreksi data produksi rumput laut
A
A
A
Sindonews.com - Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) meminta pemerintah untuk melakukan koreksi terhadap data produksi rumput laut, baik secara regional maupun nasional.
Ketua ARLI, Safari Azis mengatakan, data yang tidak tepat dinilai sebagai salah satu penyebab tidak adanya pengembangan strategi nasional khusus rumput laut.
Menurutnya, pelaku usaha rumput laut sering disulitkan dengan ketidaksesuaian data produksi yang ada di pemerintah. Hal ini berpengaruh dengan ketepatan metode ukur yang dipakai.
"Rumput laut itu jika diukur dalam keadaan basah memang bobotnya menjadi besar. Sementara pengusaha tidak mengenal adanya kondisi basah terutama untuk perdagangan, kecuali untuk keperluan masih bibit," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (5/6/2013).
Dia mencontohkan perbedaan data produksi untuk daerah Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai salah penghasil rumput laut terbesar di Indonesia. Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulsel, produksi rumput laut pada 2012 mencapai 2.104.446 ton. Sementara, data dari Biro Statistik dan Ditjen Pengembangan Ekspor Nasional hanya 75.763 ton.
"Pemerintah perlu memperbaiki data produksinya. Memang perbandingan produksi rumput laut jika diukur dalam keadaan basah dan kering itu bisa 10:1," ujarnya.
Saat ini, kata Safari, produksi per Mei 2013 diperkirakan menurun 20-40 persen. Pihaknya mempertanyakan kemana jumlah produksi rumput laut itu yang dinyatakan banyak walaupun kondisi musim tidak menentu.
"Karena faktanya para eksportir sekarang susah mencari barang. Penggunaan dalam negeri itu masih kecil, jadi tidak mungkin dengan jumlah yang besar itu bisa terserap lokal. Meskipun impor ada, tetapi jumlahnya kecil," katanya.
Menurutnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan jumlah produksi rumput laut mencapai 5 juta ton. "Jumlah itu pun sebenarnya masih melebihi kebutuhan pasar dunia," ungkap Safari.
Karena itu, ARLI sangat menyayangkan dengan validitas data yang ada di pemerintah. Indonesia, kata Safari, memang merupakan salah satu produsen terbesar, hanya saja data itu harus segera dibenahi agar tata kelola pengembangan rumput laut bisa lebih profesional dan pelaku usaha bisa mengatur strategi bisnisnya.
"Kita harapkan angka produksinya rasional, sehingga partisipasi semua pihak termasuk pengusaha bisa lebih jelas melakukan tata kelola pengembangan rumput laut untuk bisnis," kata dia.
Pihaknya mengimbau, agar pemerintah terus mendorong lahirnya Road Map Rumput laut dari hulu sampai hilir guna mempercepat perkembangan budi daya rumput laut beserta keekonomiannya. Saat ini, ARLI menilai program pemerintah antara pusat dan daerah belum sinkron.
Ketua ARLI, Safari Azis mengatakan, data yang tidak tepat dinilai sebagai salah satu penyebab tidak adanya pengembangan strategi nasional khusus rumput laut.
Menurutnya, pelaku usaha rumput laut sering disulitkan dengan ketidaksesuaian data produksi yang ada di pemerintah. Hal ini berpengaruh dengan ketepatan metode ukur yang dipakai.
"Rumput laut itu jika diukur dalam keadaan basah memang bobotnya menjadi besar. Sementara pengusaha tidak mengenal adanya kondisi basah terutama untuk perdagangan, kecuali untuk keperluan masih bibit," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (5/6/2013).
Dia mencontohkan perbedaan data produksi untuk daerah Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai salah penghasil rumput laut terbesar di Indonesia. Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulsel, produksi rumput laut pada 2012 mencapai 2.104.446 ton. Sementara, data dari Biro Statistik dan Ditjen Pengembangan Ekspor Nasional hanya 75.763 ton.
"Pemerintah perlu memperbaiki data produksinya. Memang perbandingan produksi rumput laut jika diukur dalam keadaan basah dan kering itu bisa 10:1," ujarnya.
Saat ini, kata Safari, produksi per Mei 2013 diperkirakan menurun 20-40 persen. Pihaknya mempertanyakan kemana jumlah produksi rumput laut itu yang dinyatakan banyak walaupun kondisi musim tidak menentu.
"Karena faktanya para eksportir sekarang susah mencari barang. Penggunaan dalam negeri itu masih kecil, jadi tidak mungkin dengan jumlah yang besar itu bisa terserap lokal. Meskipun impor ada, tetapi jumlahnya kecil," katanya.
Menurutnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan jumlah produksi rumput laut mencapai 5 juta ton. "Jumlah itu pun sebenarnya masih melebihi kebutuhan pasar dunia," ungkap Safari.
Karena itu, ARLI sangat menyayangkan dengan validitas data yang ada di pemerintah. Indonesia, kata Safari, memang merupakan salah satu produsen terbesar, hanya saja data itu harus segera dibenahi agar tata kelola pengembangan rumput laut bisa lebih profesional dan pelaku usaha bisa mengatur strategi bisnisnya.
"Kita harapkan angka produksinya rasional, sehingga partisipasi semua pihak termasuk pengusaha bisa lebih jelas melakukan tata kelola pengembangan rumput laut untuk bisnis," kata dia.
Pihaknya mengimbau, agar pemerintah terus mendorong lahirnya Road Map Rumput laut dari hulu sampai hilir guna mempercepat perkembangan budi daya rumput laut beserta keekonomiannya. Saat ini, ARLI menilai program pemerintah antara pusat dan daerah belum sinkron.
(izz)