Karena Bodrex, Andreas Nawawi dirikan rumah sakit
A
A
A
Sindonews.com - “Namanya rumah sakit Harapan Keluarga,” ujar pria yang akrab dipanggil Andreas ini sambil tersenyum kepada Sindonews saat ditemui di kediamannya baru-baru ini.
Pria bernama lengkap Andreas Nawawi ini merupakan pendiri sekaligus komisaris rumah sakit Harapan Keluarga yang didiirikan sejak delapan tahun yang lalu.
Tanpa bekal atau pengalaman apapun, Pria kelahiran Bandung, 24 Juli 1957 ini, bersama beberapa rekan sejawatnya berani mendirikan rumah sakit yang sudah memiliki cabang di daerah Bekasi.
Awalnya, pria lulusan jurusan Teknik Mesin ITB Bandung tersebut ingin menjadi dokter karena ia merasa kasihan dengan para warga yang bermukim di suatu desa.
Desa tersebut hanya berjarak tiga kilometer dari kota Tangerang, tetapi warganya belum pernah ke rumah sakit. Mereka hanya mengkonsumsi Bodrex untuk sakit apapun, dari demam sampai migrain.
Kejadian inilah yang menggetarkan hati Andreas untuk menjadi dokter. Ia ingin menyelamatkan warga desa tersebut. Tetapi usianya menjadi halangan karena pada saat itu umurnya telah mencapai 47 tahun.
Ia ditolak oleh pihak universitas tempatnya mendaftar karena batasan usia untuk mahasiswa kedokteran adalah 30 tahun. Andreas sempat putus asa, tetapi sahabat sekaligus teladannya, Ir. Ciputra, membangkitkan semangatnya.
“Saat itu kira-kira Pak Ciputra berkata begini. 'Andreas, kamu bayangin. Kalau kamu jadi dokter, kamu hanya bisa menyelamatkan segelintir orang. Tetapi kalau kamu memilki rumah sakit, kamu dapat meng-hire para dokter dan bayangkan berapa orang yang dapat kamu selamatkan?' Hati saya langsung mantap untuk mendirikan rumah sakit,” tuturnya dengan bersemangat.
Pria yang dikaruniai tiga orang anak ini memang sempat ragu karena tidak memiliki latar belakang di bidang bisnis. Ia ragu akan kompetensinya dalam menjalankan usaha tersebut. Tetapi dengan keteguhan hati dan dukungan yang diberikan oleh Ir. Ciputra, Andreas tetap menjalankan rencananya. Keluarga Andreas juga senantiasa menyemangati semua yang dilakukannya.
“Papa itu orangnya emosional, emosinya itu gampang terbawa. Jadi pas Papa bilang mau mendirikan rumah sakit karena begini..begini.. Kami sih dukung-dukung saja, yang penting apa yang Papa buat itu baik,” cerita Veronica, putri sulung Andreas.
Menjalankan usaha rumah sakit juga terbilang sulit. Karena berprofesi sebagai entrepreneur, Andreas sering dipandang sebelah mata oleh para dokter. Tetapi kakek dari dua orang cucu ini menganggap bahwa hal tersebut hanya menambah warna dalam kehidupannya.
Selain menjalankan usaha rumah sakit dan properti, Andreas juga berprofesi sebagai mentor di Nurkhazanah Foundation, organisasi non-profit yang menciptakan para entrepreneur muda Indonesia.
Dengan kegiatannya yang cukup padat, Andreas tetap mengutamakan keluarganya. “Saya kehilangan sosok ayah sejak kecil, jadi setelah memiliki keluarga sendiri, saya ingin senantiasa mendampingi anak-anak saya di setiap kehidupan mereka. Mereka tidak tergantikan oleh bisnis maupun profesi pengajar saya,” ucap pria yang gemar bersepeda ini.
Andreas juga berharap generasi muda Indonesia akan berubah dari masyarakat yang serba instan ke masyarakat yang menghargai proses dalam perwujudan impian dan cita-cita.
Pria bernama lengkap Andreas Nawawi ini merupakan pendiri sekaligus komisaris rumah sakit Harapan Keluarga yang didiirikan sejak delapan tahun yang lalu.
Tanpa bekal atau pengalaman apapun, Pria kelahiran Bandung, 24 Juli 1957 ini, bersama beberapa rekan sejawatnya berani mendirikan rumah sakit yang sudah memiliki cabang di daerah Bekasi.
Awalnya, pria lulusan jurusan Teknik Mesin ITB Bandung tersebut ingin menjadi dokter karena ia merasa kasihan dengan para warga yang bermukim di suatu desa.
Desa tersebut hanya berjarak tiga kilometer dari kota Tangerang, tetapi warganya belum pernah ke rumah sakit. Mereka hanya mengkonsumsi Bodrex untuk sakit apapun, dari demam sampai migrain.
Kejadian inilah yang menggetarkan hati Andreas untuk menjadi dokter. Ia ingin menyelamatkan warga desa tersebut. Tetapi usianya menjadi halangan karena pada saat itu umurnya telah mencapai 47 tahun.
Ia ditolak oleh pihak universitas tempatnya mendaftar karena batasan usia untuk mahasiswa kedokteran adalah 30 tahun. Andreas sempat putus asa, tetapi sahabat sekaligus teladannya, Ir. Ciputra, membangkitkan semangatnya.
“Saat itu kira-kira Pak Ciputra berkata begini. 'Andreas, kamu bayangin. Kalau kamu jadi dokter, kamu hanya bisa menyelamatkan segelintir orang. Tetapi kalau kamu memilki rumah sakit, kamu dapat meng-hire para dokter dan bayangkan berapa orang yang dapat kamu selamatkan?' Hati saya langsung mantap untuk mendirikan rumah sakit,” tuturnya dengan bersemangat.
Pria yang dikaruniai tiga orang anak ini memang sempat ragu karena tidak memiliki latar belakang di bidang bisnis. Ia ragu akan kompetensinya dalam menjalankan usaha tersebut. Tetapi dengan keteguhan hati dan dukungan yang diberikan oleh Ir. Ciputra, Andreas tetap menjalankan rencananya. Keluarga Andreas juga senantiasa menyemangati semua yang dilakukannya.
“Papa itu orangnya emosional, emosinya itu gampang terbawa. Jadi pas Papa bilang mau mendirikan rumah sakit karena begini..begini.. Kami sih dukung-dukung saja, yang penting apa yang Papa buat itu baik,” cerita Veronica, putri sulung Andreas.
Menjalankan usaha rumah sakit juga terbilang sulit. Karena berprofesi sebagai entrepreneur, Andreas sering dipandang sebelah mata oleh para dokter. Tetapi kakek dari dua orang cucu ini menganggap bahwa hal tersebut hanya menambah warna dalam kehidupannya.
Selain menjalankan usaha rumah sakit dan properti, Andreas juga berprofesi sebagai mentor di Nurkhazanah Foundation, organisasi non-profit yang menciptakan para entrepreneur muda Indonesia.
Dengan kegiatannya yang cukup padat, Andreas tetap mengutamakan keluarganya. “Saya kehilangan sosok ayah sejak kecil, jadi setelah memiliki keluarga sendiri, saya ingin senantiasa mendampingi anak-anak saya di setiap kehidupan mereka. Mereka tidak tergantikan oleh bisnis maupun profesi pengajar saya,” ucap pria yang gemar bersepeda ini.
Andreas juga berharap generasi muda Indonesia akan berubah dari masyarakat yang serba instan ke masyarakat yang menghargai proses dalam perwujudan impian dan cita-cita.
(gpr)